Apresiasi Sastra dan Karakter Bangsa

Thursday, 26 June 2014

Oleh: Kalis Mardi Asih

Moral atau karakter adalah unsur isi yang tak dapat dipisahkan dari karya sastra. Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur serta memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Pandangan Aristoteles mengenai teori mimetic menyatakan dalam proses penciptaan sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, melainkan sekaligus menciptakan sebuah ”dunia” dengan kekuatan kreativitasnya.

Aristoteles memandang sastra sebagai sesuatu yang tinggi dan filosofis, bahkan mempunyai nilai lebih tinggi dibanding karya sejarah (Luxemburg dkk, 1992 : 16-7). Pesan religius dan keagamaan serta pesan kritik sosial yang senantiasa lekat dalam karya sastra menyebabkan sastra mendapat tempat khusus dalam kurikulum pendidikan kita, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagaikan cat warna dalam karya seni lukis. Sayangnya, dewasa ini isu tentang nasionalisme anak bangsa dipertanyakan karena fenomena produk budaya asing yang lebih digemari daripada produk dalam negeri. Film-film serta lagu-lagu Barat dan Korea lebih diminati remaja kita dibanding hasil karya anak negeri. Mereka fasih bernyanyi atau melafalkan bahasa asing untuk berkomunikasi dengan teman sejawat.

Tanpa disadari, produk-produk turunan seperti pakaian, makanan, dan aksesori dari negara asing pun laris manis menjajah industri dalam negeri. Produk budaya asing tak berarti buruk, namun produk budaya lokal pasti lebih kaya dan mengajarkan nilai-nilai kearifan dan kebangsaan dalam bermasyarakat.

Bahasa sebagai bagian peradaban yang paling tak dapat kita pisahkan dari keseharian karena kebutuhan untuk berkomunikasi serta bersosialisasi adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Banyak akademisi dan ahli bahasa yang kemudian meneliti bahasa. Mayoritas dari penelitian itu menghasilkan hipotesis mengenai tingkat kemudahan masing-masing bahasa saat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satunya adalah anggapan bahwa bahasa asing lebih ekspresif digunakan di kalangan para remaja kita yang sedang memasuki fase pubertas. Namun, apakah benar masalahnya ada pada unsur struktur kebahasaan? Apakah generasi muda kita memikirkan unsur intrinsik bahasa dalam menyerap produk-produk budaya? Bagaimana metode analisis wacana dan sistem pembelajaran yang tepat untuk menjadi solusi degradasi moral bangsa?

Selama ini, ruang-ruang belajar di sekolah tampak mati. Pembelajaran seolah-olah terjadi, namun kenyataannya yang ada hanya tak lebih dari sekadar ceramah teori. Setelah mendapat teori, siswa kemudian dituntut berproduksi atau berkarya, tak peduli bagaimana kualitas karya tersebut.

Hal inilah yang menyebabkan kita menghasilkan banyak karya sastra, namun tak pernah menyumbangkan ilmu sastra untuk dunia ilmu pengetahuan. Kita juga tak terdidik menjadi bangsa yang kritis karena ada satu jenjang pembelajaran yang kita lewati, yakni apresiasi karya.

Stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra secara objektif dan ilmiah tentang karakteristik khusus sebuah karya. Nurgiyantoro (2007: 280) menyatakan kajian stilistika dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian linguis) di pihak lain.

Dua unsur ini dapat diobservasi dengan bebas tanpa keharusan dari titik mana dahulu kita harus berangkat sebab baik linguistik maupun wawasan estetis-literer dapat saling menstimulasi. Hal tersebut tampak dari unsur-unsur dalam stile yakni unsur leksikal atau diksi, unsur gramatikal yang mengacu pada struktur kalimat, serta unsur retorika atau cara penggunaan bahasa untuk mendapatkan efek estetis.

Kompleksitas dalam stilistika memang bukan hal yang mudah, namun dengan mengasah kepekaan siswa terhadap hal-hal seperti ini diharapkan akan lahir kembali karya-karya sastra yang monumental sehingga produk budaya bangsa sendiri akan dicintai dan mendapat penghargaan dari generasi penerus bangsa.

Dalam praktik di kelas, guru dapat menciptakan suasana yang nyaman ketika siswa diberi waktu khusus untuk menyelesaikan bacaan, menonton film, atau menikmati sebuah lagu. Guru juga dapat mengajarkan siswa untuk membandingkan karya-karya yang monumental pada zamannya, misalnya karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) yang menyajikan agama (syariat) sebagai sesuatu yang diyakini para tokohnya dengan karya-karya A.A. Navis yang menyajikan unsur keagamaan dan religiositas secara koheren dalam cerita.

Guru juga dapat menghadirkan karya-karya masa kini seperti membandingkan karya Ayu Utami, Mustofa Bisri, Darwis Tere Liye, Andrea Hirata, dan lain-lain. Melalui kegiatan semacam itu, siswa akhirnya mengerti bahwa sebuah karya merupakan anak zaman yang memiliki pengaruh penting dalam kehidupan berbangsa.

Guru diharapkan dapat memberikan kesimpulan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang dapat mengubah persepsi dan kehidupan banyak orang, bukan hanya karya komoditas kejar tayang. Empat pilar penyangga budaya yakni mitos, logos, ethos, dan patos juga wajib diinternalisasikan dalam kegiatan pembelajaran. Mitos adalah kesamaan cita-cita dan nilai-nilai norma yang diusahakan dan dijunjung bersama oleh pemiliknya.

Mitos ini berarti menyangkut ideologi atau falsafah hidup bangsa. Mitos didukung logos, yakni pemikiran yang diasah untuk mewujudkannya serta ethos yang merupakan kemampuan mengorganisasi berbagai kemampuan manusia (cipta, rasa, dan karsa). Dua hal ini diterjemahkan dalam sistem pendidikan nasional dan atau kurikulum.

Produk budaya yang dihasilkan erat kaitannya dengan patos yang tak lain merupakan kemampuan yang muncul dari pengalaman manusia. Demikianlah, kegiatan apresiasi (di dalamnya juga kritik sastra) adalah upaya untuk memperkaya wawasan dalam empat pilar penyangga budaya tersebut.

Seiring perkembangan zaman kapitalistik, peningkatan frekuensi serta kapasitas produksi industri menjadi hal yang diutamakan. Semakin banyak penerbit-penerbit indie bermunculan sehingga siapa pun dengan bebas dapat menerbitkan karyanya. Terlebih di zaman teknologi informasi, siapa saja dapat mengunggah karya melalui laman pribadi (blog) atau media sosial.

Diperlukan kemampuan dan kepekaan khusus agar kita dapat menempatkan karya-karya yang memang bermutu pada posisi yang semestinya. Melalui pendekatan stilistika dalam kegiatan apresiasi sastra, generasi muda kita akhirnya dapat menilai kualitas produk-produk budaya. Dan akhirnya, semoga cita-cita pendidikan untuk membendung degradasi moral dapat tercapai melalui sesuatu yang indah: karya sastra!

Kalis Mardi Asih (kalis.mardiasih@gmail.com)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret 

Sumber: http://www.harianjogja.com/baca/2013/09/03/mimbar-kampus-apresiasi-sastra-dan-karakter-bangsa-443741

Diposting harianjogja pada Selasa, 3 September 2013 

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas