Tradisi dan Bakat Individu

Wednesday, 10 July 2013

oleh Saut Situmorang

Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat pernyataan asersif bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim ini, mudah kita duga, adalah reaksi luar biasa yang timbul dalam sastra Indonesia setelah publikasi novel pertama Ayu, Saman, dari kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar mereka rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”, “kata-kata…bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel ini”, “superb, splendid”, dan “susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang”, dalam mempromosikan apa yang mereka anggap sebagai “pencapaian” artistik Saman, seperti yang dicantumkan pada blurb di sampul belakang novel tersebut. Klaim-klaim asersif semacam ini memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia kontemporer karena apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma sekedar esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena posisi koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra sebagai media penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran yang terbatas telah “membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak harus bertanggungjawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetil kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra.

Untuk menanggapi klaim Nirwan Dewanto di atas maka isu yang ingin saya persoalkan dalam esei ini adalah: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia (masih menganggap perlu) menulis dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, bukan dalam bahasa Inggris misalnya?

Dalam sejarah sastra Indonesia rasanya tidak berlebihan kalau saya mengklaim Chairil Anwar adalah bapak puisi modern dalam bahasa Indonesia. Reputasi Chairil ini didapatnya bukan semata-mata karena apa yang dilakukan oleh sang paus sastra Indonesia HB Jassin terhadapnya, seperti yang umum diyakini di kalangan sastrawan Indonesia, tapi karena besarnya pengaruh Chairil atas para penyair yang menjadi penyair setelah dia. Dengan memakai konsep pengaruh intertekstual kritikus Dekonstruksionis Amerika Harold Bloom maka bisa dilihat betapa the anxiety of influence yang ditimbulkan puisi Chairil atas para penyair sesudahnya – yang mencapai klimaks resistensi tekstual pada apa yang disebut sebagai puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri itu – memiliki arti yang jauh lebih signifikan, menurut saya, ketimbang pernyataan-pernyataan mitologis Jassin, dalam membentuk reputasi Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia.

Sudah berabad-abad para kritikus dan sejarawan sastra di Barat membahas apa yang disebut sebagai “pengaruh” seorang sastrawan atau tradisi sastra atas sastrawan sesudahnya, yang dianggap mengadopsi, dan pada saat yang sama merubah, aspek-aspek dari tema, bentuk, atau gaya dari penulis sebelumnya. “Kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of influence” merupakan sebuah istilah yang dipakai Harold Bloom untuk teori yang diciptakannya yang merevisi secara radikal teori lama di atas yang menganggap pengaruh hanya terjadi sebagai sebuah “peminjaman” langsung, atau asimilasi, dari material dan unsur-unsur penting sastrawan sebelumnya. Bagi Bloom, dalam penciptaan sebuah puisi, pengaruh tak mungkin dielakkan, tapi pengaruh tersebut menimbulkan dalam diri penyairnya sebuah kecemasan yang memaksanya untuk membuat distorsi drastis atas karya pendahulunya itu. Seorang penyair tergerak untuk menulis puisi setelah imajinasinya terpesona oleh puisi “pendahulu”nya. Tapi reaksinya atas pendahulunya itu ambivalen, mirip dengan hubungan Oedipal antara anak laki-laki dengan bapaknya dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud: bukan hanya rasa pesona yang timbul tapi juga (karena seorang penyair yang kuat memiliki keinginan besar untuk bebas dan orisinal) rasa benci, cemburu, dan takut atas penguasaan ruang imajinatifnya oleh pendahulunya tersebut. Karena itulah dia membaca puisi pendahulunya secara “bela diri” sehingga mendistorsinya sampai tak dikenalinya lagi. Meskipun demikian tetap saja “puisi-induk” (parent-poem) yang sudah terdistorsi itu terkandung dalam puisi yang kemudian dituliskannya itu. Apa yang paling mungkin dicapai oleh seorang penyair terbaik sekalipun adalah menulis puisi yang begitu “kuat” sehingga menimbulkan efek ilusi “prioritas”, yaitu sebuah ilusi ganda bahwa puisinya sudah mendahului puisi pendahulunya itu dalam waktu, dan sudah melampauinya dalam kebesarannya. Menurut Bloom lagi, konsep “kecemasan pengaruh” ini tidak hanya terjadi pada sastrawan saja tapi juga pada para pembaca sastra. Dalam konteks inilah, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono waktu memuji Saman Ayu Utami, sepanjang pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupun biografis), atau “kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti yang disebabkan oleh Chairil.

