oleh Saut Situmorang
Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat pernyataan asersif bahwa novelis Ayu Utami tidak
terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim
ini, mudah kita duga, adalah reaksi luar biasa yang timbul dalam sastra
Indonesia setelah publikasi novel pertama Ayu, Saman, dari
kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar mereka
rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”,
“kata-kata…bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel
ini”, “superb, splendid”, dan “susah ditandingi
penulis-penulis muda sekarang”, dalam mempromosikan apa yang mereka
anggap sebagai “pencapaian” artistik Saman, seperti yang dicantumkan pada blurb
di sampul belakang novel tersebut. Klaim-klaim asersif semacam ini
memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia kontemporer karena
apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma sekedar
esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik
semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena
posisi koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra
sebagai media penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran
yang terbatas telah “membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak
harus bertanggungjawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya
semendetil kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra.
Untuk menanggapi klaim Nirwan Dewanto di atas maka isu yang ingin
saya persoalkan dalam esei ini adalah: Mungkinkah seorang sastrawan tidak
terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri sementara dia memakai
bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang
sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar
Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas
dari mana dia berasal? Dan kenapa dia (masih menganggap perlu) menulis
dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra
Indonesia itu, bukan dalam bahasa Inggris misalnya?
Dalam sejarah sastra Indonesia rasanya tidak berlebihan kalau saya
mengklaim Chairil Anwar adalah bapak puisi modern dalam bahasa
Indonesia. Reputasi Chairil ini didapatnya bukan semata-mata karena apa
yang dilakukan oleh sang paus sastra Indonesia HB Jassin terhadapnya,
seperti yang umum diyakini di kalangan sastrawan Indonesia, tapi karena
besarnya pengaruh Chairil atas para penyair yang menjadi penyair setelah
dia. Dengan memakai konsep pengaruh intertekstual kritikus
Dekonstruksionis Amerika Harold Bloom maka bisa dilihat betapa the anxiety of influence
yang ditimbulkan puisi Chairil atas para penyair sesudahnya – yang
mencapai klimaks resistensi tekstual pada apa yang disebut sebagai
puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri itu – memiliki arti yang jauh lebih
signifikan, menurut saya, ketimbang pernyataan-pernyataan mitologis
Jassin, dalam membentuk reputasi Chairil sebagai pencipta puisi modern
Indonesia.
Sudah berabad-abad para kritikus dan sejarawan sastra di Barat
membahas apa yang disebut sebagai “pengaruh” seorang sastrawan atau
tradisi sastra atas sastrawan sesudahnya, yang dianggap mengadopsi, dan
pada saat yang sama merubah, aspek-aspek dari tema, bentuk, atau gaya
dari penulis sebelumnya. “Kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of influence”
merupakan sebuah istilah yang dipakai Harold Bloom untuk teori yang
diciptakannya yang merevisi secara radikal teori lama di atas yang
menganggap pengaruh hanya terjadi sebagai sebuah “peminjaman” langsung,
atau asimilasi, dari material dan unsur-unsur penting sastrawan
sebelumnya. Bagi Bloom, dalam penciptaan sebuah puisi, pengaruh tak
mungkin dielakkan, tapi pengaruh tersebut menimbulkan dalam diri
penyairnya sebuah kecemasan yang memaksanya untuk membuat distorsi
drastis atas karya pendahulunya itu. Seorang penyair tergerak untuk
menulis puisi setelah imajinasinya terpesona oleh puisi “pendahulu”nya.
