Gerakan melawan korupsi tak hanya dilakukan penegak hukum, aktivis,
atau mahasiswa. Penyair pun tak mau kalah. Dikoordinasi penyair asal
Solo Sosiawan Leak, mereka punya cara tersendiri untuk melakukannya.
RUMAH penyair
Sosiawan Leak teduh. Kediaman dedengkot kelompok Teater Klosed itu
juga unik. Ada sentuhan teatrikal pada bentuk arsitekturalnya. Siapa pun
yang menyusuri Jalan Pelangi Utara III Kelurahan Mojosongo, Kecamatan
Jebres, Kota Surakarta akan mudah menemukannya.
Bahkan tanpa
harus melihat teraan angka 1 yang menjadi penanda rumah itu. Namun
berbeda dari rumah tersebut, si pemilik justru sulit ditemui, apalagi
minggu atau bulan-bulan belakangan ini.
Selain kegiatan teater dan
kepenyairan, ada lagi kesibukan yang membuatnya susah dijumpai.
Sosiawan tengah menjadi koordinator Gerakan Penyair Anti Korupsi.
Kesibukan itulah yang membuat dia jarang berada di rumah, akhir-akhir
ini.
‘’Kami para penyair memang sedang membuat gerakan untuk
melawan korupsi. Kebetulan saya yang diserahi tugas sebagai
koordinator,’’ ujarnya, Selasa (16/7).
Tapi bagaimana para penyair
melawan korupsi? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang punya kuasa
hukum saja masih terus bekerja keras.
Justru inilah yang menarik.
Sebab, meskipun di wilayah hukum tidak memiliki kuasa, mereka merasa
masih memiliki wilayah budaya. Sementara, korupsi yang terjadi di Tanah
Air sering dipandang ’’sudah membudaya’’.
’’Sebenarnya saya tidak
terlalu setuju dengan istilah budaya korupsi. Sebab menurut saya istilah
budaya itu berkenaan dengan sesuatu yang baik dan positif. Tapi baiklah
kalau memang itu dianggap sebagai budaya, maka obatnya menurut saya dan
kawan-kawan berarti juga harus lewat budaya,’’ jelas mantan mahasiswa
FISIP UNS itu.
Karena itu, menurut dia, gerakan para penyair
tersebut bukanlah gerakan politik atau advokasi hukum, melainkan murni
gerakan kebudayaan. Maka, cara melakukan perlawanan tidak dengan
demonstrasi, meski sebenarnya mereka mampu menggalang masa. Mereka punya
cara sendiri.
Jika demikian, apakah berarti puisi akan digunakan
sebagai sarana untuk melawan korupsi? Benar, dan itulah yang membuat
kian menarik. Sosiawan kemudian menunjukkan sebuah buku setebal lebih
dari 450 halaman berjudul Puisi Menolak Korupsi yang diterbitkan Mei
lalu.
’’Inilah hasil dari Gerakan Penyair Anti Korupsi. Sebuah
buku kumpulan puisi yang temanya tentang antikorupsi,’’ tandas lelaki
kelahiran Solo, September 1967 tersebut.
Roadshow
Menurut
Sosiawan, untuk membiayai produksi buku, para penyair iuran atau
patungan. Jumlah iuran dibatasi minimal, namun tidak secara maksimal.
’’Yang
memberi iuran, uangnya tidak akan hilang begitu saja, sebab akan
dikembalikan dalam wujud buku sesuai dengan nilai iurannya,’’ katanya.
Hal
menarik lain dari buku itu adalah kuantitas kekaryaan. Ada ratusan
puisi berisi semangat perlawanan terhadap korupsi hasil karya 85 penyair
dari berbagai kota dan daerah, mulai Sabang sampai Merauke. Itu
merupakan hasil seleksi dari ribuan pusi.
’’Padahal saya hanya
mengumumkan lewat jejaring sosial baik via email maupun Facebook. Yang
mengirim ternyata ribuan,’’ jelas Sosiawan.
Kondisi itu memberi
gambaran betapa isu korupsi sangat menggelisahkan kalangan penyair.
Lantas, setelah menjadi buku, apakah perlawanan itu berhenti? Tidak,
justru itu baru dimulai.
Sebab, buku kumpulan puisi tentang
antikorupsi disosialisasikan keliling Nusantara. Istilah Sosiawan Leak,
di-roadshow-kan. Selain pembacaan puisi, dalam sosialisasi juga ada
diskusi dengan narasumber para ahli hukum dan sastrawan. Sosialisasi
dilakukan dengan cara swadaya oleh para penyair daerah yang menjadi tuan
rumah.
’’Sudah ada beberapa sosialisasi yang kami lakukan.
Pertama di makam Bung Karno di Blitar 18 Mei lalu. Kedua di halaman
gedung DPRD Tegal awal Juni lalu. Lalu yang ketiga di Banjar Baru,
Kalimantan Selatan pada 28 Juni. Rencana ke depan, jadwal sudah
menumpuk, keliling daerah di seluruh pelosok Nusantara,’’ imbuhnya.
Sementara
sosalisasi terus dilakukan, desakan penyair lain yang ingin terlibat
juga cukup tinggi. Muncullah ide untuk menerbitkan buku Puisi Menolak
Korupsi jilid II. Hingga kemarin sudah ada 209 penyair yang bersedia
terlibat.
’’Seperti ini memang seharusnya karya sastra itu.
Menurut saya, karya sastra mestinya mengawal tranformasi sosial. Harus
menginspirasi proses-proses kehidupan. Bukan malah menjauh,’’ tutur
Sosiawan.
Dia menambahkan, isi buku tersebut secara umum memang
berupa puisi. Namun puisi itu diolah secara kreatif lewat sudut pandang
yang berbeda. Hal itu mengingat kultur yang dibawa para penyair dari
Sabang sampai Merauke yang beragam.
’’Ada yang suka kesunyian
menyampaikan dengan puisi sunyi, ada yang suka teriak juga diungkapkan
dengan teriakan. Ada tema korupsi dengan kaca mata dunia anak, ada yang
dengan analogi cerita binatang,’’ katanya.
Begitulah, bermula
dari tantangan penyair asal Semarang Heru Mugiarso, Sosiawan Leak dan
kawan-kawannya sesama penyair membuat sebuah gerakan antikorupsi lewat
dunia puisi. Kini bukan hanya empat penyair yang patungan, tapi sudah
mencapai ratusan orang jumlahnya. Bukan tidak mungkin nanti akan
mencapai ribuan. (Wisnu Kisawa-59)
Sumber Suara Merdeka dan PMK
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)