By @ruhlelana
Pada tahun 1945, diantara gemuruh tank-tank sekutu yang di tunggangi
tentara NICA, dengan kegagahan para jendral yang kalah pada perang
eropa-pasifik, pada sebuah jalan kecil berlubang-lubang, seorang pemuda
tanggung mengendap-endap, menengok pada sebuah rumah bilik yang
jendelanya terbuka, melihat selembar kertas berisi sebuah tulisan pendek
berjudul AKU, sepertinya sebuah puisi. Pemuda tanggung itu, dengan
perasaan yang berdegup luar biasa melongokan kepalanya melalui jendela
kamar rumah bilik itu, tak ada siapa-siapa. Lantas dengan tergesa dia
meraih kertas itu. Tergesa membuat dirinya teledor, tak sengaja
tangannya menabrak botol tinta, hingga menciprat ke segala arah,
termasuk kertas yang sedang dipegangnya. Bagian akhir dari tulisan yang
seperti puisi itu terciprati tinta hingga tulisannya menyatu dengan
cipratan tinta, tak bisa terbaca. Sial! Pemuda tanggung itu mengumpat.
Tak berlama-lama pemuda tanggung itu dengan hati-hati melipat kertas
itu setelah dirasa tintanya cukup mengering, agar tak mengotori tulisan
yang masih bisa dibaca. Memasukan kertas itu ke saku celananya, lantas
cepat-cepat pergi sebelum pemilik rumah memergokinya.
Sudah lama pemuda tanggung bernama Chairil itu melihat lelaki cina
botak berkacamata selalu duduk di depan meja tulisnya tepat menghadap
jendela berukuran rendah hingga setengah bagian dari tubuh laki-laki itu
terlihat dari pinggir jalan yang melintas di depan rumahnya, letak
kamarnya berada di sisi sebelah kiri pada sudut paling depan. Sudah
sejak lama Chairil menyaksikan lelaki cina botak itu menulis setiap kali
dia lewat depan rumah lelaki cina botak itu. Selalu tersenyum setiap
kali mata mereka beradu, Chairil selalu membalas senyum itu. Seperti
sebuah ritual, hal itu hampir terjadi setiap hari, setiap kali Chairil
berangkat menuju pertemuan rutin para pemuda yang membahas rencana
pembebasan beberapa Jugun Ianfu di daerah Sukabumi.
Sehingga setiap hari Chairil selalu penasaran dengan apa yang ditulis
oleh lelaki cina itu, lelaki yang seolah tidak peduli tentang akan
adanya sebuah revolusi. Seorang lelaki yang tampak menganggap bahwa
revolusi tak lebih dari sekedar tahi kucing. Seorang lelaki yang tidak
menghiraukan suara-suara senjata atau bentakan nyaring tentara Jepang
atas bangsa pribumi yang melawan kehendaknya.
Apa yang sedang dia tulis? Hingga kesempatan itu datang, jendela kamar
lelaki cina terbuka, tapi si lelaki tak tampak duduk di depan meja,
kursinya kosong. Pikiran itu hadir begitu saja, saat itu, saat melihat
selembar kertas dengan tulisan pendek tergeletak begitu saja di meja
itu.
Sebenarnya proses plagiasi itu tidak pernah direncanakan dan tidak
pernah terjadi. Chairil melempar begitu saja kertas berisi tulisan
pendek itu ke dalam tong sampah setelah meremasnya terlebih dahulu.
Tulisan sampah, kupikir dia menulis apa. Kupikir tulisan itu berisi
sesuatu yang hebat, penemuan baru, teori baru atau sebuah rencana hebat,
ternyata hanya sebuah puisi, setiap orang juga bisa melakukannya. Puisi
sampah! Lelaki botak sinting! Binatang jalang yang terbuang! Chairil
terus mengumpat sebisanya sambil berjalan. Pada sebuah sungai Chairil
membasuh tangannya yang ternodai tinta sambil bergumam, AKU… Aku… Aku…
aku ini apa?
Sejak saat itu di saku bajunya selalu terlipat sebuah kertas dengan satu kata tulisan tangannya sendiri: AKU Didasarkan pada sebuah surat tertanggal 19 Desember ’05 (19 Desember 1945) yang ditandatangani oleh seseorang bernama Chairil dan ditujukan untuk seseorang bernama A Peng. Surat ini saya temukan disebuah Rumah Tua yang hampir roboh di bilangan Cikini pada tahun 1985 saat orang tua saya membeli rumah itu dari sebuah keluarga Batak.
Depok, 15 Maret ‘07
Sumber Ruhlelana
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)