Dongeng-dongeng Eksistensial Aslan Abidin

Thursday 19 December 2013

Oleh Ahyar Anwar

Aslan Abidin tercatat sebagai sastrawan angkatan 2000 (dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia karya Korie Layun Rampan), keunikan Aslan Abidin, sebagai penyair, terletak pada jumlah karya-karyanya yang sangat terbatas. Aslan Abidin telah mulai menulis sajak-sajaknya pada tahun 1990-an, sajak pertamanya berjudul “Sajak Kecil Buat Emak” ditulis tahun 1991, sajak-sajaknya yang lain (secara individual) dimuat di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Harian Republika, Harian Kompas, dan Harian Media Indonesia.  Sajak-sajak Aslan Abidin juga dimasukkan dalam Antologi Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000 (2000), Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004) Poetry and Sincerity (2006), dan Tonge in Your Ear (2007). Aslan Abidin memenangkan penghargaan Celebes Award dibidang kesusasteraan pada tahun 2003, diundang membacakan sajak-sajaknya pada perhelatan “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marsuki Jakarta atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1996; diundang membacakan sajak-sajaknya pada “Cakrawala Sastra Indonesia” pada tahun 2004; mengikuti “Ubud Writers and Readers Festival” di Bali tahun 2004, dan terakhir diundang dalam perhelatan “Indonesia International Poetry Festival” tahun 2006. tetapi antologi puisinya yang berjudul Bahaya Laten Malam Pengantin (BLMP) baru diterbitkan pada tahun 2008. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa, Aslan Abidin, merupakan seorang penyair yang lebih mengutamakan individu sajak dibandingkan sekumpulan sajak. Eksistensi kepenyairan Aslan Abidin justru dimulai dari individu-individu sajak yang dimunculkannya melalui persalinan puitik yang serius dan cenderung hati-hati.

Antologi puisi Aslan Abidin yang berjudul Bahaya Laten Malam Pengantin, diterbitkan pada tahun 2008 di Makassar oleh penerbit Ininnawa. Antologi Bahaya Laten Malam Pengantin merupakan antologi sajak-sajak Aslan Abidin sepanjang 13 Tahun masa kepenyairannya. Antologi BLMP berisi 112 sajak-sajak Aslan Abidin dalam rentang tahun 1993 hingga tahun 2006. Jumlah 112 sajak tersebut adalah total sajak Aslan Abidin selama tiga belas tahun berkarya. Dalam keseluruhan sajak-sajaknya, Aslan Abidin, menggunakan pola estetika yang cenderung “cabul”. Berbagai istilah cabul akan sangat mudah dijumpai dalam sajak-sajak Aslan Abidin seperti “buah dada”, “kemaluan”, dan “zakar”, sehingga beberapa pembicaraan terhadap sajak-sajak Aslan Abidin dihubungkan dengan karya-karya Djoko Pinurbo. Tetapi jika ditelisik lebih renik lagi, sesungguhnya Aslan Abidin sedang membangun dongeng eksistensial secara puitik. Dalam sajak-sajaknya pada BLMP, Aslan Abidin, mengajak pembaca untuk menelusuri kompleksitas eksistensial diri dalam “aku”,”engkau”, “kami”, dan “kita”. Siapakah “aku”, “engkau”, “kami”, dan “kita” ? hanya mungkin dipahami dengan membelah struktur dongeng yang dibangun oleh penyair.

Aslan Abidin mempunyai karakter puisi dengan ending yang cenderung terbuka, kecenderungan tersebut sangat mungkin dengan sengaja menpengaruhi sajak-sajaknya dengan karya-karya Guy de Poupassant, seorang sastrawan (cerpenis) Perancis, yang selalu membiarkan akhir cerita dari cerpen-cerpennya terbuka. Dalam beberapa kesempatan, Aslan Abidin, menyatakan secara langsung bahwa ia menyukai karya-karya Guy de Poupassant dan sangat terpengaruh dengan gaya ending yang terbuka. Tetapi lebih dari sekedar persoalan dan fenomena struktural-stilisltika, sajak-sajak Aslan Abidin mempunyai kekuatan pada wacana-wacana eksistensial yang dimainkan dalam model relasi-relasi yang kompleks. Secara individual, struktur eksistensial sajak-sajak Aslan Abidin, susah untuk tertangkap maknanya tetapi secara kesatuan tubuh puisinya dalam BLMP akan tampak komposisi-komposisi eksistensial yang sesungguhnya ingin dikisahkan oleh penyair.

“Aku” : Dongeng Tentang Hilangnya Diri
Siapakah “aku”? dalam sajak-sajak Aslan Abidin pada BLMP, “Aku” digambarkan sebagai subjek yang bersembunyi dibalik metafora-metafora. Mengikuti pandangan Marcel bahwa metafora adalah “sebuah jalan” dan pandangan Bergson yang menegaskan bahwa metafora adalah “sebuah fenomena saling keterhubungan”, posisi eksistensial “aku” dalam sajak-sajak Aslan Abidin akan dapat dikonstruksi sketsa eksistensialnya. Bagi Marcel (Mystery of Being; 1987) terdapat dua persoalan tentang metafora. Pertama, sebuah jalan yang mengandaikan adanya ruang dimana eksistensi subjek bersandar.  “Ruang” adalah sebuah jalan untuk memahami posisi “aku” sebagai subjek.  Ruang-ruang seperti apakah tempat  “aku” bersandar dalam sajak-sajak Aslan Abidin ? Ruang yang dimakud adalah ruang pengalaman bathiniah (spatiality of inner experience). Dengan demikian “aku” adalah sebuah subjek spiritual yang disusupkan penyair kedalam metafora. Kedua, sebagai sebuah jalan, metafora, harusnya mempunyai tujuan, sebab menunjuk jalan berarti menunjuk tujuan. Lokus apakah yang akan ditunjuk oleh subjek “aku” dalam sajak-sajak Aslan Abidin. Inilah yang harus menjadi fundamen dasar dari penyelidikan puitik secara eksistensial dalam BLMP.

Penyelidikan pertama dapat dilakukan dengan menelusuri persoalan esensial dalam ruang eksistensial subjek “aku”. Kita dapat menemukan persoalan dasar terhadap esensi eksistensial subjek “aku” dalam frasa tiga sajak Aslan Abidin berikut :

Di sini, diranjangku
yang tak seperti kau-selalu siap menerimaku-aku tertidur
memeluk cermin yang telah melukai wajahku
(Sajak Kecil Buat M (2))
Tak aku mengerti benar mengapa begitu
banyak yang ingin aku terjemahkan pada kedalaman
matamu.
(Sajak Kecil Buat M (3))
Doa-doa yang aku
kirim dengan air mata ke alamatmu itu,
adakah sampai ke pintumu?
….
Selalu saja ada yang aku lupa dari
kegaibanmu. Seperti ketika aku bermimpi kau kirimi
jubah berwarna putih, untuk aku kenakan
dalam resepsi pesta besarmu.

