Oleh Ahyar Anwar
Aslan Abidin tercatat sebagai sastrawan angkatan 2000 (dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia karya Korie Layun Rampan), keunikan Aslan Abidin, sebagai penyair, terletak pada jumlah karya-karyanya yang sangat terbatas. Aslan Abidin telah mulai menulis sajak-sajaknya pada tahun 1990-an, sajak pertamanya berjudul “Sajak Kecil Buat Emak” ditulis tahun 1991, sajak-sajaknya yang lain (secara individual) dimuat di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Harian Republika, Harian Kompas, dan Harian Media Indonesia. Sajak-sajak Aslan Abidin juga dimasukkan dalam Antologi Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000 (2000), Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004) Poetry and Sincerity (2006), dan Tonge in Your Ear (2007). Aslan Abidin memenangkan penghargaan Celebes Award dibidang kesusasteraan pada tahun 2003, diundang membacakan sajak-sajaknya pada perhelatan “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marsuki Jakarta atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1996; diundang membacakan sajak-sajaknya pada “Cakrawala Sastra Indonesia” pada tahun 2004; mengikuti “Ubud Writers and Readers Festival” di Bali tahun 2004, dan terakhir diundang dalam perhelatan “Indonesia International Poetry Festival” tahun 2006. tetapi antologi puisinya yang berjudul Bahaya Laten Malam Pengantin (BLMP) baru diterbitkan pada tahun 2008. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa, Aslan Abidin, merupakan seorang penyair yang lebih mengutamakan individu sajak dibandingkan sekumpulan sajak. Eksistensi kepenyairan Aslan Abidin justru dimulai dari individu-individu sajak yang dimunculkannya melalui persalinan puitik yang serius dan cenderung hati-hati.
Aslan Abidin tercatat sebagai sastrawan angkatan 2000 (dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia karya Korie Layun Rampan), keunikan Aslan Abidin, sebagai penyair, terletak pada jumlah karya-karyanya yang sangat terbatas. Aslan Abidin telah mulai menulis sajak-sajaknya pada tahun 1990-an, sajak pertamanya berjudul “Sajak Kecil Buat Emak” ditulis tahun 1991, sajak-sajaknya yang lain (secara individual) dimuat di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Harian Republika, Harian Kompas, dan Harian Media Indonesia. Sajak-sajak Aslan Abidin juga dimasukkan dalam Antologi Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000 (2000), Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004) Poetry and Sincerity (2006), dan Tonge in Your Ear (2007). Aslan Abidin memenangkan penghargaan Celebes Award dibidang kesusasteraan pada tahun 2003, diundang membacakan sajak-sajaknya pada perhelatan “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marsuki Jakarta atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1996; diundang membacakan sajak-sajaknya pada “Cakrawala Sastra Indonesia” pada tahun 2004; mengikuti “Ubud Writers and Readers Festival” di Bali tahun 2004, dan terakhir diundang dalam perhelatan “Indonesia International Poetry Festival” tahun 2006. tetapi antologi puisinya yang berjudul Bahaya Laten Malam Pengantin (BLMP) baru diterbitkan pada tahun 2008. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa, Aslan Abidin, merupakan seorang penyair yang lebih mengutamakan individu sajak dibandingkan sekumpulan sajak. Eksistensi kepenyairan Aslan Abidin justru dimulai dari individu-individu sajak yang dimunculkannya melalui persalinan puitik yang serius dan cenderung hati-hati.
Antologi puisi Aslan Abidin yang berjudul Bahaya Laten Malam Pengantin, diterbitkan pada tahun 2008 di Makassar oleh penerbit Ininnawa. Antologi Bahaya Laten Malam Pengantin
merupakan antologi sajak-sajak Aslan Abidin sepanjang 13 Tahun masa
kepenyairannya. Antologi BLMP berisi 112 sajak-sajak Aslan Abidin dalam
rentang tahun 1993 hingga tahun 2006. Jumlah 112 sajak tersebut adalah
total sajak Aslan Abidin selama tiga belas tahun berkarya. Dalam
keseluruhan sajak-sajaknya, Aslan Abidin, menggunakan pola estetika yang
cenderung “cabul”. Berbagai istilah cabul akan sangat mudah dijumpai
dalam sajak-sajak Aslan Abidin seperti “buah dada”, “kemaluan”, dan
“zakar”, sehingga beberapa pembicaraan terhadap sajak-sajak Aslan Abidin
dihubungkan dengan karya-karya Djoko Pinurbo. Tetapi jika ditelisik
lebih renik lagi, sesungguhnya Aslan Abidin sedang membangun dongeng
eksistensial secara puitik. Dalam sajak-sajaknya pada BLMP, Aslan
Abidin, mengajak pembaca untuk menelusuri kompleksitas eksistensial diri
dalam “aku”,”engkau”, “kami”, dan “kita”. Siapakah “aku”, “engkau”,
“kami”, dan “kita” ? hanya mungkin dipahami dengan membelah struktur
dongeng yang dibangun oleh penyair.
Aslan Abidin mempunyai karakter puisi dengan ending yang cenderung
terbuka, kecenderungan tersebut sangat mungkin dengan sengaja
menpengaruhi sajak-sajaknya dengan karya-karya Guy de Poupassant,
seorang sastrawan (cerpenis) Perancis, yang selalu membiarkan akhir
cerita dari cerpen-cerpennya terbuka. Dalam beberapa kesempatan, Aslan
Abidin, menyatakan secara langsung bahwa ia menyukai karya-karya Guy de
Poupassant dan sangat terpengaruh dengan gaya ending yang terbuka.
Tetapi lebih dari sekedar persoalan dan fenomena struktural-stilisltika,
sajak-sajak Aslan Abidin mempunyai kekuatan pada wacana-wacana
eksistensial yang dimainkan dalam model relasi-relasi yang kompleks.
Secara individual, struktur eksistensial sajak-sajak Aslan Abidin, susah
untuk tertangkap maknanya tetapi secara kesatuan tubuh puisinya dalam
BLMP akan tampak komposisi-komposisi eksistensial yang sesungguhnya
ingin dikisahkan oleh penyair.
“Aku” : Dongeng Tentang Hilangnya Diri
Siapakah “aku”? dalam sajak-sajak Aslan Abidin pada BLMP, “Aku”
digambarkan sebagai subjek yang bersembunyi dibalik metafora-metafora.
Mengikuti pandangan Marcel bahwa metafora adalah “sebuah jalan” dan
pandangan Bergson yang menegaskan bahwa metafora adalah “sebuah fenomena
saling keterhubungan”, posisi eksistensial “aku” dalam sajak-sajak
Aslan Abidin akan dapat dikonstruksi sketsa eksistensialnya. Bagi Marcel
(Mystery of Being; 1987) terdapat dua persoalan tentang
metafora. Pertama, sebuah jalan yang mengandaikan adanya ruang dimana
eksistensi subjek bersandar. “Ruang” adalah sebuah jalan untuk memahami
posisi “aku” sebagai subjek. Ruang-ruang seperti apakah tempat “aku”
bersandar dalam sajak-sajak Aslan Abidin ? Ruang yang dimakud adalah
ruang pengalaman bathiniah (spatiality of inner experience).
Dengan demikian “aku” adalah sebuah subjek spiritual yang disusupkan
penyair kedalam metafora. Kedua, sebagai sebuah jalan, metafora,
harusnya mempunyai tujuan, sebab menunjuk jalan berarti menunjuk tujuan.
Lokus apakah yang akan ditunjuk oleh subjek “aku” dalam sajak-sajak
Aslan Abidin. Inilah yang harus menjadi fundamen dasar dari penyelidikan
puitik secara eksistensial dalam BLMP.
Penyelidikan pertama dapat dilakukan dengan menelusuri persoalan
esensial dalam ruang eksistensial subjek “aku”. Kita dapat menemukan
persoalan dasar terhadap esensi eksistensial subjek “aku” dalam frasa
tiga sajak Aslan Abidin berikut :
Di sini, diranjangku
yang tak seperti kau-selalu siap menerimaku-aku tertidur
memeluk cermin yang telah melukai wajahku
(Sajak Kecil Buat M (2))
Tak aku mengerti benar mengapa begitu
banyak yang ingin aku terjemahkan pada kedalaman
matamu.
(Sajak Kecil Buat M (3))
Doa-doa yang aku
kirim dengan air mata ke alamatmu itu,
adakah sampai ke pintumu?
….
Selalu saja ada yang aku lupa dari
kegaibanmu. Seperti ketika aku bermimpi kau kirimi
jubah berwarna putih, untuk aku kenakan
dalam resepsi pesta besarmu.
(Ketika Senja Pergi Dari Halaman Ini)
Ketiga frasa tersebut secara fundamental menunjukkan masalah internal
yang terdapat dalam diri subjek “aku”. Menurut Marcel (1987), konsep
eksistensial tentang “aku” dapat dipahami dengan dua aspek yaitu (1)
“aku” yang mempunyai dalam arti “memiliki” dan (2) “aku” yang mempunyai
dalam arti “implikasi”. Dalam arti memiliki, posisi “aku” dapat dipahami
dari capaian pemilikannya. Apakah dalam fase mengklaim sesuatu sebagai
miliknya atau fase memelihara sesuatu yang telah menjadi miliknya atau
fase menguasai sepenuhnya apa yang telah menjadi miliknya.
Dalam sajak Aslan Abidin , posisi subjek “aku” justru berada pada
fase “memiliki” yang tidak sepenuhnya. “aku” dalam sajak-sajak Aslan
Abidin adalah eksistensi yang ekslusif, dimana “aku” hanya memiliki
sebagian dari relasi yang dilakukannya dengan “aku” yang lain dan
memelihara oposisi-oposisi yang tidak penuh. Itulah sebabnya selalu ada
ketegangan dalam teks-teks sajak Aslan Abidin. Ketegangan yang
berlangsung dalam tingkatan ekslusif secara eksistensial. Hal tersebut
sangat jelas tampak pada situasi yang paradoksial (Sajak Kecil Buat M
(2)) atau situasi yang penuh ketidakmengertian (Sajak Kecil Buat M (3))
dan situasi yang penuh ketidakpastian (Ketika Senja Pergi Dari Halaman
Ini). Secara keseluruhan fenomena tersebut menunjukkan situasi
eksistensial “aku”, dalam sajak-sajak Aslan Abidin, berada dalam situasi
luminal antara “ada” dan “mempunyai”, sesuatu yang bermasalah karena
adanya “keduaan” dalam situasi “mempunyai”, sebuah kondisi yang disebut
oleh Marcel sebagai “ego abstrak” (Marcel, 1987) yang sekaligus membuat
posisi eksistensial “aku”, pada sajak-sajak Aslan Abidin, menjadi tidak
pasti dan tidak jelas.
Penyelidikan kedua dapat dimulai dari sajak “Kau Telah hilang, Kata
Orang”, sajak tersebut mengandung informasi tentang ruang-ruang
eksistensial yang dibutuhkan untuk memahami siapa “aku” secara
eksistensial.
“aku harus berangkat.
Lihatlah, rembulan di atas mulai pucat.”
lalu aku berkemas seadanya, sekedar mematut
letak rambut, dan aku tercekat di saat pamit:
bibirmu terasa begitu pahit.
……
Sekarang aku pulang. Bingung mencarimu:
di jalan yang pernah kita lalui, riuh. Tapi aku
tahu bukan lagi milik kita. Kata orang-orang lewat
yang aku tanya : “kenangan? Tak ada lagi yang dapat
ditemukan di jalan ini. Semuanya telah hilang.
…..
Aku kehilangan sudut tempat kita pernah menyimpan
rencana hari esok.
(Kau Telah Hilang, Kata Orang)
Struktur metafora dalam sajak “Kau Telah Hilang, Kata Orang” dengan
jelas menggambarkan bagaimana “aku” keluar dari jarak ruang subjek “aku”
yang lain (mu). Kepergian subjek “aku” yang justru menunjuk jalan pada
diri (aku) yang lain, dan ketika arah itu jelas maka posisi “aku” justru
kehilangan ruang pengalaman bathiniah yaitu (1) kenangan dan (2)
rencana. Komposisi eksistensial dalam sajak “Kau Telah Hilang” menjadi
terpecahkan dengan menemukan jalan tujuan dan ruang yang tersandari.
Hilangnya kenangan dan lenyapnya rencana masa depan adalah sebuah fase
kehilangan eksistensial yang ingin disampaikan penyair.
Bergson menegaskan tentang esensi “keterhubungan” dalam kualitas
metaforik untuk memahami fenomena eksistensial. Komposisi yang ditemukan
dalam eskalasi sajak “Kau Telah Hilang, Kata Orang” adalah relasi
“aku” yang kehilangan jalan menuju “kau” dan posisi eksistensial “aku”
yang kehilangan kenangan (ruang yang menjangkau “kau”) serta kehilangan
rencana masa depan (ruang dimana “kau” terlibat). Hilangya dua dimensi
eksistensial secara metaforik tersebut adalah titik pandangan Aslan
Abidin yang sesungguhnya sedang berdongeng tentang persoalan
eksistensial. Seseorang yang kehilangan ruang bathin dan mengalami
lenyapnya jalan menuju kebersamaan dengan individu lain. Dongeng
tersebut adalah sebuah dongeng eksistensial diri manusia yang hidup
dalam hilangnya “pengalaman” sebagai sesuatu yang secara esensi
menentukan kualitas dirinya yang terdegradasi sebagai manusia. Bagi
penyair, kehilangan ruang kenangan dan rencana, adalah kisah
eksistensial yang menentukan keberadaan “aku” sebagai aku. Sehingga
statemen dalam judul “kau telah hilang” justru menunjukkan pengalaman
subjek “aku” yang sedang kehilangan dirinya sendiri.
Relasi eksistensial tentang kehilangan ruang kenangan juga
dimunculkan dalam sajak “Kau Memang Telah Hilang”. Sajak tersebut
kembali menunjukkan ruang kenangan sebagai sebuah esensi titik sandar
eksistensial dari manusia. Hilangnya subjek terhubungkan, secara
metaforik, dengan hilangnya kenangannya.
Tentang Hujan yang diam-diam jatuh
tengah malam ditepi pantai itu, tak dapat aku
ceritakan suara rintiknya. Tentang gemuruh
ombaknya, bukankah itu lukisan luka-lukamu.
Kini marilah saja dipasirnya. bukankah
hanya itu yang dapat kau lakukan?
atau kenang lagi dermaga yang dulu kau ceritakan itu,
atau perahu nelayan yang berlayar beriringan,
atau bercakap lagi dengan nelayan tua bertopi enau
yang menutupi wajahnya itu.
(Kau Memang Telah Hilang)
Kenangan adalah sebuah lukisan historikal, hilangnya diri dihubungkan
dengan esensi diri yang tercerabut dari ruang kenangan. Penyair Aslan
Abidin ingin menunjukkan esensi “aku”, sebagai sebuah subjek, hanya
dapat eksis dalam struktur kenangan subjek lainnya. “Aku” hanya ada
sejauh dipelihara atau disimpan dalam kenangan. Dalam sajak “Kau Memang
Telah Tiada”, tampak sangat tegas penyair ingin berdongeng tentang
subjek-subjek yang tak berdaya dan kehilangan diri dalam kenangan.
Ruang kenangan sebagai sebuah ruang eksistensial juga muncul dalam
sajak “Peri Dari Srebrenika”. Komposisi ruang kenangan muncul dari sosok
subjek “aku” yang bercerita dalam rentang waktu kenangan yang
dimilikinya. Frasa ”tangismu memang pernah terjatuh disini, bersama petang dan setangkai kembang”
adalah ruang kenangan yang mengendap dalam pengalaman bathin
eksistensial “aku” yang direkonstruksi secara historik, sebelum kemudian
tereduksi hanya sebatas kisah.