Tapi reaksinya atas pendahulunya itu ambivalen, mirip dengan hubungan
Oedipal antara anak laki-laki dengan bapaknya dalam teori psikoanalisis
Sigmund Freud: bukan hanya rasa pesona yang timbul tapi juga (karena
seorang penyair yang kuat memiliki keinginan besar untuk bebas dan
orisinal) rasa benci, cemburu, dan takut atas penguasaan ruang
imajinatifnya oleh pendahulunya tersebut. Karena itulah dia membaca
puisi pendahulunya secara “bela diri” sehingga mendistorsinya sampai tak
dikenalinya lagi. Meskipun demikian tetap saja “puisi-induk” (parent-poem)
yang sudah terdistorsi itu terkandung dalam puisi yang kemudian
dituliskannya itu. Apa yang paling mungkin dicapai oleh seorang penyair
terbaik sekalipun adalah menulis puisi yang begitu “kuat” sehingga
menimbulkan efek ilusi “prioritas”, yaitu sebuah ilusi ganda bahwa
puisinya sudah mendahului puisi pendahulunya itu dalam waktu, dan sudah
melampauinya dalam kebesarannya. Menurut Bloom lagi, konsep “kecemasan
pengaruh” ini tidak hanya terjadi pada sastrawan saja tapi juga pada
para pembaca sastra. Dalam konteks inilah, meminjam istilah Sapardi
Djoko Damono waktu memuji Saman Ayu Utami, sepanjang
pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum
maupun sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupun
biografis), atau “kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti
yang disebabkan oleh Chairil.
Berdasarkan alasan historis-tekstual tentang Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia, paling tidak bagi para penyair sesudahnya, seperti yang saya tuliskan di atas, lantas apakah kita bisa mengklaim bahwa Chairil tidak terlahir dari sejarah sastra “berbahasa Indonesia”? Sudah banyak tulisan yang membuktikan, dan susah untuk dibantah, betapa kuatnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, yang diterimanya lewat pendidikan dan terutama bacaannya. Juga terjemahan yang dilakukannya atas karya sastra Barat – baik puisi, cerpen, maupun surat pribadi, dan dari berbagai latar-bahasa – misalnya, merupakan salah satu bukti akrabnya dia dengan dunia sastra tersebut. Keakrabannya yang intens dengan sastra Barat ini malah sampai membuat dia pernah dianggap sebagai plagiator satu-dua puisi penyair Barat, atau puisinya dianggap bukan ditulis untuk pembaca Indonesia karena idiom-idiomnya yang kebarat-baratan seperti yang pernah dinyatakan Subagio Sastrowardoyo. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang saya pikir lebih bersifat cemburu-antar-sesama-seniman ketimbang studi komparatif sastra itu, intensitas pergaulan Chairil dengan dunia sastra Barat tersebut apakah lantas membuat dia (pernah) diklaim sebagai terlahir bukan dari sastra Indonesia yang cuma beberapa tahun saja usianya waktu dia hidup sebagai “binatang jalang” itu? Sepanjang pengetahuan saya belum ada yang pernah mengklaim Chairil Anwar tidak terlahir dari sastra Indonesia seperti Nirwan Dewanto mengklaim Ayu Utami, bahkan tidak oleh Subagio Sastrowardoyo sekalipun.
Bagaimanapun intensnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, kita tetap tidak bisa menutup mata pada kemungkinan
bahwa Chairil pun tidak akan terlepas dari persoalan “kecemasan
pengaruh” dari penyair Indonesia sebelum dia, atau dari puitika
tradisional dalam khazanah sastra lokal yang ada. Adanya relasi
intertekstual antara puisi Chairil dan puisi Amir Hamzah, misalnya,
pernah dibuktikan dengan sangat baik oleh peneliti sastra Indonesia
Sylvia Tiwon dalam eseinya yang berjudul “Ordinary Songs: Chairil Anwar
and Traditional Poetics” di majalah Indonesia Circle, No 58, June 92,
terbitan School of Oriental and African Studies, London, Inggris.
Dengan membaca Chairil dalam konteks “puitika tradisional” Pujangga Baru
yang direpresentasikan oleh Amir Hamzah, Tiwon berhasil menunjukkan
betapa besar “hutang” Chairil pada Amir Hamzah dalam beberapa sajaknya
yang terkenal, seperti “Jangan Kita di Sini Berhenti”, “Sia-sia”, “Sajak
Putih”, dan terutama pada “Sorga” dan “Di Mesjid”. Bukti-bukti
pergumulan Chairil dengan puitika tradisional dari khazanah sastra lokal
yang begitu banyak terdapat pada puisinya yang dianggap
“kebarat-baratan” itu (pengucapan Pantun pada puisinya, misalnya),
seperti yang ditunjukkan Sylvia Tiwon tersebut, tidak bisa disepelekan
begitu saja, demi sebuah resepsi yang lebih kritis atas puisinya,
ketimbang sekedar daur-ulang mitos binatang jalangnya yang masih terus
dilakukan para “kritikus” sastra di Indonesia sampai sekarang. Dan juga
untuk menghindari euforia pembuatan klaim-klaim bombastis yang tak
sanggup dibuktikan seperti pada kasus Ayu Utami di atas, yang pada
dasarnya hanya bertujuan untuk membuat mitologi-mitologi dalam sastra
Indonesia, dan yang pada akhirnya cuma menghambat kemajuan pemikiran
kritis dalam sastra kontemporer kita.
