Pengantar
Apa itu kritik sastra? Sebuah pertanyaan yang berat untuk dijawab bahkan oleh orang-orang yang telah menempuh pendidikan formal sastra, khususnya di Indonesia. Kalaupun ada jawaban atas pertanyaan itu, jawaban tersebut umumnya tidak memuaskan. Salah satu contoh, yang paling kini, dari ‘jawaban-yang-tidak-memuaskan’ ini adalah makalah Budi Dharma yang dipaparkan di Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang yang berlangsung dari tanggal 28 hingga 31 oktober 2010 lalu. Bagi Prof. Dr. Budi Dharma, yang seorang akademisi sastra (paling tidak kita ketahui dari dari titel di di depan namanya), “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra.”. Sehingga, tulisan sekecil apapun tentang karya sastra adalah kritik sastra; blurb-blurb di sampul-sampul novel juga adalah kritik sastra. Sebaliknya, menurut Katrin Bandel, yang juga seorang akademisi sastra yang ‘ditugasi’ untuk menanggapi/menyanggah makalah Budi Dharma, sebuah kritik sastra “mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya (kritikus-pen) sampai pada penilaian tertentu.” Dalam pendapat Katrin Bandel, blurb-blurb tentu tidak dapat digolongkan sebagai kritik sastra. Ketidakpuasan Katrin dari makalah Budi Dharma mengenai penggolongan ‘kritik sastra’, hal yang mendasar dalam dunia sastra, adalah sinyal yang patut ditangkap.
Makalah Budi Dharma, yang seharusnya merupakan tulisan akademis (memberi penjelasan yang lebih masuk akal dan disertai beberapa kutipan pendapat teoretikus sastra sebelumnya sebagai pembanding) tapi tak jadi, merupakan simbol parahnya pendidikan sastra di Indonesia, termasuk para akademisi yang menghidupinya. Secara lebih luas, dalam makalahnya, Katrin Bandel melihat keparahan para akademisi sastra ini dengan menyatakan bahwa “tulisan-tulisan di jurnal-jurnal akademis sering justru bermutu lebih rendah daripada tulisan di koran, di majalah sastra atau di website sastra.”
Apa itu kritik sastra? Sebuah pertanyaan yang berat untuk dijawab bahkan oleh orang-orang yang telah menempuh pendidikan formal sastra, khususnya di Indonesia. Kalaupun ada jawaban atas pertanyaan itu, jawaban tersebut umumnya tidak memuaskan. Salah satu contoh, yang paling kini, dari ‘jawaban-yang-tidak-memuaskan’ ini adalah makalah Budi Dharma yang dipaparkan di Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang yang berlangsung dari tanggal 28 hingga 31 oktober 2010 lalu. Bagi Prof. Dr. Budi Dharma, yang seorang akademisi sastra (paling tidak kita ketahui dari dari titel di di depan namanya), “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra.”. Sehingga, tulisan sekecil apapun tentang karya sastra adalah kritik sastra; blurb-blurb di sampul-sampul novel juga adalah kritik sastra. Sebaliknya, menurut Katrin Bandel, yang juga seorang akademisi sastra yang ‘ditugasi’ untuk menanggapi/menyanggah makalah Budi Dharma, sebuah kritik sastra “mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya (kritikus-pen) sampai pada penilaian tertentu.” Dalam pendapat Katrin Bandel, blurb-blurb tentu tidak dapat digolongkan sebagai kritik sastra. Ketidakpuasan Katrin dari makalah Budi Dharma mengenai penggolongan ‘kritik sastra’, hal yang mendasar dalam dunia sastra, adalah sinyal yang patut ditangkap.
Makalah Budi Dharma, yang seharusnya merupakan tulisan akademis (memberi penjelasan yang lebih masuk akal dan disertai beberapa kutipan pendapat teoretikus sastra sebelumnya sebagai pembanding) tapi tak jadi, merupakan simbol parahnya pendidikan sastra di Indonesia, termasuk para akademisi yang menghidupinya. Secara lebih luas, dalam makalahnya, Katrin Bandel melihat keparahan para akademisi sastra ini dengan menyatakan bahwa “tulisan-tulisan di jurnal-jurnal akademis sering justru bermutu lebih rendah daripada tulisan di koran, di majalah sastra atau di website sastra.”
Penyebabnya, bagi Katrin
Bandel, adalah kurangnya keinginan para dosen sastra mengembangkan diri
dan besarnya tekanan struktural (kampus) yang mengharuskan para dosen
hanya menulis di jurnal-jurnal dengan lisensi DIKTI.
Menurut saya, ada
penyebab lain yang sebenarnya turut mengambil peran terjadinya fenomena
di atas yaitu tidak adanya pendidikan sastra yang memadai sejak dini
di Indonesia: di Indonesia tidak ada pelajaran sastra di tingkatan SD,
SMP/SLTP maupun SMA/SLTA, hanya mata pelajaran Bahasa Indonesia yang
ada dan tentu tidak akan mampu mencakup sastra Indonesia secara
menyeluruh. Yang kedua, penekanan pentingnya kritik sastra sebagai
bagian mendasar dari studi sastra tidak diberikan di fakultas sastra.
Berapa mahasiswa sastra yang mengetahui bahwa tujuan akhir dari
fakultas sastra, salah satunya, adalah mencetak kritikus sastra? Atau
berapa mahasiswa yang mengetahui bahwa kritikus sastra adalah sebuah
profesi? Dan itu bukanlah sebuah kebetulan semata, karena sangat jarang
brosur-brosur iklan fakultas-fakultas sastra yang menuliskan kritikus
sastra sebagai salah satu profesi, bahkan yang utama, yang hadir
sebagai hasil dari pendidikan di fakultas sastra; kebanyakan profesi
yang diiklankan adalah sastrawan, budayawan, bahkan wartawan. Dari segi
kurikulum, berapa SKS dalam setiap prodi bernama-depan ‘sastra’ yang
membahas kritik sastra secara khusus? Mereka ( sumber ), sebagai orang
yang pernah belajar di fakultas sastra, memang tidak mendapatkan mata
kuliah-mata kuliah yang membahas kritik sastra secara khusus itu.
Apalagi saya!!
Esai ini berangkat dari lemahnya pendidikan sastra di Indonesia, yang mana saya termasuk salah satu produknya, yang bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana di awal esai ini. Dengan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, dengan semaksimal mungkin, paling tidak esai ini akan mengisi ruang lowong di ranah pendidikan sastra (di) Indonesia.
Esai ini berangkat dari lemahnya pendidikan sastra di Indonesia, yang mana saya termasuk salah satu produknya, yang bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana di awal esai ini. Dengan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, dengan semaksimal mungkin, paling tidak esai ini akan mengisi ruang lowong di ranah pendidikan sastra (di) Indonesia.
http://majelissastramadiun.blogspot.com/2011/02/apa-itu-kritik-sastra.html
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)