“aku datang dari srebenika, tempat
tentara menguliti gadis-gadis dengan syahwat
dan bayonet.” Ucapmu dulu ketika
turun di bandara.
“hanya transit”, katamu, “aku membawa air mata,
air mata gadis-gadis srebrenika yang dengan wajah
sesuci maryam menyimpan nafas tuhan di rahimnya
tetapi tak tahu siapa yang meletakkannya.”
tangismu memang pernah
terjatuh disini, bersama petang
dan setangkai kembang. Lalu janji, mungkin juga
putus asa, terlepas bersama deru pesawat yang
mendesing membawamu entah kemana.
(Peri Dari Srebrenika)
Pada frasa lain, pada “Peri Dari Srebrenika”, kembali ditegaskan
posisi ruang kenangan yang terserap kedalam materi-materi : “wangi
kulitmu”, “detak halus dari arloji kecil”, “meja kafe bandara”, Gelas
kopi dengan bekas tipis lipstik”, serta “ampas kopi yang mengering”.
Posisi “aku” dalam sajak “Peri Dari Srebrenika” adalah “aku” yang
menimbulkan persoalan eksistensial pada “aku” yang bercerita.
Keterhubungan eksistensial terukur dari kekuatan materi-materi kenangan
terpaparkan. Besarnya materi-materi kenangan yang ada akan menunjukkan
besarnya kekuatan keterhubungan sekaligus besarnya kekuatan eksistensial
yang tercipta antara “aku” dan “aku”.
Kuatnya ruang kenangan dalam relasi eksistensial subjek manusia,
bahkan ditegaskan oleh Aslan Abidin sebagai sebuah bentuk kecelakaan
eksistensial ketika subjek “aku” yang dikenang justru hilang dari
kenangan itu sendiri.
Celakalah laki-laki karena menyatu cinta
dan birahinya, ia penyembah juga pemangsa.
begitu pula aku yang terus terkenang
pada matamu : seperti telaga yang menimang
wajah bulan di malam-malam purnama
(Gadis Kuburan).
Hilangnya subjek dari kenangan yang dimiliki sekaligus menunjukkan
adanya keterputusan hubungan intersubjek. Situasi yang menimbulkan
persoalan eksistensial yang akut dalam kehidupan manusia, sebagaimana
ditegaskan Aslan Abidin sebagai sebuah “kecelakaan” eksistensial.
Keterkenangan adalah sebuah fenomena ruang pengalaman bathin (inner space)
yang eksistensial. Sekaligus menunjukkan bahwa posisi eksistensial
manusia ada pada kedalaman bathinnya bukan pada ruang kehidupannya (lived space) dan juga bukan pada ruang pengalaman (the space of experience)
secara fisik. Sajak-sajak Aslan Abidin menegaskan bahwa gerak
fundamental manusia terletak pada gerak bathiniahnya. Pada sajak “Kau
Memang Telah Hilang” pada frasa “Atau kenang lagi dermaga yang dulu kau ceritakan itu”; pada sajak “Peri dari Srebrenika” pada frasa “Tangismu memang pernah terjatuh disini, bersama petang dan setangkai kembang”: pada sajak “Gadis Kuburan” pada frasa “Begitu pula aku yang terus terkenang pada matamu : seperti telaga yang menimang wajah bulan di malam-malam purnama” sangat jelas menunjukkan adanya gerak besar subjek dalam bathin atau dalam proses mengenang.
Frasa “Atau kenang lagi dermaga yang dulu kau ceritakan itu”
adalah sebuah ajakan untuk melakukan gerak bathin untuk mengenang.
Gerak eksistensial yang menuju pada ruang historis dimana jejak pertama
pertemuan yang eksistensial terbentuk. Frasa “Tangismu memang pernah terjatuh disini, bersama petang dan setangkai kembang”
adalah sebuah bentuk gerakan mengenang dimana bathin subjek melakukan
perjalanan kembali pada titik historis yang mempunyai makna eksistensial
bagi “aku”. Frasa “Begitu pula aku yang terus terkenang pada matamu : seperti telaga yang menimang wajah bulan di malam-malam purnama”
adalah kontinuitas gerak yang tidak berhenti dalam proses mengenang.
Kontinuitas akan menunjukkan konsistensi eksistensial bagi “aku” untuk
terus berada dalam gerak menuju kebersamaan.
Aslan Abidin ingin mengkisahkan tentang sebuah ruang yang sangat
eksistensial, ruang kenangan, dimana masa lalu, masa kini, dan masa
depan menjadi tersatukan secara esensial. Kenangan adalah sebuah gerak
eksistensial yang menunjukkan adanya keterhubungan eksistensi
(sebagaimana dikemukakan Bergson) antara masa lalu, masa kini, dan masa
depan. Posisi subjek-subjek “aku”, dalam sajak-sajak Aslan Abidin,
digambarkan berada dalam keterputusan eksistensial. Fenomena yang
tergambar jelas dari posisi “aku” dengan “ruang kenangan” yang
dimilikinya. Seseorang yang sedang diam ketika mengantar kekasihnya
pergi, sebagaimana digambarkan dalam sajak “Peri dari Srebrenika”
sesunguhnya hanya diam secara fisik tapi pikiran dan perasaannya terus
bergerak mengikuti kepergian subjek “aku” yang pergi itu. Sajak-sajak
Aslan Abidin menunjukkan posisi subjek “aku” yang sedang berada dalam
situasi masa kini dan terputus dengan gerak masa lalu sehingga sama
sekali kehilangan daya gerak menuju masa depan. Itulah yang menjadi
dongeng eksistensial yang menunjukkan kesakitan-kesakitan eksistensial
manusia-manusia kontemporer.
Selain persoalan kenangan sebagai ruang pengalaman bathin yang
eksistensial, relasi metafora yang menunjukkan hilangnya rencana, juga
muncul sebagai fenomena eksistensial penting pada sajak “Episode
Terakhir Rumah Pengantin”, terutama dalam frasa berikut:
Aku kira kita mesti membatalkan
seluruh pesta yang telah kita rencanakan
itu adinda. Karena cinta yang kau tunggu:
cinta yang mungkin melintang di dalam celanaku,
bukanlah cinta yang kau duga.
hari terus saja meleleh
meluluhkan air matamu yang tumpah
dari kemalangan kita. Berhentilah mengagumi
fatamorgana, musim yang kita nanti
bukanlah musim yang kita sangka.
(Episode Terakhir Rumah Pengantin)
Batalnya sebuah rencana adalah fenomena eksistensial tentang
hilangnya kebersamaan. Hilangnya rencana maka hilangnya tujuan, situasi
yang membuat “aku” harus kembali pada posisi awal untuk menemukan tujuan
baru dalam hidupnya. Manusia tanpa rencana adalah manusia-manusia yang
tidak mempunyai arah dan orientasi dalam hidupnya. Manusia yang
kehilangan rencana adalah manusia yang kehilangan peta dalam
kehidupannya. Hal tersebut ditegaskan dengan sangat kuat pada sajak
“Kronus” dengan frasa : “Inilah aku yang berdiri rusuh. Diantara
cinta yang penuh, dan biografi yang lusuh. Dimana tercecer peta yang
menyimpan jejak kakimu dan angin yang membawa gelak tawamu?”
“Kita” : Dongeng Tentang Terbelahnya Kehadiran
“Kita” adalah suatu kesatuan subjek yang oleh Gustave Thibon (dalam
Weil, 1997) dihubungkan dengan dua proses yaitu “atomisasi” dan
“kolektivasi”. Hubungan antara atomisasi dengan kolektivasi bukanlah
relasi yang saling meniadakan melainkan saling berkaitan. “Kita” adalah
gambaran tentang eksistensi hidup subjek yang didalamnya terdapat subjek
lain. Kita adalah bentuk kebersamaan (togetherness). Fenomena
eksistensial kebersamaan inilah yang ingin disampaikan Aslan Abidin
dalam beberapa sajaknya pada BLMP. Untuk menelusuri fenomena kebersamaan
dalam realitas dunia, apakah menuju kesatuan atau jsutru menuju
keterbelahan. Istilah “kita”, dalam sajak-sajak Aslan Abidin,
terposisikan dalam relasi antara “aku” dengan “aku” yang lain.
Hubungan-hubungan kebersamaan antara “aku” dan “aku” yang lain itulah
yang menjadi fenomena dalam “kita”. Ukuran kebersamaan dan kekuatan
“kita” adalah capaian eksistensial yang ingin ditunjukkan Aslan Abidin
dalam sajak-sajaknya. Bagaimana kekuatan dan capaian kebersamaan yang
ditunjukkan melalui “kita” dalam sajak-sajak Aslan Abidin adalah aspek
yang menarik untuk ditelusuri. Sajak pertama yang menarik ditelaah
dalam antologi BLMP adalah sajak “Ada yang Tertembak di Halaman Kita”.
Suara tembakan di televisi
mengguntur hingga ke jendela. Tetapi
terlambat, selalu saja kita terlambat
menutupnya. Aroma mesiu dan mayat
terbakar selalu lebih cepat menampar
wajah kita, hingga bibir
kelu membiru.
Ada seorang yang melintas
tertatih di halaman, menjerit-miris :
“tolong aku tertembak!” dan di depan televisi,
kita hanya tersenyum kecut, seperti
dilakukan penonton
televisi yang lain.
(Ada yang Tertembak di Halaman Kita)
Sangat jelas, posisi ‘kita” adalah sebuah posisi sosiologis yang
kehilangan empati”. Apatisme, asosial, ketidakpedulian adalah
sentiment-sentimen yang menunjukkan “aku” berada dalam kebersamaan yang
“rusak” dengan “aku” yang lain. “Kita” adalah kolektifitas yang terbelah
pada ruang pragmatis dan kehilangan ruang kebersamaan. “kita”
dikisahkan terpisah hubungan dari “aku”. Fenomena eksistensial tersebut
menunjukkan bahwa “kita” adalah sebuah kesatuan sosial dari
subjek-subjek (aku-aku) yang berada dalam situasi yang teralienasi
secara emotif dan psikologis meskipun tersatukan secara geografis dan
sosial. Sangat jelas dalam sajak “Ada yang Tertembak Di Halaman Kita”
menunjukkan bagaimana “kita” yang tak berdaya diantara “kita” yang lain
yang juga tidak berdaya, sebagaimana ditegaskan dalam frasa “Kita hanya tersenyum kecut, seperti dilakukan penonton Televisi yang lain”.
Struktur kebersamaan intersubjek dalam “kita” lebih banyak
digambarkan oleh Aslan Abidin sebagai “pertemuan yang tidak disengaja”.
Bertemunya “aku” dan “aku” yang lain adalah pertemuan yang tidak
eksistensial hal tersebut dapat ditemukan dalam telaah dua sajak Aslan
Abidin berikut :
Kita bertemu tak sengaja di sebuah
pagi pemotongan kurban yang gerah
(Gadis Kurban)
Tanpa sengaja, kita bertemu dihari
yang basah dan panjang itu. Kau gemetar di kaki
hujan dengan payung ditangan, tetapi senyummu,
yang bagai mekarnya beraneka bunga itu,
menawari aku cuaca yang lain
(Lakon Losari)
Pada kedua sajak tersebut, istilah “kita” adalah fenomena yang tidak
ditopang dengan kosntruksi kebersamaan yang memadai. “kita” hanyalah
sebuah fenomena kebetulan yang membuat keterikatan subjek “aku” dengan
“aku” yang lain bukanlah suatu ikatan kehadiran. Aslan Abidin
menampakkan fenomena yang lebih jauh dari fase hilangnya diri menuju
hilangnya kehadiran. Hilangnya kehadiran dalam konsep Marcel (2005)
adalah sebuah relasi komunikasi dan saling mengarahkan diri satu sama
lain. Inti yang mempertemukan adalah “perjumpaan” (renconte).
Bagi Marcel istilah “kita” adalah suatu capaian eksistensial yang hanya
mungkin dicapai melalui relasi “aku”-“engkau” dalam cinta.
Fenomena cinta inilah yang banyak diangkat Aslan
Abidin sebagai persoalan eksistensial yang besar dalam sajak-sajaknya
pada BLMP.
Pertempuran-pertempuran
yang kita catat di buku harian itu seperti takkan
menyisakan tinta. dan luka yang selalu mencegat kita
di jalanan, tak lagi membekaskan cinta.
(Catatan Pertempuran)
Memang tak banyak yang dapat kita catat dari
percintaan ini.
(Sajak Terjemahan Matamu)
Mungkin akan ada saatnya
kita bersama turun ke jalan, bukankah cinta
kasih dapat membuat kita lebih dekat, meski
kita dipenjara tembok-tembok?
(Sajak Untuk Sebuah Jalan)
Memang cinta itu masih ada.
seperti katamu. Tapi pada bagian mana
dihati kita ia tergeletak?
(Memang, Seperti Katamu)
Persoalan hilangnya kehadiran dalam cinta tampak menjadi fokus
penyair untuk menyampaikan pesan-pesan eksistensialnya. Menurut Marcel
(1987) dalam cinta “aku” mengajak atau menghimbau kepada “aku” yang lain
(engkau) agar kembali menjadi satu dalam “kita”. Pada sajak “Catatan
Pertempuran”, persoalan cintalah yang menunjukkan kekaburan. Pada sajak
“Sajak Terjemahan Matamu” jelas bahwa cinta tidak punya masa depan. Pada
sajak “Sajak Untuk Sebuah Jalan” cinta justru hanya sebagai sesuatu
yang diharapkan sekaligus dicurigai. Pada sajak “Memang, Seperti Katamu)
persoalan cinta justru berada diantara keyakinan dan ketidakpastian.
Keseluruhan aspek cinta yang terdapat dalam sajak-sajak Aslan Abidin
adalah situasi eksistensial yang kritis. Egoisme yang padat secara
eksistensial, dimana “aku” berada dalam ketidakjelasan, hilang harapan,
frustasi dan tidak membuka diri secara penuh akan hadirnya “aku” yang
lain secara pasti. Pada sisi lain “aku” yang lain adalah sosok subjek
yang pasif dan tak berdaya yang tidak mampu menyatakan kesediaan (disponibilities) untuk hadir bersama dalam “kita”.
Situasi tersebut menunjukkan adanya kegagalan besar eksistensial
dalam lingkungan-lingkungan sosial yang kecil. Aslan Abidin seperti
mendongengkan keluarga-keluarga yang mengalami keterpecahan
eksistensial. Berapa banyak keterpecahan dan keterbelahan eksistensial
yang terjadi di Indonesia? Data yang dikemukakan oleh Dirjen Bimas
Islam Prof. Dr. Nasarudin menunujukkan bahwa di Jakarta dari 5.193
kasus, sebanyak 3.105 (60 persen) adalah kasus istri gugat cerai suami
dan sebaliknya suami gugat cerai istri 1462 kasus. Di Surabaya dari
48.374 kasus sebanyak 27.805 (80 persen) adalah kasus istri gugat cerai
suami, sedangkan suami gugat cerai isteri mencapai 17.728 kasus.
Di Bandung dari 30.900 kasus perceraian sebanyak 15.139 (60 persen)
adalah kasus isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri
sebanyak 13.415 kasus.
Selanjutnya, di Medan dari 3.244 kasus sebanyak 1.967 (70 persen) adalah
isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 811 kasus.
Di Makassar dari 4.723 kasus sebanyak 3.081 (75 persen) adalah isteri
gugat cerai suami, dan suami gugat cerai isteri hanya 1.093 kasus.
Sedangkan di Semarang dari 39.082 kasus sebanyak 23.653 (70 persen)
adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya
12.694 kasus. (www.JurnalIndonesia.com).
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa keterpecahan dalam kebersamaan
“kita” sedang mengalami masalah eksistensial. Rapuhnya kebersamaan
menunjukkan hilangnya kekuatan-kekuatan kehadiran intersubjek dalam
cinta. Terjadi alienasi dan sekaligus kerapuhan sosial yang mendasar
dalam lingkungan sosial dan kebudayaan. Alienasi “kita” bahkan
ditegaskan sampai pada ruang pengalaman bathin, sebagaimana yang terjadi
ditingkat “aku”.
Lalu ribuan musim berubah dan lewat tanpa
satu ujungnya dapat kita cegat bersama. Kita
tak pernah lagi bertukar tangis.
(Kau Telah Hilang, Kata Orang)
apalagi yang dapat kita kenang di halaman
ini, selain jejak kita, yang meski berlainan
arah, namun masih dapat dekat di satu halaman?
(Akuarel Perjalanan)
Sekarang kita
tak dapat lagi bermain di halaman kita.
di halaman kita, para pembuat peta
itu telah menanamkan sesuatu, bukan bunga,
tapi api yang dapat mebakar kaki kita.
(Surat Seorang Bocah dari Medan Perang)
Tiga sajak tersebut menunjukkan rusaknya kualitas kenangan yang
dianggap oleh penyair sebagai aspek esensi dalam relasi eksistensial.
Hilangnya pertukaran emosi, sebagaimana dalam sajak “Kau Telah Hilang,
Kata Orang), menunjukkan hilangnya keterhubungan psikologis antara “aku”
dan “aku” dalam “kita”. Hilangnya kemungkinan bersatu dan hadir bersama
dalam satu ruang kenangan, dalam sajak “Akuarel Perjalanan” menunjukkan
alienasi ruang bathin yang dalam antar “aku” dan “aku” dalam “kita”.
Hilangnya “tempat bermain”, dalam sajak “Surat Seorang Bocah dari Medang
Perang”, menunjukkan lenyapnya pengalaman-pengalaman untuk menimbulkan
kenangan dan menghasilkan kebersamaan.
Hilangnya keterhubungan psikologis; ruang kenangan bersama; dan
tempat bermain bersama untuk menumbuhkan kenangan secara keseluruhan
menunjukkan persoalan alienasi besar dalam relasi-relasi sosial yang
menimbulkan persoalan eksistensial. Penyair ingin menunjukkan secara
utuh persoalan eksistensial dalam tubuh sosialnya. Fenomena eksistensial
yang rusak menunjukkan serangkaian gejala-gejala eksistensial yang
menunjukkan adanya perubahan besar dalam relasi-relasi sosial di
Indonesia. Aslan Abidin setidaknya menunjuk tiga gejala eksistensial
yang menandai relasi-relasi sosial di Indonesia.
Pertama adalah hilangnya wajah otentik dari kebersamaan dan kehadiran
sosial. Subjek-subjek tidak dapat lagi saling mengenali diri dalam
relasi intersubjek. Hilangnya wajah sosial yang menjadi penanda
identitas kebersamaan tersebut tampak sangat jelas ditegaskan dalam
sajak berikut,
Ada yang tiba-tiba terjatuh ketika kita tanpa
sengaja membuka-buka album lama kita:
selembar potret yang menguning, potret kita ketika
sedang menjerit dan tak kita kenali lagi. Karena
ada yang terus-menerus menyodori kita
album-album baru.
(Tentang Album Kita)
Sajak tersebut, menunjukkan bahwa perubahan-perubahan sosial terus
bergerak dan menggerusi pola-pola kebersamaan sosial. Dunia berubah
sebagaimana relasi eksistensial intersubjek juga mengalami perubahan.
Perubahan tersebut, digambarkan sebagai sebuah refleksi yang menimbulkan
sisi alienasi yang tidak disadari dan menunjukkan persoalan kesadaran
sebagai persoalan eksistensial yang lain.
Kedua, adalah lebarnya jurang jarak alienasi. Ukuran lebarnya jurang
alienasi diukur dari rentang hilangnya kenangan sebagai sebuah titik
rekat pengalaman bathin intersubjek. Pada sajak “Sebuah Pantai dalam
Sebuah Menhir”, Aslan Abidin, menggambarkan bagaimana besarnya rentang
kenangan.
Tapi itu dulu,
ketika pantai di kota kita belum dipenuhi beton.
(Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir)
Sajak tersebut, menunjukkan fenomena eksistensial dalam ruang urban
yang tumbuh mengalienasi masyarakat. Sajak tersebut juga menyiratkan
sebuah proses tumbuhnya kota dan majunya zaman yang linear dengan
hilangnya tempat-tempat dimana subjek-subjek dapat mengenali diri dalam
ruang kenangan. Sawah-sawah berganti dengan gedung-gedung, sehingga
segala kenangan dalam kebersamaan dan kehadiran bersama juga menjadi
hilang. Dampak eksistensial tersebut kemudian berpengaruh besar pada
relasi intersubjek dalam ‘kita”.
Ketiga, adalah munculnya keputusan-keputusan eksistensialis yang
fatalistik. Subjek telah berada dalam ruang frustasi secara
eksistensial. “Kita” adalah ruang yang berbahaya dan tidak lagi menjamin
komunikasi eksistensial antara “aku” dan “aku” yang lain dapat saling
menerima kehadiran dan kebersamaan. Sajak “Episode Terakhir Rumah
Pengantin” menunjukkan dengan jelas keputusan-keputusan eksistensialis
yang parah.
Aku kira kita mesti membatalkan seluruh pesta
yang telah kita rencanakan itu adinda. karena tak ada
lagi tempat teduh untuk mendirikan rumah pengantin
kita.
(Episode Terakhir Rumah Pengantin)
Secara implisit, penyair ingin menunjukkan bahwa dalam hilangnya
identitas dan lebarnya jarak alienasi, maka tidak ada kepastian
eksistensial dalam sebuah relasi intersubjek dalam “kita”. Justru “kita”
adalah sebuah persoalan eksistensial yang sedang tumbuh dalam dunia
yang terdegradasi. “kekitaan” adalah sebuah pertanyaan eksistensial baru
dalam dunia yang berubah. Setidaknya itulah yang menjadi lokus refleksi
besar dalam sajak-sajak Aslan Abidin pada antologi puisi BLMP.
Dunia yang berubah dan “kita” yang menjadi ruang
kehadiran bersama yang rusak dan kabur membuat segala relasi menjadi
sebuah “bahaya eksistensial”. Dalam “kita” semua subjek atau “aku” dapat
mengalami ketersesatan diri, kehilangan nilai normatif, dan bahkan
saling meniadakan serta saling mengingkari. Secara tajam, Aslan Abidin,
mengurainya dalam sajak “Matahari, Pasir, Pantai, dan Kemaluan”.
Kita telah begitu lama
saling melupakan, sehingga ketika kita
bertemu kembali di pantai ini: kita telah menjelma
sepasang pelancong yang tersesat.
…..
“Sebenarnya kita telah lama saling membunuh”,
katamu sambil mempermainkan kemaluanmu.
(Matahari, Pasir, Pantai, dan Kemaluan)
Ada penyatuan semu diantara dua eksistensi subjek dan membuat
kebersamaan menjadi terbelah, rusak, dan bahkan berbahaya. Dongeng
eksistensial yang ingin dikisahkan penyair dalam sajak-sajaknya adalah
kisah tentang subjek sedang hidup dalam peperangan dengan eksistensi
lain dalam kebersamaan. Subjek yang hadir dalam esensi yang meniadakan
dan saling mengingkari, sebagai sebuah kehadiran yang membahayakan sebab
akan berujung pada situasi yang membuat subjek dapat terkubur dalam
kesatuan dan totalitas semu. Subjek menjadi tidak dapat memahami
eksistensi dirinya secara utuh. Situasi yang disebut oleh Nietzche
(1993) menimbulkan harapan untuk bunuh diri dalam kebersamaan.
“kita” yang rusak, terbelah, dan berbahaya justru
menjadi bagian dari kehadiran yang diterima dalam dunia dan realitas
kontemporer. Situasi yang digambarkan Nietzche (1993) sebagai “rusaknya principium individuationis
yang justru menjadi fenomena artistik” sebuah fase mengerikan dalam
sosialitas manusia. “Kita” adalah ramuan kehadiran dari kebersamaan
sekaligus pengingkaran. Ramuan yang menunjukkan ilustrasi dari
tercampurnya kebaikan sekaligus keburukan; cinta dan nafsu kekejaman;
kepedihan dalam kegembiraan; kegirangan dan jeritan-jeritan yang
mengerikan. Sajak-sajak Aslan Abidin berada dalam posisi kerinduan pada
sesuatu esensi yang hilang dan tak terpulihkan lagi.
“Kami” : Dongeng Tentang Kami yang sakit
“kami” tentu adalah cara mengidentifikasi diri secara eksistensial
yang berbeda dengan “kita”. Aslan Abidin mengunakan istilah “kami” dalam
relasinya dengan “mereka”. “kami”, pertama-tama digambarkan sebagai
sebuah kesadaran diri lalu kemudian menjadi kesadaran akan “mereka”.
Istilah “mereka” digunakan Aslan Abidin untuk menunjuk pada eksistensi
yang mereduksi eksistensi “kami”. “mereka” adalah identitas jahat yang
mengancam eksistensi “kami”, sekalipun “kami” adalah sesuatu yang juga
menjadi identitas dari “mereka”. Hubungan-hubungan yang kompleks dan
rumit tersebut, menjelaskan fenomena eksistensi yang menonjol dalam
sajak-sajak Aslan Abidin.
“Pilihlah kami, pilihlah kami!.” kata
mereka sambil mengacungkan tanda
gambar ke wajah kami dan menyihir kami
jadi pengikut. Kami pun berubah jadi sapi
atau kuda.
Kami kini adalah perahan
dan tunggangan. Tapi tak akan
mereka dengar lenguh keluh kami, tak
akan mereka dengar ringkik
rintih kami.
(Rakyat Perah).
Sajak “Rakyat Perah” adalah sajak yang menunjukkan secara tajam
relasi yang bermasalah antara “kami” dengan “mereka”. Istilah “mereka”
adalah eksistensi yang berbahaya bagi eksistensi “kami”. Relasi “mereka”
dan “kami” adalah relasi antara “kekuasaan” dan yang “dikuasai”.
Hubungan antara “mereka” dan “kami” adalah relasi-relasi keliyanan (the otherness)
yang menunjukkan diferensiasi sosial yang tajam. Sajak “Rakyat Perah”
bahkan menunjukkan relasi yang bersifat “jahat” dan “kejam”.
Sajak “Rakyat Perah” menunjukkan sudut pandang eksistensial penyair
tentang relasi eksistensial yang lebih besar dan lebih kompleks. Aslan
Abidin menunjukkan bahwa menjadi “kami” adalah sebuah eksistensi yang
tereduksi oleh eksistensi “mereka’. “kami” adalah kesatuan subjek-subjek
yang melampaui “aku”-“aku”, “aku”-“kita”, dan “kita”-kita”. Istilah
identitas eksistensial dari “kami” adalah gabungan dari kesatuan
“kita”-“kita”. “kami” adalah penunjuk identitas dari “rakyat” yang
berbeda dengan “mereka” yang bukan “kami”. Jelas sekali, bahwa ada batas
fundamental yang tegas antara “kami” dan “mereka”. Setiap “kami”
bukanlah bagian dari eksistensi “mereka” dan secara resiprokal
berlangsung secara timbal balik dan beregulasi secara mekanistik.
Posisi “mereka” adalah sekaligus juga “kami” dari sudut pandang yang
berlawanan, sama halnya “kami” adalah sekaligus juga “mereka” dari sudut
pandang yang berlawanan.
Penggunaan istilah “kami” juga mengacu pada posisi penyair secara
eksistensial. Sudut pandang penyair menunjukkan posisi keberadaannya
pada ruang eksistensialis. Aslan Abidin menggunakan titik komunikasi
puitik dalam sajak-sajaknya dengan menggunakan “kami”, maka posisinya
sebagai penyair adalah representasi dari “kami” yang tidak berkuasa.
Pilihan eksistensial tersebut menunjukkan keberpihakan penyair pada satu
ruang eksistensial. Keberpihakan tersebut sekaligus menyampaikan
kisah-kisah dongeng tentang rakyat yang mempunyai gairah eksistensial
yang selalu berakhir sia-sia. Eskalasi eksistensial tersebut, menjangkau
apa yang disebut Sartre (dalam Catalano, 1980)
Sajak-sajak Aslan Abidin juga menunjukkan relasi antara “kami” dengan
“kami” yang lain. Dalam sajak “Mencari Hati di Negeri Tragedi”
menunjukkan dua aspek eksistensial. Pertama adalah “kami” sebagai sebuah
kisah tentang kesatuan segala eksistensi (didalam “kami” mencakup
“aku”, “engkau”, “ia” dan “kita”). Kedua istilah “kami” berfungsi
sebagai penunjuk kesadaran eksistensial yang lebih luas. Kesadaran
tentang situasi “diri” yang kompleks. Bentuk-bentuk kesadaran
eksistensial tampak sangat tegas dalam sajak-sajak Aslan Abidin berikut.
Ini negeri tragedi. Tempat kami
menangis saat lahir. Dan anehnya, kami ingin ditangisi
ketika mati. Kami banyak bersedih dan menangis di sini
hingga nenek moyang kami menciptakan mitologi
yang kami sebut mitologi kesedihan dan air mata.
…..
Ingin menjadi rakyat negeri kami tidak
sulit. Cukup punya kesedihan dan air mata.
(Mencari Hati di Negeri Tragedi)
Penghujung tahun selalu saja sama di
kota kami. Gerimis dan pungli polisi,
jerit terompet dan pejabat menjemukan,
kami disuap dangdut memabukkan.
(Tahun Baru, Selamatkan jiwa Kami)
Kami adalah suku bangsa yang
dipimpin sekawanan penipu yang
suka terhuyung dari mabuk
kemabuk
(Ritual Kepiluan)
Sajak-sajak tersebut menunjukkan bentuk kesadaran sekaligus kecemasan
penyair yang masuk dalam esensi kesadaran dan kecemasan “kami” dalam
sajak-sajaknya. Fenomena tersebut, akan sangat mudah dipahami melalui
cara pandang eksistensialis yang dikemukakan oleh Sartre (Catalano,
1980), bahwa eksistensi manusia selalu mendahului esensi atau kodratnya
sebagai manusia. Salah satu bentuk eksistensi mendasar manusia adalah
kesadarannya. Kesadaran manusia, bagi Sartre, adalah kesadaran yang
tertuju pada sesuatu. Dalam sajak-sajak Aslan Abidin, kesadaran, “kami”
adalah kesadaran sosial yang menunjukkan bahwa “aku” dan “kita” tidak
dapat lepas dari ruang sosial sebagai esensi kemanusiaan.
Kesadaran yang disampaikan Aslan Abidin dalam sajak-sajak seperti
“Ritual Kepiluan”, “Tahun Baru, Selamatkan jiwa Kami”, dan “Mencari Hati
di Negeri Tragedi” adalah kesadaran “membedakan” esensi keberadaan
antara rakyat dan bukan rakyat. Arah kesadaran tersebut, secara
eksistensial, jelas mengarah pada kebebasan. Bebas dari mitos kesedihan
dan airmata sebagaimana pada sajak “Mencari Hati di Negeri Tragedi”.
