MENULIS buku membuat saya ingat pada pendapat Gertrude Hartman dalam
kata pengantar bukunya, Builders of the Old World, yang terbit tahun
1959.
Katanya, ”Menyebarkan fakta dan gagasan melalui buku, majalah, dan surat kabar adalah salah satu cara terkuat untuk belajar tentang kebenaran mengenai apa yang sedang terjadi di dunia. Kita harus tahu kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”
Akan tetapi, saya harus membedakan media pers cetak, seperti surat kabar dan majalah, dari buku walaupun sama-sama dapat menjadi sumber informasi bagi penelusuran sejarah.
Penyebabnya adalah tidak selamanya kita dapat diyakinkan oleh media pers tentang akurasi dan kebenaran pemberitaan dibandingkan dengan informasi dalam buku. Tingkat akurasi dan kebenaran pemberitaan pers sering bergantung pada situasi politik, kebebasan pers, serta kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Gerakan 30 September
Umpamanya, untuk menemukan kebenaran tentang fakta sekitar latar belakang Gerakan 30 September, kita tidak dapat bergantung pada pemberitaan surat kabar dan media siaran di negeri ini ketika peristiwa itu terjadi tahun 1965. Ini karena sebagian besar media pers, termasuk media pers independen, diberedel pemerintah.
Untung saja Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan, termasuk buku, sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2010. Dengan demikian, kita kini mendapat peluang untuk mencermati sejumlah buku yang dengan kritis, tetapi se- akurat mungkin, mengungkapkan fakta-fakta rangkaian peristiwa yang demikian dramatis pada awal masa Orde Baru.
Terjemahan buku John Roosa, umpamanya, Dalih Pembunuhan Massal–Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, semula dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung sebelum Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pakar sejarah pengarang Pretext for Mass Murder–The September 30th Movement & Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia itu adalah Associate Professor of History di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Ketika mendengar berita larangan terhadap terjemahan bukunya di Indonesia, ia terkejut dan bingung. Seperti ditulisnya dalam satu artikel, ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, ”Sekarang tahun berapa, ya? Apakah Soeharto masih berkuasa? (Book Banning in Indonesia: A Blast from the Past, dimuat di harian The Jakarta Post, 13 Januari 2010).”
Ia berpendapat, di tengah kemajuan besar dalam reformasi hukum yang dicapai Indonesia sejak Presiden Soeharto jatuh tahun 1998, larangan peredaran buku dirasakannya sudah ana- kronistik atau ketinggalan zaman.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan bertentangan dengan konstitusi kita. Pasal 28F UUD 1945 mengatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Buku Tak Lebih Berbahaya
Ketika diminta Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku—termasuk Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Pers—untuk bersaksi di Mahkamah Konstitusi pada 15 Juni 2010, saya mengingatkan bahwa media pers cetak pernah bernasib sama dengan terbitan buku karena sama-sama dianggap ”isinya dapat mengganggu ketertiban umum”. Namun, nasib pers cetak berubah total karena tak lagi disensor dan dilarang beredar sejak berlaku Undang-Undang Pers tahun 1999.
Perbedaan antara pers cetak dan buku hanya bentuk atau formatnya. Adapun isi kedua jenis terbitan ini pada dasarnya sama. Keduanya mengandung informasi dan pendapat. Dengan demikian, yang satu tidak lebih berbahaya daripada yang lain.
Lagi pula, bila dilihat dari segi pengaruh, pengaruh isi pers cetak jauh lebih luas daripada isi buku karena tiras media pers cetak dapat mencapai ratusan ribu eksemplar, sedangkan tiras buku hanya beberapa ribu eksemplar.
Selain itu, media pers cetak dikelola dengan tenggat (deadline) yang sangat ketat sehingga isinya dapat ”sangat instan” atau dangkal. Sebaliknya, isi buku umumnya jauh lebih mendalam karena diproses dengan tenggat yang lebih fleksibel. Dengan demikian, isi buku umumnya merupakan produk dari hasil renungan yang jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak sedikit pula terbitan buku, termasuk yang dilarang beredar, merupakan hasil penelitian bertahun-tahun sehingga isinya dapat lebih dipercaya daripada laporan pers cetak.
Sejarah Yang Berkuasa
Saya gembira bahwa apa yang disebut ”buku babon sejarah”, yaitu Sejarah Nasional Indonesia, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1975 sekarang direvisi. Yang saya khawatirkan tentang akurasi isi buku sejarah itu terutama jilid V dan VI: dari ”Zaman Kebangkitan Nasional” (awal abad ke-20) sampai ”Akhir Pemerintahan Soekarno”.