Berdasarkan alasan historis-tekstual tentang Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia, paling tidak bagi para penyair sesudahnya, seperti yang saya tuliskan di atas, lantas apakah kita bisa mengklaim bahwa Chairil tidak terlahir dari sejarah sastra “berbahasa Indonesia”? Sudah banyak tulisan yang membuktikan, dan susah untuk dibantah, betapa kuatnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, yang diterimanya lewat pendidikan dan terutama bacaannya. Juga terjemahan yang dilakukannya atas karya sastra Barat – baik puisi, cerpen, maupun surat pribadi, dan dari berbagai latar-bahasa – misalnya, merupakan salah satu bukti akrabnya dia dengan dunia sastra tersebut. Keakrabannya yang intens dengan sastra Barat ini malah sampai membuat dia pernah dianggap sebagai plagiator satu-dua puisi penyair Barat, atau puisinya dianggap bukan ditulis untuk pembaca Indonesia karena idiom-idiomnya yang kebarat-baratan seperti yang pernah dinyatakan Subagio Sastrowardoyo. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang saya pikir lebih bersifat cemburu-antar-sesama-seniman ketimbang studi komparatif sastra itu, intensitas pergaulan Chairil dengan dunia sastra Barat tersebut apakah lantas membuat dia (pernah) diklaim sebagai terlahir bukan dari sastra Indonesia yang cuma beberapa tahun saja usianya waktu dia hidup sebagai “binatang jalang” itu? Sepanjang pengetahuan saya belum ada yang pernah mengklaim Chairil Anwar tidak terlahir dari sastra Indonesia seperti Nirwan Dewanto mengklaim Ayu Utami, bahkan tidak oleh Subagio Sastrowardoyo sekalipun.

Bagaimanapun intensnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, kita tetap tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa Chairil pun tidak akan terlepas dari persoalan “kecemasan pengaruh” dari penyair Indonesia sebelum dia, atau dari puitika tradisional dalam khazanah sastra lokal yang ada. Adanya relasi intertekstual antara puisi Chairil dan puisi Amir Hamzah, misalnya, pernah dibuktikan dengan sangat baik oleh peneliti sastra Indonesia Sylvia Tiwon dalam eseinya yang berjudul “Ordinary Songs: Chairil Anwar and Traditional Poetics” di majalah Indonesia Circle, No 58, June 92, terbitan School of Oriental and African Studies, London, Inggris. Dengan membaca Chairil dalam konteks “puitika tradisional” Pujangga Baru yang direpresentasikan oleh Amir Hamzah, Tiwon berhasil menunjukkan betapa besar “hutang” Chairil pada Amir Hamzah dalam beberapa sajaknya yang terkenal, seperti “Jangan Kita di Sini Berhenti”, “Sia-sia”, “Sajak Putih”, dan terutama pada “Sorga” dan “Di Mesjid”. Bukti-bukti pergumulan Chairil dengan puitika tradisional dari khazanah sastra lokal yang begitu banyak terdapat pada puisinya yang dianggap “kebarat-baratan” itu (pengucapan Pantun pada puisinya, misalnya), seperti yang ditunjukkan Sylvia Tiwon tersebut, tidak bisa disepelekan begitu saja, demi sebuah resepsi yang lebih kritis atas puisinya, ketimbang sekedar daur-ulang mitos binatang jalangnya yang masih terus dilakukan para “kritikus” sastra di Indonesia sampai sekarang. Dan juga untuk menghindari euforia pembuatan klaim-klaim bombastis yang tak sanggup dibuktikan seperti pada kasus Ayu Utami di atas, yang pada dasarnya hanya bertujuan untuk membuat mitologi-mitologi dalam sastra Indonesia, dan yang pada akhirnya cuma menghambat kemajuan pemikiran kritis dalam sastra kontemporer kita.