Bebas dari pungli, penjemuan, dan pemabukan sebagaimana ditegaskan dalam
sajak “Tahun Baru, Selamatkan jiwa Kami”. Bebas dari penipuan dan
kepemimpinan yang buruk sebagaimana ditampakkan dalam sajak “Ritual
Kepiluan”.
Dalam kesadaran tersebut, penyair, menyelipkan juga dengan esensi
kecemasan-kecemasan. Kesadaran dan kecemasan, secara eksistensialis,
mempunyai hubungan yang sangat fundamental. Sartre menunjukkan bahwa
kebebasan manusia tampak dalam kecemasannya (Catalano, 1980) . kecemasan
adalah tanda adanya kebebasan dan rasa jemu menunjukkan adanya
eksistensi diri. Kecemasan berbeda dengan ketakutan. Dalam sajak-sajak
Aslan Abidin hampir tidak ada ketakutan, yang ada hanyalah kecemasan.
Bagi Sartre, “ketakutan” berbeda dengan “kecemasan”. Ketakutan
berhubungan tentang sesuatu yang material dan ada dalam dunia, sementara
kecemasan berhubungan dengan eksistensi diri. Kecemasan akan
menunjukkan bahwa eksistensi “kami” sepenuhnya disadari dalam diri
“kami” dan kebebasan sangat tergantung dengan “diri” sendiri.
Salah satu bentuk kecemasan yang digaris bawahi Sartre secara
eksistensialis adalah kecemasan yang menyangkut masa lalu. Kecemasan
historis tersebut adalah bentuk kecemasan yang berasal dari adanya
kesadaran bahwa seseorang telah terpisah dengan masa lampaunya sehingga
terjadi kecemasan terhadap keputusan-keputusan eksistensialisnya pada
masa kini. Meskipun pada sisi lain, kecemasan tersebut justru membawa
manusia sampai pada kebebasannya yang baru. Dengan demikian, sajak-sajak
Aslan Abidin, tidak hanya menunjukkan kesadaran dan kecemasan tetapi
juga titik-titik kebebasan yang baru. Apakah akan bertahan pada
kejemuan, penipuan, dan kesedihan atau keluar dari semua itu sebagai
sebuah kebebasan.
Sebagaimana ditegaskan Sartre bahwa untuk dapat menunjukkan kecemasan
dan melarikan diri dari ketidakbebasan, maka manusia harus mengetahui
secara seksama apa yang berada dibalik kecemasan dan ketidakbebasan
tersebut. Keluar dari ketidakbebasan atau melarikan diri dari kebebasan
dan secara serentak keluar dari kecemasan-kecemasan adalah bentuk tegas
adanya kesadaran eksistensial. Tendensi utama dari sebagian besar
sajak-sajak Aslan Abidin adalah untuk menunjukkan ketidakbebasan dan
kecemasan-kecemasan sebagai bagian dari adanya kesadaran eksistensial
penyair yang tumbuh dan hidup dalam dunia dan realitas sosialnya. Aslan
Abidin menempatkan “kami” sebagai sebuah refleksi eksistensial terhadap
fenomena sosial-politik di Indonesia. Dengan memainkan gaya-gaya satire
dan ironi yang tajam, penyair mengungkap satu persatu tragedi-tragedi
eksistensial yang dialami oleh masyarakat dan terefleksi dengan dalam
oleh penyair.
Desubstansialisme “aku”, “Ia” “Kita”, dan “Kami”
Konsep desubstansialisasi adalah gagasan yang dikemukakan William Barret dalam “Death of Soul, from Descartes to The Computer”.
Bahwa sajak tidak mempunyai referensi bahasa yang jelas dan bersifat
kabur (berkabut). Maka sebuah sajak sama sekali sulit untuk dikaitkan
dengan berbagai aspek-aspek referensial yang bersifat objektif. Makna
referensial yang tampaknya jelas dan terang dalam sebuah sajak bukanlah
sebuah fakta acuan yang penting. Pada sebuah sajak, justru matriks
simbolik yang kabur itulah yang referensial dan penting. Pengertian
tentang segala komposisi subjek “aku” dan “ia” atau relasi intersubjek
“kita” dan “kami” bukanlah siapa-siapa atau sebuah penunjuk eksistensial
yang berada diluar pengarang atau diluar pembaca. “aku”, “kita”,
“engkau”, “ia”, “kami” adalah diri-diri kita semua, diri kita yang
otentik termasuk diri penyair.
Semua sajak adalah sebuah dongeng tentang kisah-kisah yang hadir
secara aktual dalam pengalaman hidup kita, yang mungkin tidak disadari
dan tidak dicemasi. Tentang “halaman” yang sering disebut-sebut
penyair dalam beberapa sajaknya adalah halaman yang ada diruang depan
rumah-rumah kita, rumah yang sekarang sedang kita diami. “orang yang sedang menonton televisi”
dengan apatisme yang kental adalah cerita tentang diri kita semua,
ketika menyaksikan penderitaan manusia-manusia lain yang muncul dalam
tayangan telivisi dan kita hanya bisa tersenyum kecut. “Album-album kenangan”
yang berubah adalah album-album miliki kita semua, yang tergeletak pada
ruang-ruang tamu dan sesekali kita membukanya untuk mengenang masa lalu
dimana kita tak pernah lagi sama. “Kita” mungkin adalah “kita-rakyat”
yang diceritakan penuh masalah eksistensial, atau kita adalah bagian
dari “mereka” yang dikisahkan sebagai orang-orang yang jahat, penipu,
dan buas.
Desubstansialisme yang mendasari gagasan metaforik dan analogis dalam
sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin selain menonjolkan
permainan-permainan eksistensialis, juga menguatkan karakter cinta yang
banyak dijadikan “latar puitik” sajak-sajak didalamnya. Cinta adalah
ruang batÃn yang dipenuhi kompleksitas masalah eksistensial, mulai dari
kenangan hingga pada persoalan keputusan-keputusan dalam cinta.
Desubstansialisasi yang dilakukan penyair, menempatkan posisi kenangan
sebagai sebuah peristiwa otonom yang tuntas, artinya sekalipun cinta
secara substansial sesungguhnya telah usai, tetapi kenangan tentang
sebuah cinta tidak akan pernah kehilangan muatan esensinya yaitu cinta
itu sendiri. Sehingga kesetiaan penyair lebih pada kenangan yang selalu
dapat “menjaga”cinta pada iklim yang tidak teredusir, meski dalam
kenyataannya telah berlalu sekalipun. Kita dapat kehilangan sebuah
esensi yang substantif dari cinta, tapi kenangan bahwa kita pernah
saling mencintai dengan seseorang adalah sesuatu yang kita selalu akan
miliki. Sebuah kenangan tidak pernah kehilangan rohnya dan tidak ada
seorangpun yang mampu melupakan kenangannya, ia akan datang ketika
saatnya tiba seperti sebuah musim. Disitulah salah satu harapan-harapan
eksistensialis masih tersisa meski dalam kecemasan yang kuat.
Selain persoalan “aku”, “kita”, dan “kami”, Aslan
Abidin juga menuliskan sajak-sajak yang mengandung fenomena eksistensial
yang bersifat metafisika. Penyair menggunakan identitas “ia” dan “kau”
untuk sosok metafisik. Aslan Abidin menampakkan bahwa ada kecemasan
sekaligus kesadaran yang lain diluar eksistensi yang dipahami.
Eksistensi yang tak dapat dihindari keberadaannya dan harus diterima
diluar dari kebebasan yang dimiliki oleh seorang manusia. “Ia” adalah
eksistensi yang disadari dalam kehidupan sebagai bagian dari kepastian
yang tak dapat terhindari. Menerima eksistensinya dengan tulus dan
menjalin kedekatan adalah jalan kesadaran eksistensial yang ditawarkan
penyair.