Masalahnya, sejarah yang tampil dalam kedua jilid itu lebih merupakan sejarah para pemimpin politik dan pemimpin pemerintahan, bukan sejarah sosial yang memberi tempat pada peranan masyarakat dalam perkembangan bangsa. Muatan yang sepihak atau parsial dalam buku sejarah ini lebih mencolok lagi ketika menguraikan peristiwa- peristiwa menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno sampai ke pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Bagi pengamat sejarah, yang merisaukan adalah bahwa banyak fakta peristiwa pada masa itu hampir semata-mata dikutip dari pemberitaan media pers yang masih boleh terbit pada hari-hari pasca-Gerakan 30 September (1965). Itu adalah saat ketika sebagian besar media pers—termasuk kantor berita Antara—diberedel pemerintah.
Dengan demikian, sulit untuk menerima kedua jilid buku sejarah terbitan tahun 1975 itu sebagai gambaran sejarah yang obyektif. Sama halnya dengan kesulitan untuk menerima media pers yang tidak diberedel oleh pemerintah otoriter yang sedang berkuasa sebagai media independen dan obyektif.
Sekarang adalah saatnya bagi para wartawan untuk menuliskan sebanyak mungkin peng- alaman yang sesungguhnya dalam mengelola media pers, terutama pada masa 10 terakhir pemerintahan Orde Lama dan 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Selama masa pemerintahan diktatorial itu pastilah banyak sajian media pers kita yang tidak mencerminkan realitas sesungguhnya. Dengan kata lain, tidak semua sajian media pers itu berupa kebenaran.
Tulisan-tulisan baru yang dihasilkan pada masa demokrasi sekarang ini mudah-mudahan dapat meluruskan sejarah pers dalam buku-buku sejarah nasional kita pada masa depan.
Atmakusumah, Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo; Membahas Materi Ini dalam Diskusi ”Wartawan Menulis Buku, Kenapa Tidak” di Kupang, 8 Februari 2011, pada Peringatan Hari Pers Nasional
Sumber: Kompas, Senin, 21 Februari 2011
Katanya, ”Menyebarkan fakta dan gagasan melalui buku, majalah, dan surat kabar adalah salah satu cara terkuat untuk belajar tentang kebenaran mengenai apa yang sedang terjadi di dunia. Kita harus tahu kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”
Akan tetapi, saya harus membedakan media pers cetak, seperti surat kabar dan majalah, dari buku walaupun sama-sama dapat menjadi sumber informasi bagi penelusuran sejarah.
Penyebabnya adalah tidak selamanya kita dapat diyakinkan oleh media pers tentang akurasi dan kebenaran pemberitaan dibandingkan dengan informasi dalam buku. Tingkat akurasi dan kebenaran pemberitaan pers sering bergantung pada situasi politik, kebebasan pers, serta kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Gerakan 30 September
Umpamanya, untuk menemukan kebenaran tentang fakta sekitar latar belakang Gerakan 30 September, kita tidak dapat bergantung pada pemberitaan surat kabar dan media siaran di negeri ini ketika peristiwa itu terjadi tahun 1965. Ini karena sebagian besar media pers, termasuk media pers independen, diberedel pemerintah.
Untung saja Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan, termasuk buku, sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2010. Dengan demikian, kita kini mendapat peluang untuk mencermati sejumlah buku yang dengan kritis, tetapi se- akurat mungkin, mengungkapkan fakta-fakta rangkaian peristiwa yang demikian dramatis pada awal masa Orde Baru.
Terjemahan buku John Roosa, umpamanya, Dalih Pembunuhan Massal–Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, semula dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung sebelum Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pakar sejarah pengarang Pretext for Mass Murder–The September 30th Movement & Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia itu adalah Associate Professor of History di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Ketika mendengar berita larangan terhadap terjemahan bukunya di Indonesia, ia terkejut dan bingung. Seperti ditulisnya dalam satu artikel, ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, ”Sekarang tahun berapa, ya? Apakah Soeharto masih berkuasa? (Book Banning in Indonesia: A Blast from the Past, dimuat di harian The Jakarta Post, 13 Januari 2010).”
