Istilah Liberal Arts merujuk kepada satu kurikulum pendidikan
yang berasaskan pendidikan klasik. "Sastra liberal" didefinisikan oleh
Encyclopaedia Britannica sebagai "kurikulum universitas yang bertujuan
memupuk pengetahuan umum dan meningkatkan kemampuan intelektual, berbeda
dari kurikulum yang bersifat profesional, vokasional, atau teknikal."
Abad Pertengahan yang banyak mengadopsi konsep Plato dan Aristoteles memiliki dua jenis pendidikan: pendidikan orang bebas (liberal arts) dan pendidikan budak (vocational training). Budak di sini punya pengertian yang dalam: bukan dalam arti dia diperbudak oleh seseorang, tapi artinya dia diperbudak oleh lower concerns selain truth (termasuk uang dan lain-lain).
Pada mulanya universitas didirikan bertujuan untuk pendidikan yang membebaskan (liberal arts).
Dalam universitas Abad Pertengahan. Liberal Arts terbagi menjadi
tujuh golongan, yaitu: Tatabahasa, Retorika, Logika, Geometri,
Aritmetika, Musik, dan Astronomi.
Sedangkan Vocational arts lebih mengacu kepada latihan keterampilan dasar kepada spesialisasi suatu bidang tertentu.
Ketujuh Liberal Arts dikategorikan pada bidang verbal(kajian bahasa atau artes sermocinales) dan angka(artes triviales/trivium).
1. Verbal: retorika: dialektika/logika, dan tata bahasa
2. Angka: geometri: astronomi/astrologi, musik, aritmatika
Penjelasan (mohon tambahan/koreksi).
-Logika mencakup filsafat, ilmu politik, ilmu alam, serta pendalaman ilmu-ilmu lainnya.
-Retorika, sejujurnya ini sangat luas, pendidikan karakter, public speaking, dan mungkin teater atau yang lainnya.
-Tata bahasa mencakup linguistik, sastra, dan bahasa.
-Geometri: mempelajari angka dalam kaitannya dengan ruang. Misalnya
arsitektur, geodesi, geologi, teknik sipil & struktur ruang lainnya.
-Musik mempelajari vokal, instrumen, sound engineer dan lainnya.
-Aritmatika mempelajari tentang angka dalam angka. Misalnya teori angka, kalkulus, akuntansi dan lainnya.Konsep Kurikulum Liberal Arts
Agus Suwignyo dalam bukunya Dasar-dasar Intelektualitas (2007),
menengarai program ini pada dua muatan, yaitu dalam perspektif kurikulum
pendidikan sebagai kurikulum objek kajian, dan disposisi sikap sebagai
kurikulum tersembunyi. Kurikulum objek kajian berkaitan dengan ilmu yang
dipelajari, mencakup sains formal, sains alam empiris, dan sains sosial
empiris. Sementara kurikulum tersembunyi berhubungan dengan etos
keilmuan dalam suatu disposisi sikap yang melekat pada kepemilikan ilmu.
Disposisi sikap merujuk pada kemampuan mencetuskan gagasan otentik yang
mendasari sikap dan perilaku kelimuan.
Pendidikan liberal art menekankan pada pengembangan kemampuan berfikir dan menalar, yakni pengolahan kompetensi untuk menemukan dasar rasional bagi suatu gagasan dan sikap, disamping juga mengolah kopetensi-kempetensi yang umum dan mendasar. Umum artinya tidak spesifik atau khusus; mendasar artinya esensial dan tidak pragmatis. Pendidikan liberal art juga mencakup keseluruhan dimensi kemanusiaan secara utuh, yakni manusia sebagai mahluk yang menalar, berinteraksi dan berkembang, dan menciptakan individu yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.
