Suara Merdeka
Edisi 23 Juni 2012
Nah, akhirnya dapet artikelnya.
Perempuan, Kecantikan, dan Kepalsuan
- Oleh Puitri Hati Ningsih
MENILIK ajang pemilihan Miss
Indonesia, Putri Indonesia, dan kontes pemilihan ratu yang sejenis,
dengan memperebutkan mahkota bergilir makin gemebyar dan berkilau.
Apalagi dengan dukungan beberapa perusahaan kosmetik terbesar di negeri
ini dan sponsor utama lain.
Gadis-gadis yang lolos seleksi dari segala penjuru provinsi di Tanah Air dikarantina pemilihan selama 14 hari. Secara intensif para unggulan diberi banyak materi sebagai persiapan menghadapi malam penobatan ajang tahunan itu. Para pakar dan profesional memberikan materi secara seimbang antara fisik dan mental. Misalnya, materi kepribadian dan bergaya di panggung.
Tak hanya tubuh yang digarap, tetapi juga jiwa dan kepribadian mereka. Bagaimana sang putri harus berbicara di depan umum, bagaimana cara berjalan yang selaras dengan panggung di bawah sorotan lampu ribuan Watt, serta mengenakan gaun atau adibusana mahakarya seni perancang kelas wahid di negeri ini.
Bagaimana menghadapi kamera, mengemukakan pendapat, dan menjawab tantangan zaman dan menghadapi masalah.
Karena, semboyan yang terkenal dalam kontes pemilihan adalah 3B: brain, beauty, behavior. Putri yang sempurna adalah putri yang cantik luar-dalam, memancarkan inner beauty, memiliki inteligensia, berkepribadian, dan sedap dipandang. Apalagi bila mereka menguasai bahasa asing lebih dari satu, wah, panggung pemilihan bakal lebih semarak, mengagumkan, dan mengundang decak kagum pemirsa televisi di rumah atau hadirin. Itu mungkin akan meruntuhkan teori Newton bahwa kecantikan berbanding terbalik dengan kepintaran.
Sebelum memilih satu putri yang berhak menyandang mahkota dalam satu malam pemilihan itu, dari 20 atau 30 finalis disaring menjadi 10 besar. Dari 10 besar ada kategori putri atau miss yang terpilih menyandang Putri Inteligensia, Putri Bertubuh Indah, Putri Rambut Indah, Putri Lingkungan Hidup, Putri Favorit Pemirsa, Putri Kepribadian, dan lain-lain.
Selain tubuh dan jiwa calon putri yang diperhatikan, juga emosi mereka. Dalam ajang pemilihan itu, meski bersaing ditanamkan pula pada mereka untuk saling memuji dan menyanjung. Tak ada kritik tajam, perdebatan tanpa kekesalan dan keluhan. Karena, itu “dunia surgawi”.
Dari bibir putri bertubuh indah dan berambut sehat lurus, dan berparas bintang harus keluar kata-kata manis dan positif. Sanjung puji, dukungan, dan empati mewarnai pemilihan pemenang. Kalaupun ada masalah atau konflik batin, itu harus mereka sembunyikan jauh di belakang layar yang sunyi.
Karena, para putri itu dikondisikan untuk selalu positif, agung, dan cantik.
Maka, bukan tak mungkin semua di permukaan itu terasa membosankan dan tak asli. Karena, kita tak pernah mendengar kemurnian yang dikhawatirkan menodai pencitraan yang baik pada pemilihan putri. Dalam setiap wawancara pada prapemilihan di arena karantina, para putri itu selalu mengatakan hal-hal indah, berbudi pekerti, dan cenderung tidak kritis.
Beberapa tahun lalu kita dikejutkan oleh kehadiran seorang tokoh, seorang putri Solo yang waktu itu masih bernama GRAY Koes Murtiyah, dari Keraton Kasunanan dengan julukan “Putri Mbalela” karena menentang salah satu kebijakan sang ayahanda, Paku Buwono XII. Juga Angelina Sondakh, salah seorang Putri Indonesia, yang mengkritik penyelenggara panitia dan pemilihan Putri Indonesia dengan menulis buku.
Perempuan takut berkulit hitam dan kusam, maka mereka melindungi tubuh bila bertemu sorot sinar matahari langsung dan selalu memakai lulur dan masker bengkoang. Maka menjadi seorang putri dengan gelar dan tiara di rambut mungkin akan menjadikan mereka tak semerdeka sebelumnya. Dia harus menjaga segalanya; dari kulit, rambut, dan emosi.
Dia kurang nyaman ngudarasa dan tak berani mengkritik tajam, mengeluh, dan melontarkan unek-unek yang mengganjal di hati. Dia harus menjaga dan menahan diri, tak boleh bersaing meski persaingan itu nyata di depan mata. Bahkan dia tak boleh cemburu dan iri hati karena akan menggangu inner beauty-nya. Jadi, akankah acara pemilihan putri dan miss terus berkilau dan memedulikan pikiran mereka bisa merdeka dari protokoler 3B?