Penyair Inggris asal Amerika TS Eliot pernah menyatakan dalam sebuah
eseinya yang terkenal tentang pentingnya bagi seorang pengarang untuk
menyadari posisinya dalam sejarah sastranya, “Tradition and Individual
Talent” (1919), bahwa “Tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang
apapun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi
atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman
yang sudah mati. Kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya
sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di
antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekedar
kritik historis”. Karena, disukainya atau tidak, seorang
penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari
masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang
menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab
sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini
menunjukkan juga bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah
organisme hidup, dinamis, dan berkembang.
Konsep Eliot ini sangat mirip dengan konsep “intertekstualitas” dalam
teori pascastrukturalis Prancis. “Intertekstualitas” adalah konsep yang
diperkenalkan oleh pemikir Feminis Prancis Julia Kristeva berdasarkan
konsep-konsep teoritikus Marxis Rusia Mikhail Bakhtin tentang beragamnya
suara sebuah teks: polifoni, dialogisme, dan heteroglosia. Menurut
Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di
dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi
pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Bersama
rekan-rekannya penulis dan kritikus di majalah sastra Tel Quel di akhir 1960an dan awal 1970an, Kristeva gencar melakukan kritik atas konsep “subjek pembuat” (the founding subject)
yaitu konsep humanis tentang pengarang sebagai sumber-asli-dan-asal
dari makna-tetap dan makna-fetish dalam sebuah teks. Bagi Kristeva,
setiap teks dari awalnya sudah berada di bawah jurisdiksi wacana-wacana
lainnya yang memaksakan sebuah “universe of discourse” atasnya.
Dan ketimbang memusatkan perhatian pada struktur teks, kita mestinya
mengkaji “strukturasinya”, yaitu bagaimana proses struktur menjadi ada,
dengan antara lain menempatkan teks di dalam totalitas teks-teks
sebelumnya sebagai sebuah “transformasi”. Menurut Kristeva, ada dua
aksis teks, yaitu aksis horisontal yang menghubungkan pengarang dan pembaca teks, dan aksis vertikal yang menghubungkan teks dengan teks(-teks) lainnya. Yang menyatukan kedua aksis ini adalah “kode”, alat interpretasi (interpretative devices) konvensional, sebuah framework
yang memungkinkan tanda untuk memiliki makna, yang sama-sama dimiliki
oleh kedua aksis tersebut. Sebuah teks dan sebuah pembacaan selalu
tergantung pada kode-kode yang ada.
Setiap teks adalah sebuah penulisan kembali atas teks-teks lainnya.
Tak ada teks yang tidak memiliki interteksnya. Sebuah teks tak dapat
berfungsi dalam kesendiriannya, terkucil dari teks-teks lainnya. Semua
teks hidup dalam komunitas teks yang luas, dalam apa yang disebut
sebagai sistem interteks. Semua teks hidup dalam sistem intertekstual
antara teks dengan teks, bahkan antara genre dengan genre maupun antara
media dengan media. Relasi intertekstual antar-teks akan menghasilkan
hibriditas teks, teks-indo, teks blasteran, campuran antara teks-teks.
“Subjektivitas” masing-masing teks di-destabilisasi, sentralitas
“kepengarangan” masing-masing teks diambrukkan, dan “kemurnian”
diskursif keduanya dinodai. Intertekstualitas adalah pengulangan
(repetisi), bukan representasi. Dan dalam peristiwa repetisi
intertekstual ini, “orisinalitas” masing-masing teks hilang. Kaligrafi
dan puisi-konkret, misalnya, adalah dua contoh “puisi-rupa” yang
tercipta lewat peristiwa intertekstual antara sastra dan seni rupa.