(Ketika Senja Pergi Dari Halaman Ini)

Ketiga frasa tersebut secara fundamental menunjukkan masalah internal yang terdapat dalam diri subjek “aku”. Menurut Marcel (1987), konsep eksistensial tentang “aku” dapat dipahami dengan dua aspek yaitu (1) “aku” yang mempunyai dalam arti “memiliki” dan (2) “aku” yang mempunyai dalam arti “implikasi”. Dalam arti memiliki, posisi “aku” dapat dipahami dari capaian pemilikannya. Apakah dalam fase mengklaim sesuatu sebagai miliknya atau fase memelihara sesuatu yang telah menjadi miliknya atau fase menguasai sepenuhnya apa yang telah menjadi miliknya.

Dalam sajak Aslan Abidin , posisi subjek “aku” justru berada pada fase “memiliki” yang tidak sepenuhnya. “aku” dalam sajak-sajak Aslan Abidin adalah eksistensi yang ekslusif, dimana “aku” hanya memiliki sebagian dari relasi yang dilakukannya dengan “aku” yang lain dan memelihara oposisi-oposisi yang tidak penuh. Itulah sebabnya selalu ada ketegangan dalam teks-teks sajak Aslan Abidin. Ketegangan yang berlangsung dalam tingkatan ekslusif secara eksistensial. Hal tersebut sangat jelas tampak pada situasi yang paradoksial (Sajak Kecil Buat M (2)) atau situasi yang penuh ketidakmengertian (Sajak Kecil Buat M (3)) dan situasi yang penuh ketidakpastian (Ketika Senja Pergi Dari Halaman Ini). Secara keseluruhan fenomena tersebut menunjukkan situasi eksistensial “aku”, dalam sajak-sajak Aslan Abidin, berada dalam situasi luminal antara “ada” dan “mempunyai”, sesuatu yang bermasalah karena adanya “keduaan” dalam situasi “mempunyai”, sebuah kondisi yang disebut oleh Marcel sebagai “ego abstrak” (Marcel, 1987) yang sekaligus membuat posisi eksistensial “aku”, pada sajak-sajak Aslan Abidin, menjadi tidak pasti dan tidak jelas.

Penyelidikan kedua dapat dimulai dari sajak “Kau Telah hilang, Kata Orang”, sajak tersebut mengandung informasi tentang ruang-ruang eksistensial yang dibutuhkan untuk memahami siapa “aku” secara eksistensial.
“aku harus berangkat.
Lihatlah, rembulan di atas mulai pucat.”
lalu aku berkemas seadanya, sekedar mematut
letak rambut, dan aku tercekat di saat pamit:
bibirmu terasa begitu pahit.
……
Sekarang aku pulang. Bingung mencarimu:
di jalan yang pernah kita lalui, riuh. Tapi aku
tahu bukan lagi milik kita. Kata orang-orang lewat
yang aku tanya : “kenangan? Tak ada lagi yang dapat
ditemukan di jalan ini. Semuanya telah hilang.
…..
Aku kehilangan sudut tempat kita pernah menyimpan
rencana hari esok.

(Kau Telah Hilang, Kata Orang)

Struktur metafora dalam sajak “Kau Telah Hilang, Kata Orang” dengan jelas menggambarkan bagaimana “aku” keluar dari jarak ruang subjek “aku” yang lain (mu). Kepergian subjek “aku” yang justru menunjuk jalan pada diri (aku) yang lain, dan ketika arah itu jelas maka posisi “aku” justru kehilangan ruang pengalaman bathiniah yaitu (1) kenangan dan (2) rencana. Komposisi eksistensial dalam sajak “Kau Telah Hilang” menjadi terpecahkan dengan menemukan jalan tujuan dan ruang yang tersandari. Hilangnya kenangan dan lenyapnya rencana masa depan adalah sebuah fase kehilangan eksistensial yang ingin disampaikan penyair.

Bergson menegaskan tentang esensi “keterhubungan” dalam kualitas metaforik untuk memahami fenomena eksistensial. Komposisi yang ditemukan dalam eskalasi sajak “Kau Telah Hilang, Kata Orang” adalah  relasi “aku” yang kehilangan jalan menuju “kau” dan posisi eksistensial “aku” yang kehilangan kenangan (ruang yang menjangkau “kau”) serta kehilangan rencana masa depan (ruang dimana “kau” terlibat). Hilangya dua dimensi eksistensial secara metaforik tersebut adalah titik pandangan Aslan Abidin yang sesungguhnya sedang berdongeng tentang persoalan eksistensial. Seseorang yang  kehilangan ruang bathin dan mengalami lenyapnya jalan menuju kebersamaan dengan individu lain. Dongeng tersebut adalah sebuah dongeng eksistensial diri manusia yang hidup dalam hilangnya “pengalaman” sebagai sesuatu yang secara esensi menentukan kualitas dirinya yang terdegradasi sebagai manusia. Bagi penyair, kehilangan ruang kenangan dan rencana, adalah kisah eksistensial yang menentukan keberadaan “aku” sebagai aku. Sehingga statemen dalam judul “kau telah hilang” justru menunjukkan pengalaman subjek “aku” yang sedang kehilangan dirinya sendiri.

Relasi eksistensial tentang kehilangan ruang kenangan juga dimunculkan dalam sajak “Kau Memang Telah Hilang”. Sajak tersebut kembali menunjukkan ruang kenangan sebagai sebuah esensi titik sandar eksistensial dari manusia. Hilangnya subjek terhubungkan, secara metaforik, dengan hilangnya kenangannya.

Tentang Hujan yang diam-diam jatuh
tengah malam ditepi pantai itu, tak dapat aku
ceritakan suara rintiknya. Tentang gemuruh
ombaknya, bukankah itu lukisan luka-lukamu.
Kini marilah saja dipasirnya. bukankah
hanya itu yang dapat kau lakukan?
atau kenang lagi dermaga yang dulu kau ceritakan itu,
atau perahu nelayan yang berlayar beriringan,
atau bercakap lagi dengan nelayan tua bertopi enau
yang menutupi wajahnya itu.

(Kau Memang Telah Hilang)

Kenangan adalah sebuah lukisan historikal, hilangnya diri dihubungkan dengan esensi diri yang tercerabut dari ruang kenangan. Penyair Aslan Abidin ingin menunjukkan esensi “aku”, sebagai sebuah subjek, hanya dapat eksis dalam struktur kenangan subjek lainnya. “Aku” hanya ada sejauh dipelihara atau disimpan dalam kenangan. Dalam sajak “Kau Memang Telah Tiada”, tampak sangat tegas penyair ingin berdongeng tentang subjek-subjek yang tak berdaya dan kehilangan diri dalam kenangan.

Ruang kenangan sebagai sebuah ruang eksistensial juga muncul dalam sajak “Peri Dari Srebrenika”. Komposisi ruang kenangan muncul dari sosok subjek “aku” yang bercerita dalam rentang waktu kenangan yang dimilikinya. Frasa ”tangismu memang pernah terjatuh disini, bersama petang dan setangkai kembang” adalah ruang kenangan yang mengendap dalam pengalaman bathin eksistensial “aku” yang direkonstruksi secara historik, sebelum kemudian tereduksi hanya sebatas kisah.