Penyair Inggris asal Amerika TS Eliot pernah menyatakan dalam sebuah eseinya yang terkenal tentang pentingnya bagi seorang pengarang untuk menyadari posisinya dalam sejarah sastranya, “Tradition and Individual Talent” (1919), bahwa “Tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apapun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati. Kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekedar kritik historis”. Karena, disukainya atau tidak, seorang penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan juga bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan berkembang.

Konsep Eliot ini sangat mirip dengan konsep “intertekstualitas” dalam teori pascastrukturalis Prancis. “Intertekstualitas” adalah konsep yang diperkenalkan oleh pemikir Feminis Prancis Julia Kristeva berdasarkan konsep-konsep teoritikus Marxis Rusia Mikhail Bakhtin tentang beragamnya suara sebuah teks: polifoni, dialogisme, dan heteroglosia. Menurut Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Bersama rekan-rekannya penulis dan kritikus di majalah sastra Tel Quel di akhir 1960an dan awal 1970an, Kristeva gencar melakukan kritik atas konsep “subjek pembuat” (the founding subject) yaitu konsep humanis tentang pengarang sebagai sumber-asli-dan-asal dari makna-tetap dan makna-fetish dalam sebuah teks. Bagi Kristeva, setiap teks dari awalnya sudah berada di bawah jurisdiksi wacana-wacana lainnya yang memaksakan sebuah “universe of discourse” atasnya. Dan ketimbang memusatkan perhatian pada struktur teks, kita mestinya mengkaji “strukturasinya”, yaitu bagaimana proses struktur menjadi ada, dengan antara lain menempatkan teks di dalam totalitas teks-teks sebelumnya sebagai sebuah “transformasi”. Menurut Kristeva, ada dua aksis teks, yaitu aksis horisontal yang menghubungkan pengarang dan pembaca teks, dan aksis vertikal yang menghubungkan teks dengan teks(-teks) lainnya. Yang menyatukan kedua aksis ini adalah “kode”, alat interpretasi (interpretative devices) konvensional, sebuah framework yang memungkinkan tanda untuk memiliki makna, yang sama-sama dimiliki oleh kedua aksis tersebut. Sebuah teks dan sebuah pembacaan selalu tergantung pada kode-kode yang ada.

Setiap teks adalah sebuah penulisan kembali atas teks-teks lainnya. Tak ada teks yang tidak memiliki interteksnya. Sebuah teks tak dapat berfungsi dalam kesendiriannya, terkucil dari teks-teks lainnya. Semua teks hidup dalam komunitas teks yang luas, dalam apa yang disebut sebagai sistem interteks. Semua teks hidup dalam sistem intertekstual antara teks dengan teks, bahkan antara genre dengan genre maupun antara media dengan media. Relasi intertekstual antar-teks akan menghasilkan hibriditas teks, teks-indo, teks blasteran, campuran antara teks-teks. “Subjektivitas” masing-masing teks di-destabilisasi, sentralitas “kepengarangan” masing-masing teks diambrukkan, dan “kemurnian” diskursif keduanya dinodai. Intertekstualitas adalah pengulangan (repetisi), bukan representasi. Dan dalam peristiwa repetisi intertekstual ini, “orisinalitas” masing-masing teks hilang. Kaligrafi dan puisi-konkret, misalnya, adalah dua contoh “puisi-rupa” yang tercipta lewat peristiwa intertekstual antara sastra dan seni rupa.

Untuk mendapatkan ekstasi tekstual, atau tekstasi, dari sebuah teks intertekstual, seorang pembaca diharapkan memiliki pengetahuan sejarah teks dan glossari kode teks yang juga bersifat intertekstual. Karena kesatuan (unity) sebuah teks tidak terletak pada asalnya (pengarangnya, misalnya) tapi pada tujuannya, yaitu Sang Pembaca, dan seorang pembaca merupakan ruang di mana semua “kutipan” dituliskan, seperti yang diyakini Roland Barthes dalam eseinya yang terkenal “The Death of the Author” (1968), maka kesadaran seorang pembaca akan konteks di mana teks direproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Karena, mengikuti apa yang dikatakan pemikir Marxis Amerika Fredric Jameson, teks hadir di depan kita sebagai yang-selalu-sudah-dibaca dan kita memahaminya melalui lapisan-lapisan interpretasi (yang pernah dilakukan atasnya) sebelumnya, atau, kalau teksnya benar-benar baru, melalui lapisan-lapisan kebiasaan pembacaan dan kategori-kategori yang dikembangkan dalam tradisi interpretasi yang kita warisi. Sama seperti tanda (sign) yang hanya bisa berfungsi memberikan makna (generating meanings) karena hubungannya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah teks, maka relasi intertekstual antar-teks inilah yang memberikan konteks bagi proses pemaknaan dari peristiwa pembacaan atau pengalaman atas teks. Termasuk juga penciptaan teks-teks lainnya. Konteks mempengaruhi respons terhadap teks.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah esei pendek berjudul “Sajak-sajak Cerah” yang mengantar beberapa sajak yang dipilihnya untuk suplemen Bentara, Kompas 5 Mei 2000, menyatakan, “. . . di tahun 1990-an para penyair kembali menulis puisi dengan memperhatikan kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak menjadi transparan”.

Transparansi sajak yang menjadi ciri-utama dari apa yang Sutardji namakan sebagai “sajak terang” para penyair 1990an terjadi karena para penyair ini mulai jenuh dengan apa yang dilakukan para penyair sebelumnya: para penyair di tahun 1970an terlalu sibuk dengan estetika pembebasan kata dari beban makna leksikal-gramatikal, sementara penyair periode 1980an terobsesi untuk membebaskan imaji visual pada sajak sebagai estetika puisi mereka. Walaupun mesti dibuktikan lagi kebenaran pendapatnya ini atas mayoritas puisi, tidak hanya berdasarkan puisi satu-dua penyair belaka, yang ditulis pada kedua periode yang disebutkannya itu, demi konteks tema esei ini secara umum saya bisa setuju dengan apa yang diungkapkan Sutardji di atas, tapi saya perlu menambahkan bahwa apa yang menjadi ciri-khas penyair 1970an (musikalitas puisi) dan penyair 1980an (visualitas imaji) tidak ditinggalkan pada “sajak terang” para penyair 1990an. Sebaliknya, kedua unsur puitis utama dari puisi itu digabungkan dalam bingkai kesederhanaan bahasa sehari-hari untuk, meminjam kata-kata Sutardji kembali, mengungkapkan realitas yang dialami penyair. Dalam kata lain, penyair 1990an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair. Memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis, adalah ciri berpuisi para penyair yang mulai dikenal luas di dunia puisi kontemporer Indonesia pada periode 1990an.

Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah politik. Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak-protes dan pamflet-penyair seperti pada puisi Wiji Thukul. Pada puisi politik penyair seperti Wiji Thukul kita melihat betapa kemiskinan tidak lagi diromantiskan sebagai semacam “hidup alternatif” dari “materialisme kota” atau diabstrakkan menjadi sekedar “teori pembangunan yang tidak membumi” tapi merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang harus dihidupi sang penyairnya sendiri. Subjektivitas pengalaman adalah realisme baru dalam puisi politik penyair 1990an.

Inilah cara para penyair 1990an menjadi bagian dari tradisi/sejarah sastra Indonesia, inilah relasi intertekstual puisi 1990an dengan puisi-puisi sebelumnya.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas