Oleh Muhammad Alfian Tuflih
Lapis Suara (Sound Stratum)
Lapis Arti (units of meaning)
Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir yang ada pada tiap larik.
Di dalam puisi ini juga digambarkan rasa cinta namun dalam bentuk kesedihan yang mendalam yang dialami oleh si aku namun si aku tetap tegar menghadapinya. Si aku dalam keadaan muram , penuh kegelisahan, dan tidak sempurna dengan kehidupannya. Si aku sedang mancari cintanya yang hilang. Suasana pada saat itu gerimis yang menambah rasa kesedihan dari si aku.
Lapis Ketiga
Objek-objek yang dikemukakan: gudang, rumah tua, kapal, tali, temali, laut, kelepak elang, ombak, semenanjung. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu: ketika si aku sendirian meratapi keadaannya.
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut:
Si aku merasa kesepian. Ia telah kehilangan cintanya. Sekarang tidak ada lagi cinta seperti dulu, dimana mereka selalu bersama. Si aku sennatiasa mencari cintanya, entah itu di gudang, rumah tua, namun ia tak menemukannya. Kini si aku hanya ditemani sepi. Hari-harinya ia habiskan dengan menelusuri sepanjang semenanjung disertai suara elang yang memecah kesunyian.
Walaupun dalam kesepian, menariknya penulis selalu mencaoba memberikan gambaran kepada kita tentang beapa tegarnya si aku dalam menghadapi kehidupannya ini.
Lapis Keempat
Dipandang dari sudut pandang tertentu, kekasih sia aku itu begitu menarik bagi si aku. Ini terlihat dari kalimat “ini kali tidak ada yang mencari cinta”, kalimat ini sangat jelas menceritakan tentang bagaimana perasaan si aku setelah ditinggal orang yang dicintainya. Ia pun merasa tidak perlu mencari cinta karena cintanya telah hilang.
Pada bait kedua, digambarkan tentang perasaan sia aku dalam menjalani kesendiriaannya. Si aku hanya ditemani sepi dan kelepak elang. Saking kesepiannya, sampai-samapai si aku mersa air di pantai yang senantiasa berombak, kini seperti sedang tidur.
Pada bait terakhir, menyatakan tentang kepasrahan si aku menjalani kehidupannya. Semuanya telah terjadi, si aku berusaha bangkit. Ia berusaha membangun kembali kehidupan barunya dan mengucapkan selamat jalan pada masa lalunya.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, yaitu bahasa Indonesia (Pradopo, 1995). Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola-pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, agar didapatkan efek puitis atau nilai seninya. Ini bisa dilihat pada pola bait pertama dan kedua yaitu a a b b. Berbeda dengan bait kedua yang berpola a a b b yang saling dipertentangkan. Dari puisi-pusinya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalam menuliskan puisinya, chairil anwar selain bermain dalam ranah metafora, ia juga begitu memperhatikan persajakan dalam penulisan puisinya. Misalnya saja. Dari analisis beberapa puisi ini berdasarkan lapisan suaranya, puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” didominani oleh vokal bersuara berat a dan u. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi ini dari segi lapis suaranya sangat jelas tergambar unsur lambang rasanya (klanksymboliek).
Lapis Arti (units of meaning)
Satuan terkecil disebut fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan sebuah satuan arti (Pradopo, 1995).
Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir yang ada pada tiap larik.
Di dalam puisi ini juga digambarkan rasa cinta namun dalam bentuk kesedihan yang mendalam yang dialami oleh si aku namun si aku tetap tegar menghadapinya. Si aku dalam keadaan muram , penuh kegelisahan, dan tidak sempurna dengan kehidupannya. Si aku sedang mancari cintanya yang hilang. Suasana pada saat itu gerimis yang menambah rasa kesedihan dari si aku.
Lapis Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 1995).
Objek-objek yang dikemukakan: gudang, rumah tua, kapal, tali, temali, laut, kelepak elang, ombak, semenanjung. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu: ketika si aku sendirian meratapi keadaannya.
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut:
Si aku merasa kesepian. Ia telah kehilangan cintanya. Sekarang tidak ada lagi cinta seperti dulu, dimana mereka selalu bersama. Si aku sennatiasa mencari cintanya, entah itu di gudang, rumah tua, namun ia tak menemukannya. Kini si aku hanya ditemani sepi. Hari-harinya ia habiskan dengan menelusuri sepanjang semenanjung disertai suara elang yang memecah kesunyian.
Walaupun dalam kesepian, menariknya penulis selalu mencaoba memberikan gambaran kepada kita tentang beapa tegarnya si aku dalam menghadapi kehidupannya ini.
Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit seperti yang tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu, kekasih sia aku itu begitu menarik bagi si aku. Ini terlihat dari kalimat “ini kali tidak ada yang mencari cinta”, kalimat ini sangat jelas menceritakan tentang bagaimana perasaan si aku setelah ditinggal orang yang dicintainya. Ia pun merasa tidak perlu mencari cinta karena cintanya telah hilang.
Pada bait kedua, digambarkan tentang perasaan sia aku dalam menjalani kesendiriaannya. Si aku hanya ditemani sepi dan kelepak elang. Saking kesepiannya, sampai-samapai si aku mersa air di pantai yang senantiasa berombak, kini seperti sedang tidur.
Pada bait terakhir, menyatakan tentang kepasrahan si aku menjalani kehidupannya. Semuanya telah terjadi, si aku berusaha bangkit. Ia berusaha membangun kembali kehidupan barunya dan mengucapkan selamat jalan pada masa lalunya.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)