“aku datang dari srebenika, tempat
tentara menguliti gadis-gadis dengan syahwat
dan bayonet.” Ucapmu dulu ketika
turun di bandara.
“hanya transit”, katamu, “aku membawa air mata,
air mata gadis-gadis srebrenika yang dengan wajah
sesuci maryam menyimpan nafas tuhan di rahimnya
tetapi tak tahu siapa yang meletakkannya.”
tangismu memang pernah
terjatuh disini, bersama petang
dan setangkai kembang. Lalu janji, mungkin juga
putus asa, terlepas bersama deru pesawat yang
mendesing membawamu entah kemana.

(Peri Dari Srebrenika)

Pada frasa lain, pada “Peri Dari Srebrenika”, kembali ditegaskan posisi ruang kenangan yang terserap kedalam materi-materi : “wangi kulitmu”, “detak halus dari arloji kecil”, “meja kafe bandara”, Gelas kopi dengan bekas tipis lipstik”, serta “ampas kopi yang mengering”. Posisi “aku” dalam sajak “Peri Dari Srebrenika” adalah “aku” yang menimbulkan persoalan eksistensial pada “aku” yang bercerita. Keterhubungan eksistensial terukur dari kekuatan materi-materi kenangan terpaparkan. Besarnya materi-materi kenangan yang ada akan menunjukkan besarnya kekuatan keterhubungan sekaligus besarnya kekuatan eksistensial yang tercipta antara “aku” dan “aku”.

Kuatnya ruang kenangan dalam relasi eksistensial subjek manusia, bahkan ditegaskan oleh Aslan Abidin sebagai sebuah bentuk kecelakaan eksistensial ketika subjek “aku” yang dikenang justru hilang dari kenangan itu sendiri.

Celakalah laki-laki karena menyatu cinta
dan birahinya, ia penyembah juga pemangsa.
begitu pula aku yang terus terkenang
pada matamu : seperti telaga yang menimang
wajah bulan di malam-malam purnama

(Gadis Kuburan).

Hilangnya subjek dari kenangan yang dimiliki sekaligus menunjukkan adanya keterputusan hubungan intersubjek. Situasi yang menimbulkan persoalan eksistensial yang akut dalam kehidupan manusia, sebagaimana ditegaskan Aslan Abidin sebagai sebuah “kecelakaan” eksistensial.

Keterkenangan adalah sebuah fenomena ruang pengalaman bathin (inner space) yang eksistensial. Sekaligus menunjukkan bahwa posisi eksistensial manusia ada pada kedalaman bathinnya bukan pada ruang kehidupannya (lived space) dan juga bukan pada ruang pengalaman (the space of experience) secara fisik. Sajak-sajak Aslan Abidin menegaskan bahwa gerak fundamental manusia terletak pada gerak bathiniahnya. Pada sajak “Kau Memang Telah Hilang” pada frasa  “Atau kenang lagi dermaga yang dulu kau ceritakan itu”; pada sajak “Peri dari Srebrenika” pada frasa “Tangismu memang pernah terjatuh disini, bersama petang dan setangkai kembang”: pada sajak “Gadis Kuburan” pada frasa “Begitu pula aku yang terus terkenang pada matamu : seperti telaga yang menimang wajah bulan di malam-malam purnama” sangat jelas menunjukkan adanya gerak besar subjek dalam bathin atau dalam proses mengenang.

Frasa  “Atau kenang lagi dermaga yang dulu kau ceritakan itu” adalah sebuah ajakan untuk melakukan gerak bathin untuk mengenang. Gerak eksistensial yang menuju pada ruang historis dimana jejak pertama pertemuan yang eksistensial terbentuk. Frasa “Tangismu memang pernah terjatuh disini, bersama petang dan setangkai kembang” adalah sebuah bentuk gerakan mengenang dimana bathin subjek melakukan perjalanan kembali pada titik historis yang mempunyai makna eksistensial bagi “aku”.  Frasa “Begitu pula aku yang terus terkenang pada matamu : seperti telaga yang menimang wajah bulan di malam-malam purnama” adalah kontinuitas gerak yang tidak berhenti dalam proses mengenang. Kontinuitas akan menunjukkan konsistensi eksistensial bagi “aku” untuk terus berada dalam gerak menuju kebersamaan.

Aslan Abidin ingin mengkisahkan tentang sebuah ruang yang sangat eksistensial, ruang kenangan, dimana masa lalu, masa kini, dan masa depan menjadi tersatukan secara esensial. Kenangan adalah sebuah gerak eksistensial yang menunjukkan adanya keterhubungan eksistensi (sebagaimana dikemukakan Bergson) antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Posisi subjek-subjek “aku”, dalam sajak-sajak Aslan Abidin, digambarkan berada dalam keterputusan eksistensial.  Fenomena yang tergambar jelas dari posisi “aku” dengan “ruang kenangan” yang dimilikinya. Seseorang yang sedang diam ketika mengantar kekasihnya pergi, sebagaimana digambarkan dalam sajak “Peri dari Srebrenika” sesunguhnya hanya diam secara fisik tapi pikiran dan perasaannya terus bergerak mengikuti kepergian subjek “aku” yang pergi itu. Sajak-sajak Aslan Abidin menunjukkan posisi subjek “aku” yang sedang berada dalam situasi masa kini dan terputus dengan gerak masa lalu sehingga sama sekali kehilangan daya gerak menuju masa depan. Itulah yang menjadi dongeng eksistensial yang menunjukkan kesakitan-kesakitan eksistensial manusia-manusia kontemporer.

Selain persoalan kenangan sebagai ruang pengalaman bathin yang eksistensial, relasi metafora yang menunjukkan hilangnya rencana, juga muncul sebagai fenomena eksistensial penting pada sajak “Episode Terakhir Rumah Pengantin”, terutama dalam frasa berikut:

Aku kira kita mesti membatalkan
seluruh pesta yang telah kita rencanakan
itu adinda. Karena cinta yang kau tunggu:
cinta yang mungkin melintang di dalam celanaku,
bukanlah cinta yang kau duga.
hari terus saja meleleh
meluluhkan air matamu yang tumpah
dari kemalangan kita. Berhentilah mengagumi
fatamorgana, musim yang kita nanti
bukanlah musim yang kita sangka.

(Episode Terakhir Rumah Pengantin)

Batalnya sebuah rencana adalah fenomena eksistensial tentang hilangnya kebersamaan. Hilangnya rencana maka hilangnya tujuan, situasi yang membuat “aku” harus kembali pada posisi awal untuk menemukan tujuan baru dalam hidupnya. Manusia tanpa rencana adalah manusia-manusia yang tidak mempunyai arah dan orientasi dalam hidupnya. Manusia yang kehilangan rencana adalah manusia yang kehilangan peta dalam kehidupannya. Hal tersebut ditegaskan dengan sangat kuat pada sajak “Kronus” dengan frasa : “Inilah aku yang berdiri rusuh. Diantara cinta yang penuh, dan biografi yang lusuh. Dimana tercecer peta yang menyimpan jejak kakimu dan angin yang membawa gelak tawamu?