Juga memberikan sumbangan pada perubahan nasib perempuan di luar ajang pemilihan dan jadi duta perempuan, bukan semata-mata duta panitia penyelenggara, serta mendukung berderet kekayaan modal? (51)
- Puitri Hati Ningsih, redaktur Pawon Sastra dan aktif di Pengajian Seni.
Gadis-gadis yang lolos seleksi dari segala penjuru provinsi di Tanah Air dikarantina pemilihan selama 14 hari. Secara intensif para unggulan diberi banyak materi sebagai persiapan menghadapi malam penobatan ajang tahunan itu. Para pakar dan profesional memberikan materi secara seimbang antara fisik dan mental. Misalnya, materi kepribadian dan bergaya di panggung.
Tak hanya tubuh yang digarap, tetapi juga jiwa dan kepribadian mereka. Bagaimana sang putri harus berbicara di depan umum, bagaimana cara berjalan yang selaras dengan panggung di bawah sorotan lampu ribuan Watt, serta mengenakan gaun atau adibusana mahakarya seni perancang kelas wahid di negeri ini.
Bagaimana menghadapi kamera, mengemukakan pendapat, dan menjawab tantangan zaman dan menghadapi masalah.
Karena, semboyan yang terkenal dalam kontes pemilihan adalah 3B: brain, beauty, behavior. Putri yang sempurna adalah putri yang cantik luar-dalam, memancarkan inner beauty, memiliki inteligensia, berkepribadian, dan sedap dipandang. Apalagi bila mereka menguasai bahasa asing lebih dari satu, wah, panggung pemilihan bakal lebih semarak, mengagumkan, dan mengundang decak kagum pemirsa televisi di rumah atau hadirin. Itu mungkin akan meruntuhkan teori Newton bahwa kecantikan berbanding terbalik dengan kepintaran.
Sebelum memilih satu putri yang berhak menyandang mahkota dalam satu malam pemilihan itu, dari 20 atau 30 finalis disaring menjadi 10 besar. Dari 10 besar ada kategori putri atau miss yang terpilih menyandang Putri Inteligensia, Putri Bertubuh Indah, Putri Rambut Indah, Putri Lingkungan Hidup, Putri Favorit Pemirsa, Putri Kepribadian, dan lain-lain.
Selain tubuh dan jiwa calon putri yang diperhatikan, juga emosi mereka. Dalam ajang pemilihan itu, meski bersaing ditanamkan pula pada mereka untuk saling memuji dan menyanjung. Tak ada kritik tajam, perdebatan tanpa kekesalan dan keluhan. Karena, itu “dunia surgawi”.
Dari bibir putri bertubuh indah dan berambut sehat lurus, dan berparas bintang harus keluar kata-kata manis dan positif. Sanjung puji, dukungan, dan empati mewarnai pemilihan pemenang. Kalaupun ada masalah atau konflik batin, itu harus mereka sembunyikan jauh di belakang layar yang sunyi.
Karena, para putri itu dikondisikan untuk selalu positif, agung, dan cantik.
Maka, bukan tak mungkin semua di permukaan itu terasa membosankan dan tak asli. Karena, kita tak pernah mendengar kemurnian yang dikhawatirkan menodai pencitraan yang baik pada pemilihan putri. Dalam setiap wawancara pada prapemilihan di arena karantina, para putri itu selalu mengatakan hal-hal indah, berbudi pekerti, dan cenderung tidak kritis.
Beberapa tahun lalu kita dikejutkan oleh kehadiran seorang tokoh, seorang putri Solo yang waktu itu masih bernama GRAY Koes Murtiyah, dari Keraton Kasunanan dengan julukan “Putri Mbalela” karena menentang salah satu kebijakan sang ayahanda, Paku Buwono XII. Juga Angelina Sondakh, salah seorang Putri Indonesia, yang mengkritik penyelenggara panitia dan pemilihan Putri Indonesia dengan menulis buku.
Perempuan takut berkulit hitam dan kusam, maka mereka melindungi tubuh bila bertemu sorot sinar matahari langsung dan selalu memakai lulur dan masker bengkoang. Maka menjadi seorang putri dengan gelar dan tiara di rambut mungkin akan menjadikan mereka tak semerdeka sebelumnya. Dia harus menjaga segalanya; dari kulit, rambut, dan emosi.
Dia kurang nyaman ngudarasa dan tak berani mengkritik tajam, mengeluh, dan melontarkan unek-unek yang mengganjal di hati. Dia harus menjaga dan menahan diri, tak boleh bersaing meski persaingan itu nyata di depan mata. Bahkan dia tak boleh cemburu dan iri hati karena akan menggangu inner beauty-nya. Jadi, akankah acara pemilihan putri dan miss terus berkilau dan memedulikan pikiran mereka bisa merdeka dari protokoler 3B?
Juga memberikan sumbangan pada perubahan nasib perempuan di luar ajang pemilihan dan jadi duta perempuan, bukan semata-mata duta panitia penyelenggara, serta mendukung berderet kekayaan modal? (51)
- Puitri Hati Ningsih, redaktur Pawon Sastra dan aktif di Pengajian Seni.
2 Komentar:
Wah thx banget infonya nih. salam kenal ya kak.
Sama-sama.
Salam kenal juga :)
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)