Ia berpendapat, di tengah kemajuan besar dalam reformasi hukum yang dicapai Indonesia sejak Presiden Soeharto jatuh tahun 1998, larangan peredaran buku dirasakannya sudah ana- kronistik atau ketinggalan zaman.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Pelarangan Barang Cetakan bertentangan dengan konstitusi kita. Pasal 28F UUD 1945 mengatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Buku Tak Lebih Berbahaya
Ketika diminta Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku—termasuk Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Pers—untuk bersaksi di Mahkamah Konstitusi pada 15 Juni 2010, saya mengingatkan bahwa media pers cetak pernah bernasib sama dengan terbitan buku karena sama-sama dianggap ”isinya dapat mengganggu ketertiban umum”. Namun, nasib pers cetak berubah total karena tak lagi disensor dan dilarang beredar sejak berlaku Undang-Undang Pers tahun 1999.
Perbedaan antara pers cetak dan buku hanya bentuk atau formatnya. Adapun isi kedua jenis terbitan ini pada dasarnya sama. Keduanya mengandung informasi dan pendapat. Dengan demikian, yang satu tidak lebih berbahaya daripada yang lain.
Lagi pula, bila dilihat dari segi pengaruh, pengaruh isi pers cetak jauh lebih luas daripada isi buku karena tiras media pers cetak dapat mencapai ratusan ribu eksemplar, sedangkan tiras buku hanya beberapa ribu eksemplar.
Selain itu, media pers cetak dikelola dengan tenggat (deadline) yang sangat ketat sehingga isinya dapat ”sangat instan” atau dangkal. Sebaliknya, isi buku umumnya jauh lebih mendalam karena diproses dengan tenggat yang lebih fleksibel. Dengan demikian, isi buku umumnya merupakan produk dari hasil renungan yang jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak sedikit pula terbitan buku, termasuk yang dilarang beredar, merupakan hasil penelitian bertahun-tahun sehingga isinya dapat lebih dipercaya daripada laporan pers cetak.
Sejarah Yang Berkuasa
Saya gembira bahwa apa yang disebut ”buku babon sejarah”, yaitu Sejarah Nasional Indonesia, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1975 sekarang direvisi. Yang saya khawatirkan tentang akurasi isi buku sejarah itu terutama jilid V dan VI: dari ”Zaman Kebangkitan Nasional” (awal abad ke-20) sampai ”Akhir Pemerintahan Soekarno”.
Masalahnya, sejarah yang tampil dalam kedua jilid itu lebih merupakan sejarah para pemimpin politik dan pemimpin pemerintahan, bukan sejarah sosial yang memberi tempat pada peranan masyarakat dalam perkembangan bangsa. Muatan yang sepihak atau parsial dalam buku sejarah ini lebih mencolok lagi ketika menguraikan peristiwa- peristiwa menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno sampai ke pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Bagi pengamat sejarah, yang merisaukan adalah bahwa banyak fakta peristiwa pada masa itu hampir semata-mata dikutip dari pemberitaan media pers yang masih boleh terbit pada hari-hari pasca-Gerakan 30 September (1965). Itu adalah saat ketika sebagian besar media pers—termasuk kantor berita Antara—diberedel pemerintah.
Dengan demikian, sulit untuk menerima kedua jilid buku sejarah terbitan tahun 1975 itu sebagai gambaran sejarah yang obyektif. Sama halnya dengan kesulitan untuk menerima media pers yang tidak diberedel oleh pemerintah otoriter yang sedang berkuasa sebagai media independen dan obyektif.
Sekarang adalah saatnya bagi para wartawan untuk menuliskan sebanyak mungkin peng- alaman yang sesungguhnya dalam mengelola media pers, terutama pada masa 10 terakhir pemerintahan Orde Lama dan 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Selama masa pemerintahan diktatorial itu pastilah banyak sajian media pers kita yang tidak mencerminkan realitas sesungguhnya. Dengan kata lain, tidak semua sajian media pers itu berupa kebenaran.
Tulisan-tulisan baru yang dihasilkan pada masa demokrasi sekarang ini mudah-mudahan dapat meluruskan sejarah pers dalam buku-buku sejarah nasional kita pada masa depan.
Atmakusumah, Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo; Membahas Materi Ini dalam Diskusi ”Wartawan Menulis Buku, Kenapa Tidak” di Kupang, 8 Februari 2011, pada Peringatan Hari Pers Nasional
Sumber: Kompas, Senin, 21 Februari 2011
Link http://majelissastramadiun.blogspot.com/2011/03/menulis-buku-meluruskan-sejarah.html
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)