“Kita” : Dongeng Tentang Terbelahnya Kehadiran
“Kita” adalah suatu kesatuan subjek yang oleh Gustave Thibon (dalam Weil, 1997) dihubungkan dengan dua proses yaitu “atomisasi” dan “kolektivasi”. Hubungan antara atomisasi dengan kolektivasi bukanlah relasi yang saling meniadakan melainkan saling berkaitan. “Kita” adalah gambaran tentang eksistensi hidup subjek yang didalamnya terdapat subjek lain. Kita adalah bentuk kebersamaan (togetherness). Fenomena eksistensial kebersamaan inilah yang ingin disampaikan Aslan Abidin dalam beberapa sajaknya pada BLMP. Untuk menelusuri fenomena kebersamaan dalam realitas dunia, apakah menuju kesatuan atau jsutru menuju keterbelahan. Istilah “kita”, dalam sajak-sajak Aslan Abidin, terposisikan dalam relasi antara “aku” dengan “aku” yang lain. Hubungan-hubungan kebersamaan antara “aku” dan “aku” yang lain itulah yang menjadi fenomena dalam “kita”. Ukuran kebersamaan dan kekuatan “kita” adalah capaian eksistensial yang ingin ditunjukkan Aslan Abidin dalam sajak-sajaknya. Bagaimana kekuatan dan capaian kebersamaan yang ditunjukkan melalui “kita” dalam sajak-sajak Aslan Abidin adalah aspek yang menarik untuk ditelusuri.  Sajak pertama yang menarik ditelaah dalam antologi BLMP adalah sajak “Ada yang Tertembak di Halaman Kita”.

Suara tembakan di televisi
mengguntur hingga ke jendela. Tetapi
terlambat, selalu saja kita terlambat
menutupnya. Aroma mesiu dan mayat
terbakar selalu lebih cepat menampar
wajah kita, hingga bibir
kelu membiru.
Ada seorang yang melintas
tertatih di halaman, menjerit-miris :
“tolong aku tertembak!” dan di depan televisi,
kita hanya tersenyum kecut, seperti
dilakukan penonton
televisi yang lain.

(Ada yang Tertembak di Halaman Kita)

Sangat jelas, posisi ‘kita” adalah sebuah posisi sosiologis yang kehilangan empati”. Apatisme, asosial, ketidakpedulian adalah sentiment-sentimen yang menunjukkan “aku” berada dalam kebersamaan yang “rusak” dengan “aku” yang lain. “Kita” adalah kolektifitas yang terbelah pada ruang pragmatis dan kehilangan ruang kebersamaan. “kita” dikisahkan terpisah hubungan dari “aku”. Fenomena eksistensial tersebut menunjukkan bahwa “kita” adalah sebuah kesatuan sosial dari subjek-subjek (aku-aku) yang berada dalam situasi yang teralienasi secara emotif dan psikologis meskipun tersatukan secara geografis dan sosial. Sangat jelas dalam sajak “Ada yang Tertembak Di Halaman Kita” menunjukkan bagaimana “kita” yang tak berdaya diantara “kita” yang lain yang juga tidak berdaya, sebagaimana ditegaskan dalam frasa “Kita hanya tersenyum kecut, seperti dilakukan penonton Televisi yang lain”.

Struktur kebersamaan intersubjek dalam “kita” lebih banyak digambarkan oleh Aslan Abidin sebagai “pertemuan yang tidak disengaja”. Bertemunya “aku” dan “aku” yang lain adalah pertemuan yang tidak eksistensial  hal tersebut dapat ditemukan dalam telaah dua sajak Aslan Abidin berikut :

Kita bertemu tak sengaja di sebuah
pagi pemotongan kurban yang gerah
(Gadis Kurban)
Tanpa sengaja, kita bertemu dihari
yang basah dan panjang itu. Kau gemetar di kaki
hujan dengan payung ditangan, tetapi senyummu,
yang bagai mekarnya beraneka bunga itu,
menawari aku cuaca yang lain

(Lakon Losari)

Pada kedua sajak tersebut, istilah “kita” adalah fenomena yang tidak ditopang dengan kosntruksi kebersamaan yang memadai. “kita” hanyalah sebuah fenomena kebetulan yang membuat keterikatan subjek “aku” dengan “aku” yang lain bukanlah suatu ikatan kehadiran. Aslan Abidin menampakkan fenomena yang lebih jauh dari fase hilangnya diri menuju hilangnya kehadiran. Hilangnya kehadiran dalam konsep Marcel (2005) adalah sebuah relasi komunikasi dan saling mengarahkan diri satu sama lain. Inti yang mempertemukan adalah “perjumpaan” (renconte). Bagi Marcel istilah “kita” adalah suatu capaian eksistensial yang hanya mungkin dicapai melalui relasi “aku”-“engkau” dalam cinta.
 
Fenomena cinta inilah yang banyak diangkat Aslan Abidin sebagai persoalan eksistensial yang besar dalam sajak-sajaknya pada BLMP.

Pertempuran-pertempuran
yang kita catat di buku harian itu seperti takkan
menyisakan tinta. dan luka yang selalu mencegat kita
di jalanan, tak lagi membekaskan cinta.
(Catatan Pertempuran)
Memang tak banyak yang dapat kita catat dari
percintaan ini.
(Sajak Terjemahan Matamu)
Mungkin akan  ada saatnya
kita bersama turun ke jalan, bukankah cinta
kasih dapat membuat kita lebih dekat, meski
kita dipenjara tembok-tembok?
(Sajak Untuk Sebuah Jalan)
Memang cinta itu masih ada.
seperti katamu. Tapi pada bagian mana
dihati kita ia tergeletak?

(Memang, Seperti Katamu)

Persoalan hilangnya kehadiran dalam cinta tampak menjadi fokus penyair untuk menyampaikan pesan-pesan eksistensialnya. Menurut Marcel (1987) dalam cinta “aku” mengajak atau menghimbau kepada “aku” yang lain (engkau) agar kembali menjadi satu dalam “kita”. Pada sajak “Catatan Pertempuran”, persoalan cintalah yang menunjukkan kekaburan. Pada sajak “Sajak Terjemahan Matamu” jelas bahwa cinta tidak punya masa depan. Pada sajak “Sajak Untuk Sebuah Jalan” cinta justru hanya sebagai sesuatu yang diharapkan sekaligus dicurigai. Pada sajak “Memang, Seperti Katamu) persoalan cinta justru berada diantara keyakinan dan ketidakpastian. Keseluruhan aspek cinta yang terdapat dalam sajak-sajak Aslan Abidin adalah situasi eksistensial yang kritis. Egoisme yang padat secara eksistensial, dimana “aku” berada dalam ketidakjelasan, hilang harapan, frustasi dan tidak membuka diri secara penuh akan hadirnya “aku” yang lain secara pasti. Pada sisi lain “aku” yang lain adalah sosok subjek yang pasif dan tak berdaya yang tidak mampu menyatakan kesediaan (disponibilities) untuk hadir bersama dalam “kita”.

Situasi tersebut menunjukkan adanya kegagalan besar eksistensial dalam lingkungan-lingkungan sosial yang kecil. Aslan Abidin seperti mendongengkan keluarga-keluarga yang mengalami keterpecahan eksistensial. Berapa banyak keterpecahan dan keterbelahan eksistensial yang terjadi di Indonesia?  Data yang dikemukakan oleh Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. Nasarudin menunujukkan bahwa di Jakarta dari 5.193 kasus, sebanyak 3.105 (60 persen) adalah kasus istri gugat cerai suami dan sebaliknya suami gugat cerai istri 1462 kasus. Di Surabaya dari 48.374 kasus sebanyak 27.805 (80 persen) adalah kasus istri gugat cerai suami, sedangkan suami gugat cerai isteri mencapai 17.728 kasus.

Di Bandung dari 30.900 kasus perceraian sebanyak 15.139 (60 persen) adalah kasus isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri sebanyak 13.415 kasus.

Selanjutnya, di Medan dari 3.244 kasus sebanyak 1.967 (70 persen) adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 811 kasus. Di Makassar dari 4.723 kasus sebanyak 3.081 (75 persen) adalah isteri gugat cerai suami, dan suami gugat cerai isteri hanya 1.093 kasus. Sedangkan di Semarang dari 39.082 kasus sebanyak 23.653 (70 persen) adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 12.694 kasus. (www.JurnalIndonesia.com).

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa keterpecahan dalam kebersamaan “kita” sedang mengalami masalah eksistensial. Rapuhnya kebersamaan menunjukkan hilangnya kekuatan-kekuatan kehadiran intersubjek dalam cinta. Terjadi alienasi dan sekaligus kerapuhan sosial yang mendasar dalam lingkungan sosial dan kebudayaan.  Alienasi “kita” bahkan ditegaskan sampai pada ruang pengalaman bathin, sebagaimana yang terjadi ditingkat “aku”.

Lalu ribuan musim berubah dan lewat tanpa
satu ujungnya dapat kita cegat bersama. Kita
tak pernah lagi bertukar tangis.

(Kau Telah Hilang, Kata Orang)

apalagi yang dapat kita kenang di halaman
ini, selain jejak kita, yang meski berlainan
arah, namun masih dapat dekat di satu halaman?

(Akuarel Perjalanan)

Sekarang kita
tak dapat lagi bermain di halaman kita.
di halaman kita, para pembuat peta
itu telah menanamkan sesuatu, bukan bunga,
tapi api yang dapat mebakar kaki kita.

(Surat Seorang Bocah dari Medan Perang)

Tiga sajak tersebut menunjukkan rusaknya kualitas kenangan yang dianggap oleh penyair sebagai aspek esensi dalam relasi eksistensial. Hilangnya pertukaran emosi, sebagaimana dalam sajak “Kau Telah  Hilang, Kata Orang), menunjukkan hilangnya keterhubungan psikologis antara “aku” dan “aku” dalam “kita”. Hilangnya kemungkinan bersatu dan hadir bersama dalam satu ruang kenangan, dalam sajak “Akuarel Perjalanan” menunjukkan alienasi ruang bathin yang dalam antar “aku” dan “aku” dalam “kita”. Hilangnya “tempat bermain”, dalam sajak “Surat Seorang Bocah dari Medang Perang”, menunjukkan lenyapnya pengalaman-pengalaman untuk menimbulkan kenangan dan menghasilkan kebersamaan.

Hilangnya keterhubungan psikologis; ruang kenangan bersama; dan tempat bermain bersama untuk menumbuhkan kenangan secara keseluruhan menunjukkan persoalan alienasi besar dalam relasi-relasi sosial yang menimbulkan persoalan eksistensial. Penyair ingin menunjukkan secara utuh persoalan eksistensial dalam tubuh sosialnya. Fenomena eksistensial yang rusak menunjukkan serangkaian gejala-gejala eksistensial yang menunjukkan adanya perubahan besar dalam relasi-relasi sosial di Indonesia. Aslan Abidin setidaknya menunjuk tiga gejala eksistensial yang menandai relasi-relasi sosial di Indonesia.

Pertama adalah hilangnya wajah otentik dari kebersamaan dan kehadiran sosial. Subjek-subjek tidak dapat lagi saling mengenali diri dalam relasi intersubjek. Hilangnya wajah sosial yang menjadi penanda identitas kebersamaan tersebut tampak sangat jelas ditegaskan dalam sajak berikut,

Ada yang tiba-tiba terjatuh ketika kita tanpa
sengaja membuka-buka album lama kita:
selembar potret yang menguning, potret kita ketika
sedang menjerit dan tak kita kenali lagi. Karena
ada yang terus-menerus menyodori kita
album-album baru.

(Tentang Album Kita)

Sajak tersebut, menunjukkan bahwa perubahan-perubahan sosial terus bergerak dan menggerusi pola-pola kebersamaan sosial. Dunia berubah sebagaimana relasi eksistensial intersubjek juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut, digambarkan sebagai sebuah refleksi yang menimbulkan sisi alienasi yang tidak disadari dan menunjukkan persoalan kesadaran sebagai persoalan eksistensial yang lain.
Kedua, adalah lebarnya jurang jarak alienasi. Ukuran lebarnya jurang alienasi diukur dari rentang hilangnya kenangan sebagai sebuah titik rekat pengalaman bathin intersubjek. Pada sajak “Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir”, Aslan Abidin, menggambarkan bagaimana besarnya rentang kenangan.

Tapi itu dulu,
ketika pantai di kota kita belum dipenuhi beton.

(Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir)

Sajak tersebut, menunjukkan fenomena eksistensial dalam ruang urban yang tumbuh mengalienasi masyarakat. Sajak tersebut juga menyiratkan sebuah proses tumbuhnya kota dan majunya zaman yang linear dengan hilangnya tempat-tempat dimana subjek-subjek dapat mengenali diri dalam ruang kenangan. Sawah-sawah berganti dengan gedung-gedung, sehingga segala kenangan dalam kebersamaan dan kehadiran bersama juga menjadi hilang. Dampak eksistensial tersebut kemudian berpengaruh besar pada relasi intersubjek dalam ‘kita”.

Ketiga, adalah munculnya keputusan-keputusan eksistensialis yang fatalistik. Subjek telah berada dalam ruang frustasi secara eksistensial. “Kita” adalah ruang yang berbahaya dan tidak lagi menjamin komunikasi eksistensial antara “aku” dan “aku” yang lain dapat saling menerima kehadiran  dan kebersamaan. Sajak “Episode Terakhir Rumah Pengantin” menunjukkan dengan jelas keputusan-keputusan eksistensialis yang parah.

Aku kira kita mesti membatalkan seluruh pesta
yang telah kita rencanakan itu adinda. karena tak ada
lagi tempat teduh untuk mendirikan rumah pengantin
kita.

(Episode Terakhir Rumah Pengantin)

Secara implisit, penyair ingin menunjukkan bahwa dalam hilangnya identitas dan lebarnya jarak alienasi, maka tidak ada kepastian eksistensial dalam sebuah relasi intersubjek dalam “kita”. Justru “kita” adalah sebuah persoalan eksistensial yang sedang tumbuh dalam dunia yang terdegradasi. “kekitaan” adalah sebuah pertanyaan eksistensial baru dalam dunia yang berubah. Setidaknya itulah yang menjadi lokus refleksi besar dalam sajak-sajak Aslan Abidin pada antologi puisi BLMP.
 
Dunia yang berubah dan “kita” yang menjadi ruang kehadiran bersama yang rusak dan kabur membuat segala relasi menjadi sebuah “bahaya eksistensial”. Dalam “kita” semua subjek atau “aku” dapat mengalami ketersesatan diri, kehilangan nilai normatif, dan bahkan saling meniadakan serta saling mengingkari. Secara tajam, Aslan Abidin, mengurainya dalam sajak “Matahari, Pasir, Pantai, dan Kemaluan”.

Kita telah begitu lama
saling melupakan, sehingga ketika kita
bertemu kembali di pantai ini: kita telah menjelma
sepasang pelancong yang tersesat.
…..
“Sebenarnya kita telah lama saling membunuh”,
katamu sambil mempermainkan kemaluanmu.

(Matahari, Pasir, Pantai, dan Kemaluan)

Ada penyatuan semu diantara dua eksistensi subjek dan membuat kebersamaan menjadi terbelah, rusak, dan bahkan berbahaya. Dongeng eksistensial yang ingin dikisahkan penyair dalam sajak-sajaknya adalah kisah tentang subjek sedang hidup dalam peperangan dengan eksistensi lain dalam kebersamaan. Subjek yang hadir dalam esensi yang meniadakan dan saling mengingkari, sebagai sebuah kehadiran yang membahayakan sebab akan berujung pada situasi yang membuat subjek  dapat terkubur dalam kesatuan dan totalitas semu. Subjek menjadi tidak dapat memahami eksistensi dirinya secara utuh. Situasi yang disebut oleh Nietzche (1993) menimbulkan harapan untuk bunuh diri dalam kebersamaan.
 
“kita” yang rusak, terbelah, dan berbahaya justru menjadi bagian dari kehadiran yang diterima dalam dunia dan realitas kontemporer. Situasi yang digambarkan Nietzche (1993) sebagai “rusaknya principium individuationis yang justru menjadi fenomena artistik” sebuah fase mengerikan dalam sosialitas manusia. “Kita” adalah ramuan kehadiran dari kebersamaan sekaligus pengingkaran. Ramuan yang menunjukkan ilustrasi dari tercampurnya  kebaikan sekaligus keburukan; cinta dan nafsu kekejaman; kepedihan dalam kegembiraan; kegirangan dan jeritan-jeritan yang mengerikan. Sajak-sajak Aslan Abidin berada dalam posisi kerinduan pada sesuatu esensi yang hilang dan tak terpulihkan lagi.

“Kami” : Dongeng Tentang Kami yang sakit
“kami” tentu adalah cara mengidentifikasi diri secara eksistensial yang berbeda dengan “kita”. Aslan Abidin mengunakan istilah “kami” dalam relasinya dengan “mereka”. “kami”, pertama-tama digambarkan sebagai sebuah  kesadaran diri lalu kemudian menjadi kesadaran akan “mereka”. Istilah “mereka” digunakan Aslan Abidin untuk menunjuk pada eksistensi yang mereduksi eksistensi “kami”. “mereka” adalah identitas jahat yang mengancam eksistensi “kami”, sekalipun “kami” adalah sesuatu yang juga menjadi identitas dari “mereka”. Hubungan-hubungan yang kompleks dan rumit tersebut, menjelaskan fenomena eksistensi yang menonjol dalam sajak-sajak Aslan Abidin.

“Pilihlah kami, pilihlah kami!.” kata
mereka sambil mengacungkan tanda
gambar ke wajah kami dan menyihir kami
jadi pengikut. Kami pun berubah jadi sapi
atau kuda.
Kami kini adalah perahan
dan tunggangan. Tapi tak akan
mereka dengar lenguh keluh kami, tak
akan mereka dengar ringkik
rintih kami.

(Rakyat Perah).

Sajak “Rakyat Perah” adalah sajak yang menunjukkan secara tajam relasi yang bermasalah antara “kami” dengan “mereka”. Istilah “mereka” adalah eksistensi yang berbahaya bagi eksistensi “kami”. Relasi “mereka” dan “kami” adalah relasi antara “kekuasaan” dan yang “dikuasai”. Hubungan antara “mereka” dan “kami” adalah relasi-relasi keliyanan (the otherness) yang menunjukkan diferensiasi sosial yang tajam. Sajak “Rakyat Perah” bahkan menunjukkan relasi yang bersifat “jahat” dan “kejam”.

Sajak “Rakyat Perah” menunjukkan sudut pandang eksistensial penyair tentang relasi eksistensial yang lebih besar dan lebih kompleks. Aslan Abidin menunjukkan bahwa menjadi “kami” adalah sebuah eksistensi yang tereduksi oleh eksistensi “mereka’. “kami” adalah kesatuan subjek-subjek yang melampaui “aku”-“aku”, “aku”-“kita”, dan “kita”-kita”. Istilah identitas eksistensial dari “kami” adalah gabungan dari kesatuan “kita”-“kita”. “kami” adalah penunjuk identitas dari “rakyat” yang berbeda dengan “mereka” yang bukan “kami”. Jelas sekali, bahwa ada batas fundamental yang tegas antara “kami” dan “mereka”. Setiap “kami” bukanlah bagian dari eksistensi “mereka” dan secara resiprokal berlangsung secara timbal balik  dan beregulasi secara mekanistik. Posisi “mereka” adalah sekaligus juga “kami” dari sudut pandang yang berlawanan, sama halnya “kami” adalah sekaligus juga “mereka” dari sudut pandang yang berlawanan.

Penggunaan istilah “kami” juga mengacu pada posisi penyair secara eksistensial. Sudut pandang penyair menunjukkan posisi keberadaannya pada ruang eksistensialis. Aslan Abidin menggunakan titik komunikasi puitik dalam sajak-sajaknya dengan menggunakan “kami”, maka posisinya sebagai penyair adalah representasi dari “kami” yang tidak berkuasa. Pilihan eksistensial tersebut menunjukkan keberpihakan penyair pada satu ruang eksistensial. Keberpihakan tersebut sekaligus menyampaikan kisah-kisah dongeng tentang rakyat yang mempunyai gairah eksistensial yang selalu berakhir sia-sia. Eskalasi eksistensial tersebut, menjangkau apa yang disebut Sartre (dalam Catalano, 1980)

Sajak-sajak Aslan Abidin juga menunjukkan relasi antara “kami” dengan “kami” yang lain. Dalam sajak “Mencari Hati di Negeri Tragedi” menunjukkan dua aspek eksistensial. Pertama adalah “kami” sebagai sebuah kisah tentang kesatuan segala eksistensi (didalam “kami” mencakup “aku”, “engkau”, “ia” dan “kita”). Kedua istilah “kami” berfungsi sebagai penunjuk kesadaran eksistensial yang lebih luas.  Kesadaran tentang situasi “diri” yang kompleks. Bentuk-bentuk kesadaran eksistensial tampak sangat tegas dalam sajak-sajak Aslan Abidin berikut.

Ini negeri tragedi. Tempat kami
menangis saat lahir. Dan anehnya, kami ingin ditangisi
ketika mati. Kami banyak bersedih dan menangis di sini
hingga nenek moyang kami menciptakan mitologi
yang kami sebut mitologi kesedihan dan air mata.
…..
Ingin menjadi rakyat negeri kami tidak
sulit. Cukup punya kesedihan dan air mata.

(Mencari Hati di Negeri Tragedi)

Penghujung tahun selalu saja sama di
kota kami. Gerimis dan pungli polisi,
jerit terompet dan pejabat menjemukan,
kami disuap dangdut memabukkan.

(Tahun Baru, Selamatkan jiwa Kami)

Kami adalah suku bangsa yang
dipimpin sekawanan penipu yang
suka terhuyung dari mabuk
kemabuk

(Ritual Kepiluan)

Sajak-sajak tersebut menunjukkan bentuk kesadaran sekaligus kecemasan penyair yang masuk dalam esensi kesadaran dan kecemasan “kami” dalam sajak-sajaknya. Fenomena tersebut, akan sangat mudah dipahami melalui cara pandang eksistensialis yang dikemukakan oleh Sartre (Catalano, 1980), bahwa eksistensi manusia selalu mendahului esensi atau kodratnya sebagai manusia. Salah satu bentuk eksistensi mendasar manusia adalah kesadarannya. Kesadaran manusia, bagi Sartre, adalah kesadaran yang tertuju pada sesuatu. Dalam sajak-sajak Aslan Abidin, kesadaran, “kami” adalah kesadaran sosial yang menunjukkan bahwa “aku” dan “kita” tidak dapat lepas dari ruang sosial sebagai esensi kemanusiaan.

Kesadaran yang disampaikan Aslan Abidin dalam sajak-sajak seperti “Ritual Kepiluan”, “Tahun Baru, Selamatkan jiwa Kami”, dan “Mencari Hati di Negeri Tragedi” adalah kesadaran “membedakan” esensi keberadaan antara rakyat dan bukan rakyat. Arah kesadaran tersebut, secara eksistensial, jelas mengarah pada kebebasan. Bebas dari mitos kesedihan dan airmata sebagaimana pada sajak “Mencari Hati di Negeri Tragedi”. Bebas dari pungli, penjemuan, dan pemabukan sebagaimana ditegaskan dalam sajak “Tahun Baru, Selamatkan jiwa Kami”. Bebas dari penipuan dan kepemimpinan yang buruk sebagaimana ditampakkan dalam sajak “Ritual Kepiluan”.

Dalam kesadaran tersebut, penyair, menyelipkan juga dengan esensi kecemasan-kecemasan. Kesadaran dan kecemasan, secara eksistensialis, mempunyai hubungan yang sangat fundamental. Sartre menunjukkan bahwa kebebasan manusia tampak dalam kecemasannya (Catalano, 1980) . kecemasan adalah tanda adanya kebebasan dan rasa jemu menunjukkan adanya eksistensi diri. Kecemasan berbeda dengan ketakutan. Dalam sajak-sajak Aslan Abidin hampir tidak ada ketakutan, yang ada hanyalah kecemasan. Bagi Sartre, “ketakutan” berbeda dengan “kecemasan”. Ketakutan berhubungan tentang sesuatu yang material dan ada dalam dunia, sementara kecemasan berhubungan dengan eksistensi diri. Kecemasan akan menunjukkan bahwa eksistensi “kami” sepenuhnya disadari dalam diri “kami” dan kebebasan sangat tergantung dengan “diri” sendiri.

Salah satu bentuk kecemasan yang digaris bawahi Sartre secara eksistensialis adalah kecemasan yang menyangkut masa lalu. Kecemasan historis tersebut adalah bentuk kecemasan yang berasal dari adanya kesadaran bahwa seseorang telah terpisah dengan masa lampaunya sehingga terjadi kecemasan terhadap keputusan-keputusan eksistensialisnya pada masa kini. Meskipun pada sisi lain, kecemasan tersebut justru membawa manusia sampai pada kebebasannya yang baru. Dengan demikian, sajak-sajak Aslan Abidin, tidak hanya menunjukkan kesadaran dan kecemasan tetapi juga titik-titik kebebasan yang baru. Apakah akan bertahan pada kejemuan, penipuan, dan kesedihan atau keluar dari semua itu sebagai sebuah kebebasan.

Sebagaimana ditegaskan Sartre bahwa untuk dapat menunjukkan kecemasan dan melarikan diri dari ketidakbebasan, maka manusia harus mengetahui secara seksama apa yang berada dibalik kecemasan dan ketidakbebasan tersebut. Keluar dari ketidakbebasan atau melarikan diri dari kebebasan dan secara serentak keluar dari kecemasan-kecemasan adalah bentuk tegas adanya kesadaran eksistensial. Tendensi utama dari sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin adalah untuk menunjukkan ketidakbebasan dan kecemasan-kecemasan sebagai bagian dari adanya kesadaran eksistensial penyair yang tumbuh dan hidup dalam dunia dan realitas sosialnya. Aslan Abidin menempatkan “kami” sebagai sebuah refleksi eksistensial terhadap fenomena sosial-politik di Indonesia. Dengan memainkan gaya-gaya satire dan ironi yang tajam, penyair mengungkap satu persatu tragedi-tragedi eksistensial yang dialami oleh masyarakat dan terefleksi dengan dalam oleh penyair.

Desubstansialisme “aku”,  “Ia” “Kita”, dan “Kami”
Konsep desubstansialisasi adalah gagasan yang dikemukakan William Barret dalam “Death of Soul, from Descartes to The Computer”. Bahwa sajak tidak mempunyai  referensi bahasa yang jelas dan bersifat kabur (berkabut). Maka sebuah sajak sama sekali sulit untuk dikaitkan dengan berbagai aspek-aspek referensial yang bersifat objektif. Makna referensial yang tampaknya jelas dan terang dalam sebuah sajak bukanlah sebuah fakta acuan yang penting. Pada sebuah sajak, justru matriks simbolik yang kabur itulah yang referensial dan penting. Pengertian tentang segala komposisi  subjek “aku” dan “ia” atau relasi intersubjek “kita” dan “kami” bukanlah siapa-siapa atau sebuah penunjuk eksistensial yang berada diluar pengarang atau diluar pembaca. “aku”, “kita”, “engkau”, “ia”, “kami” adalah diri-diri kita semua, diri kita yang otentik termasuk diri penyair.