Pendidikan liberal art menekankan pada pengembangan kemampuan berfikir dan menalar, yakni pengolahan kompetensi untuk menemukan dasar rasional bagi suatu gagasan dan sikap, disamping juga mengolah kopetensi-kempetensi yang umum dan mendasar. Umum artinya tidak spesifik atau khusus; mendasar artinya esensial dan tidak pragmatis. Pendidikan liberal art juga mencakup keseluruhan dimensi kemanusiaan secara utuh, yakni manusia sebagai mahluk yang menalar, berinteraksi dan berkembang, dan menciptakan individu yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.
Penerapan/ implementasi Liberal Arts
Prinsip bahwa mahasiswa harus memiliki pengetahuan cukup mendalam mengenai sesuatu yang khusus juga tidak boleh dilupakan. Karenanya, tujuan dari pendidikan liberal arts adalah memproduksi para lulusan yang tahu sedikit mengenai banyak subjek dan tahu banyak tentang satu subjek (to know something about everything and to know everything about something). Dari prinsip itu, lahirlah sistem yang dinamakan major dan minor.
Prinsip bahwa mahasiswa harus memiliki pengetahuan cukup mendalam mengenai sesuatu yang khusus juga tidak boleh dilupakan. Karenanya, tujuan dari pendidikan liberal arts adalah memproduksi para lulusan yang tahu sedikit mengenai banyak subjek dan tahu banyak tentang satu subjek (to know something about everything and to know everything about something). Dari prinsip itu, lahirlah sistem yang dinamakan major dan minor.
Setelah mencapai tahap tertentu (atau telah mencapai sejumlah SKS tertentu,-red) dalam studinya, mahasiswa diberi peluang untuk menentukan disiplin apa yang akan menjadi minat utama (major) dan disiplin apa yang menjadi pelengkap (minor). Misalnya, seorang mahasiswa bisa saja memilih kombinasi major-minor yang tak terbayangkan di negeri ini seperti major pramedikal (untuk menjadi dokter) dengan minor sejarah, politik, atau ilmu budaya. Ketika ia memilih suatu major, universitas telah menentukan mata kuliah-mata kuliah apa saja yang tertera dalam paket itu, demikian pula pada waktu ia memilih minor.
Sistem Sekolah
Sistem liberal
arts masih digunakan di sekolah-sekolah di Eropa dan Amerika sejak 2000
tahun yang lalu sampai sekarang. Filusuf besar seperti Pythagoras,
Plato, dan St Agustinus sangat berjasa dalam pengembangan liberal arts.
Para filusuf muslim, seperti Ibn Sina, Al Farabi, dan Ibn Rusyd juga
mengembangkan paradigma yang serupa. Tidak mengherankan, jika seorang Al
Farabi dikenal sebagai filusuf, musisi, dan dokter sekaligus. Sama
dengan Eropa dan Amerika, di Iran pendekatan liberal arts masih
dijalankan, walaupun dengan format berbeda. Di Perancis, puncak dari
‘liberal arts’ adalah pemberian pelajaran filsafat di tingkat ‘lycee’
(setara SMU). Seorang siswa harus mampu menulis artikel mengenai filosof
tertentu, misalnya mengenai Friedrich Nietzche.
Berbeda
dengan di Indonesia, dimana kurikulum sekolah sangat tidak jelas
orientasinya. Pelajaran apa yang menjadi prioritas, atau mana pelajaran
yang untuk kepentingan ekonomi (pasar) dan mana yang untuk sains, sama
sekali tidak jelas. Belum lagi momok ‘ganti menteri ganti kurikulum’
membuat Indonesia sangat sukar membuat kurikulum yang stabil. Hasilnya
adalah egoisme sektoral. Sudah banyak perbaikan dan perubahan yang
dilakukan Diknas, namun masih banyak pula yang harus dilakukan, termasuk
mendesain kurikulum yang stabil dan mengangkat perspektif
multisektoral.
Sumber-sumber:
1 Komentar:
Coba gan lebih dilengkapi sedikit agar pembacanya tidak bingung ketika sedang membaca artikel ini.
Terimakasih
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)