Ia menguntitmu ke mana pun engkau
pergi kepuncak gunung tertinggi atau
ke palung laut terdalam. Sepanjang hidupmu
ia bertengger lekat di tengkukmu.
Meski tak mencemaskanmu,
ia bergidik-menyeringai juga ketika engaku
menatap jurang yang dalam.
Tak seperti lelaki murahan atau
perempuan hidung belang yang telah menipumu,
ia setia, tak pernah ingkar janji, dan selalu
tepat waktu.
(Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian)
Elmaut kekasihku, masihkah kau
tak sudi mendekap kami di lahatmu?
(Sepasang Pengungsi dan Elmaut)
Wahai tanah lahat, terimalah
ia sebagai darah dagingmu yang telah
lari dari rumah dan lama kau nanti
untuk kau dekap dan urai ke azali
(Sajak Pengantar Jenazah)
Dalam konstruksi identitas tentang “kita” dan “kami”, Aslan Abidin
melakukan refleksi terhadap guncangan-guncangan eksistensial dalam
sajaknya. Guncangan yang oleh Fukuyama (2005) dianggap sebagai fenomena
eksistensial (kodrat manusia) dalam tatanan sosial baru. Data yang
diajukan Fukuyama menunjukkan bahwa ukuran modal sosial yang negatif
meningkat pesat sejak tahun 1965. Ada tiga aspek utama modal sosial yang
bermasalah yang diangkat Fukuyama, terkait dengan eksistensi manusia
secara sosial, yaitu kejahatan, keluarga, dan kepercayaan. Modal sosial
adalah norma kerjasama atau tatanan kebersamaan dalam dunia sosial yang
mengendap dalam struktur kemanusiaan. Munculnya kejahatan-kejahatan
adalah indikasi mendasar dari hilangnya modal sosial. Kenaikan fenomenal
tingkat kejahatan di berbagai kota didunia menunjukkan adanya guncangan
besar dalam tatanan relasi eksistensial manusia.
Keluarga sebagai salah satu modal sosial terpenting juga mengalami
keguncangan besar. Menurut Fukuyama (2005) terjadi pergeseran besar
menyangkut sistem reproduksi, hubungan antarjenis, dan revolusi seks.
Struktur-struktur relasi dalam rumah tangga menjadi bergeser dan
menimbulkan perubahan dalam aspek relasi-relasi intersubjektif.
Relasi-relasi kebersamaan dan keberhadiran bersama dalam satu keluarga
menjadi berubah. Hal tersebut memicu perubahan mendasar dalam sistem
kekerabatan, perkawinan, dan perceraian. Keluarga-keluarga di barat
(pada tahun 1990-an) mulai pecah dan banyak anak-anak mengalami
kelahiran diluar nikah. Keutuhan eksistensial mengalami degradasi besar
dan mempengaruhi cara pandang eksistensial manusia modern. Situasi yang
sama sesungguhnya yang ditangkap oleh Aslan Abidin dalam sajak-sajaknya
pada antologi BLMP. Sajak yang dikarang pada rentang tahun 1993 hingga
tahun 2006 tersebut, menunjukkan fase guncangan sosial yang mulai
melanda kota-kota di Indonesia dan berpengaruh besar terhadap perubahan
eksistensi manusia-manusia di Indonesia pada dekade awal abad 21.
Aspek lain yang disebut Fukuyama dan tergambar dalam sajak-sajak
Aslan Abidin adalah kepercayaan. Sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin
mengandung kesangsian-kesangsian eksistensial dan pertanyaan-pertanyaan
yang tak terjawabkan.
Entah siapa gadis ini, aku menemukannya
dalam sebuah stensilan anny arrow, tubuhnya
membuatku membayangkan sebuah kota dengan
lorong-lorong yang panjang dan gelap
(Mitraliur)
Ketika orang-orang menjerit dijepit
Maut, saat mayat mereka berhimpit terbalut
Lumpur di parit, tahukah kau yang dapat aku perbuat?
(Aceh, Aku Hanya Penyair Dungu)
Subjek-subjek terjebak dalam lautan pilihan yang menyesatkan dan pada
sisi lain kehilangan kekuatan dalam kebersamaan. Sebagaimana yang
dikemukakan Fukuyama bahwa “orang-orang tidak terkait satu sama lain
secara eksistensial, melainkan hanya terkait berdasarkan
pilihan-pilihan. “aku” menjadi diri yang tertutup dan membahayakan
posisi “aku” yang lain, rasa percaya dalam kebersamaan menjadi sangat
berkurang.
Sebagai seorang penyair, Aslan Abidin, mengambil posisi untuk
memberikan bobot eksistensial terhadap posisi subjek-subjek, baik “aku”,
“engkau”, “kita”, “kami”, dan “ia”. Melakukan abstraksi skematik
tentang persoalan eksistensial yang mengacu pada realitas-realitas
dimana penyair berada didalamnya. Penyair mencoba memberikan fenomena
realitas yang “sakit’ dengan menunjuk langsung pada persoalan
eksistensi-eksistensi yang sakit, hilang, dan terbelah. Sekali lagi,
tanpa mengingkari bahwa, posisi diri penyair berada didalam realitas
sakit dan relasi-relasi eksistensial yang rusak tersebut. Terdapat
beberapa aspek yang menempatkan sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin
dalam BLMP menunjukkan fenomena eksistensialis, terutama pada (1)
konsistensinya membicarakan realitas dengan model historisisme,
sebagaimana menjadi landasan pikir utama dalam eksistensialisme dan
idealisme serta (2) kekuatan dalam menangkap fenomena subjek dan
intersubjek dengan fokus pada pengalaman bathiniah, menunjukkan kekuatan
yang kreatif dalam merefleksikan dunia dan realitas secara hati-hati.
Aslan Abidin, dalam antologinya Bahaya Laten Malam Pengantin (BLMP),
membongkar secara radikal berbagai jenjang eksistensial yang berelasi
secara kompleks dan ironis dalam masyarakatnya. Ironisasi yang
menunjukkan posisi-posisi eksistensial yang tragis dan tumbuh menjadi
dunia baru manusia. Sesuatu yang membuat kepenyairan Aslan Abidin
mempunyai posisi penting dalam sejarah puisi Indonesia. Kekuatan
metafora eksistensialis yang memukau dan ruang kreatif pada relasi
subjek-subjek dan relasi intersubjek yang masih sangat jarang dipilih
sebagai sebuah proses kreatif dalam sejarah puisi Indonesia, membuat
Aslan Abidin adalah penyair eksistensialis yang muncul pada akhir abad
20 di Indonesia. Pesona sajak-sajaknya yang menunjukkan wajah diri
manusia kontemporer membuat kita tersadar ruang-ruang paling dasariah
dalam kesadaran diri kita sebagai manusia, sebagaimana dituangkan dalam
frasa dua sajaknya berikut :
Maafkanlah aku,
bahkan dalam reruntuhan jiwaku,
aku tak tahu dimana kini kau tertimbun.
(Sungai Dalam Diriku)
Sebenarnya kami telah lama bunuh diri,
sejak jiwa kami dalam kotak-kotak suara
dibawa segerombolan orang entah kemana.
kami kini menjalani kematian
yang begitu membosankan
(Ritual Kepiluan).
__________________________________________________________
Referensi
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. PT Gramedia. Jakarta.
Catalano, J. 1980. A Commentary on Jean-Paul Sartre’s Being and Nothingness. The Hague.
Chicago.
Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan Besar, kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru.
Gramedia. Jakarta.
Marcel, Gabriel. 1987. Mytery of Being, Reflection & Mistery.
Nietzche, Friederich. 1993. The Birth of Tragedy. Out of The Spirit of Music. Penguin
Books, New York.
Sartre, Jean-Paul. 1978. Psychology of Imagination. Muthuen. London.
Weil, Simone. 1997. Gravity and Grace. University of Nebraska . United States of America.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)