Untuk mendapatkan ekstasi tekstual, atau tekstasi, dari sebuah teks
intertekstual, seorang pembaca diharapkan memiliki pengetahuan sejarah
teks dan glossari kode teks yang juga bersifat intertekstual. Karena
kesatuan (unity) sebuah teks tidak terletak pada asalnya
(pengarangnya, misalnya) tapi pada tujuannya, yaitu Sang Pembaca, dan
seorang pembaca merupakan ruang di mana semua “kutipan” dituliskan,
seperti yang diyakini Roland Barthes dalam eseinya yang terkenal “The
Death of the Author” (1968), maka kesadaran seorang pembaca akan konteks
di mana teks direproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan
kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Karena, mengikuti apa yang
dikatakan pemikir Marxis Amerika Fredric Jameson, teks hadir di depan
kita sebagai yang-selalu-sudah-dibaca dan kita memahaminya melalui
lapisan-lapisan interpretasi (yang pernah dilakukan atasnya) sebelumnya,
atau, kalau teksnya benar-benar baru, melalui lapisan-lapisan kebiasaan
pembacaan dan kategori-kategori yang dikembangkan dalam tradisi
interpretasi yang kita warisi. Sama seperti tanda (sign) yang hanya bisa berfungsi memberikan makna (generating meanings)
karena hubungannya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah teks, maka
relasi intertekstual antar-teks inilah yang memberikan konteks bagi
proses pemaknaan dari peristiwa pembacaan atau pengalaman atas teks.
Termasuk juga penciptaan teks-teks lainnya. Konteks mempengaruhi respons
terhadap teks.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah esei pendek berjudul
“Sajak-sajak Cerah” yang mengantar beberapa sajak yang dipilihnya untuk
suplemen Bentara, Kompas 5 Mei 2000, menyatakan, “. . . di
tahun 1990-an para penyair kembali menulis puisi dengan memperhatikan
kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang
utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak
menjadi transparan”.
Transparansi sajak yang menjadi ciri-utama dari apa yang Sutardji
namakan sebagai “sajak terang” para penyair 1990an terjadi karena para
penyair ini mulai jenuh dengan apa yang dilakukan para penyair
sebelumnya: para penyair di tahun 1970an terlalu sibuk dengan estetika
pembebasan kata dari beban makna leksikal-gramatikal, sementara penyair
periode 1980an terobsesi untuk membebaskan imaji visual pada sajak
sebagai estetika puisi mereka. Walaupun mesti dibuktikan lagi kebenaran
pendapatnya ini atas mayoritas puisi, tidak hanya berdasarkan puisi
satu-dua penyair belaka, yang ditulis pada kedua periode yang
disebutkannya itu, demi konteks tema esei ini secara umum saya bisa
setuju dengan apa yang diungkapkan Sutardji di atas, tapi saya perlu
menambahkan bahwa apa yang menjadi ciri-khas penyair 1970an (musikalitas
puisi) dan penyair 1980an (visualitas imaji) tidak
ditinggalkan pada “sajak terang” para penyair 1990an. Sebaliknya, kedua
unsur puitis utama dari puisi itu digabungkan dalam bingkai
kesederhanaan bahasa sehari-hari untuk, meminjam kata-kata Sutardji
kembali, mengungkapkan realitas yang dialami penyair. Dalam kata lain,
penyair 1990an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis
waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair. Memilih
kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa
leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak
mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan
realitas puitis, adalah ciri berpuisi para penyair yang mulai dikenal
luas di dunia puisi kontemporer Indonesia pada periode 1990an.
Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah
politik. Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk
mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode
inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui
apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak-protes dan pamflet-penyair
seperti pada puisi Wiji Thukul. Pada puisi politik penyair seperti Wiji
Thukul kita melihat betapa kemiskinan tidak lagi diromantiskan sebagai
semacam “hidup alternatif” dari “materialisme kota” atau diabstrakkan
menjadi sekedar “teori pembangunan yang tidak membumi” tapi merupakan
pengalaman hidup sehari-hari yang harus dihidupi sang penyairnya
sendiri. Subjektivitas pengalaman adalah realisme baru dalam puisi
politik penyair 1990an.
Inilah cara para penyair 1990an menjadi bagian dari tradisi/sejarah
sastra Indonesia, inilah relasi intertekstual puisi 1990an dengan
puisi-puisi sebelumnya.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)