Semua sajak adalah sebuah dongeng tentang kisah-kisah yang hadir secara aktual dalam pengalaman hidup kita, yang mungkin tidak disadari dan tidak dicemasi. Tentang “halaman” yang sering disebut-sebut penyair dalam beberapa sajaknya adalah halaman yang ada diruang depan rumah-rumah kita, rumah yang sekarang sedang kita diami. “orang yang sedang menonton televisi” dengan apatisme yang kental adalah cerita tentang diri kita semua, ketika menyaksikan penderitaan manusia-manusia lain yang muncul dalam tayangan telivisi dan kita hanya bisa tersenyum kecut. “Album-album kenangan” yang berubah adalah album-album miliki kita semua, yang tergeletak pada ruang-ruang tamu dan sesekali kita membukanya untuk mengenang masa lalu dimana kita tak pernah lagi sama. “Kita” mungkin adalah “kita-rakyat” yang diceritakan penuh masalah eksistensial, atau kita adalah bagian dari “mereka” yang dikisahkan sebagai orang-orang yang jahat, penipu, dan buas.

Desubstansialisme yang mendasari gagasan metaforik dan analogis dalam sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin selain menonjolkan permainan-permainan eksistensialis, juga  menguatkan karakter cinta yang banyak dijadikan “latar puitik” sajak-sajak didalamnya. Cinta adalah ruang batín yang dipenuhi kompleksitas masalah eksistensial, mulai dari kenangan hingga pada persoalan keputusan-keputusan dalam cinta. Desubstansialisasi yang dilakukan penyair, menempatkan posisi kenangan sebagai sebuah peristiwa otonom yang tuntas, artinya sekalipun cinta secara substansial sesungguhnya telah usai, tetapi kenangan tentang sebuah cinta tidak akan pernah kehilangan muatan esensinya yaitu cinta itu sendiri. Sehingga kesetiaan penyair lebih pada kenangan yang selalu dapat “menjaga”cinta pada iklim yang tidak teredusir, meski dalam kenyataannya telah berlalu sekalipun. Kita dapat kehilangan sebuah esensi yang substantif dari cinta, tapi kenangan bahwa kita pernah saling mencintai dengan seseorang adalah sesuatu yang kita selalu akan miliki. Sebuah kenangan tidak pernah kehilangan rohnya dan tidak ada seorangpun yang mampu melupakan kenangannya, ia akan datang ketika saatnya tiba seperti sebuah musim. Disitulah salah satu harapan-harapan eksistensialis masih tersisa meski dalam kecemasan yang kuat.
 
Selain persoalan “aku”, “kita”, dan “kami”, Aslan Abidin juga menuliskan sajak-sajak yang mengandung fenomena eksistensial yang bersifat metafisika. Penyair menggunakan identitas “ia” dan “kau” untuk sosok metafisik. Aslan Abidin menampakkan bahwa ada kecemasan sekaligus kesadaran yang lain diluar eksistensi yang dipahami. Eksistensi yang tak dapat dihindari keberadaannya dan harus diterima diluar dari kebebasan yang dimiliki oleh seorang manusia. “Ia” adalah eksistensi yang disadari dalam kehidupan sebagai bagian dari kepastian yang tak dapat terhindari. Menerima eksistensinya dengan tulus dan menjalin kedekatan  adalah jalan kesadaran eksistensial yang ditawarkan penyair.

Ia menguntitmu ke mana pun engkau
pergi kepuncak gunung tertinggi atau
ke palung laut terdalam. Sepanjang hidupmu
ia bertengger lekat di tengkukmu.
Meski tak mencemaskanmu,
ia bergidik-menyeringai juga ketika engaku
menatap jurang yang dalam.
Tak seperti lelaki murahan atau
perempuan hidung belang yang telah menipumu,
ia setia, tak pernah ingkar janji, dan selalu
tepat waktu.

(Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian)

Elmaut kekasihku, masihkah kau
tak sudi mendekap kami di lahatmu?

(Sepasang Pengungsi dan Elmaut)

Wahai tanah lahat, terimalah
ia sebagai darah dagingmu yang telah
lari dari rumah dan lama kau nanti
untuk kau dekap dan urai ke azali

(Sajak Pengantar Jenazah)

Dalam konstruksi identitas tentang “kita” dan “kami”, Aslan Abidin melakukan refleksi terhadap guncangan-guncangan eksistensial dalam sajaknya. Guncangan yang oleh Fukuyama (2005) dianggap sebagai fenomena eksistensial (kodrat manusia) dalam tatanan sosial baru.  Data yang diajukan Fukuyama menunjukkan bahwa ukuran modal sosial yang negatif meningkat pesat sejak tahun 1965. Ada tiga aspek utama modal sosial yang bermasalah yang diangkat Fukuyama, terkait dengan eksistensi manusia secara sosial,  yaitu kejahatan, keluarga, dan kepercayaan. Modal sosial adalah norma kerjasama atau tatanan kebersamaan dalam dunia sosial yang mengendap dalam struktur kemanusiaan. Munculnya kejahatan-kejahatan adalah indikasi mendasar dari hilangnya modal sosial. Kenaikan fenomenal tingkat kejahatan di berbagai kota didunia menunjukkan adanya guncangan besar dalam tatanan relasi eksistensial manusia.

Keluarga sebagai salah satu modal sosial terpenting juga mengalami keguncangan besar. Menurut Fukuyama (2005) terjadi pergeseran besar menyangkut sistem reproduksi, hubungan antarjenis, dan revolusi seks. Struktur-struktur relasi dalam rumah tangga menjadi bergeser dan menimbulkan perubahan dalam aspek relasi-relasi intersubjektif. Relasi-relasi kebersamaan dan keberhadiran bersama dalam satu keluarga menjadi berubah. Hal tersebut memicu perubahan mendasar dalam sistem kekerabatan, perkawinan, dan perceraian. Keluarga-keluarga di barat (pada tahun 1990-an) mulai pecah dan banyak anak-anak mengalami kelahiran diluar nikah. Keutuhan eksistensial mengalami degradasi besar dan mempengaruhi cara pandang eksistensial manusia modern. Situasi yang sama sesungguhnya yang ditangkap oleh Aslan Abidin dalam sajak-sajaknya pada  antologi BLMP. Sajak yang dikarang pada rentang tahun 1993 hingga tahun 2006 tersebut, menunjukkan fase guncangan sosial yang mulai melanda kota-kota di Indonesia dan berpengaruh besar terhadap perubahan eksistensi manusia-manusia di Indonesia pada dekade awal abad 21.

Aspek lain yang disebut Fukuyama dan tergambar dalam sajak-sajak Aslan Abidin adalah kepercayaan. Sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin mengandung kesangsian-kesangsian eksistensial dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan.

Entah siapa gadis ini, aku menemukannya
dalam sebuah stensilan anny arrow, tubuhnya
membuatku membayangkan sebuah kota dengan
lorong-lorong yang panjang dan gelap

(Mitraliur)

Ketika orang-orang menjerit dijepit
Maut, saat mayat mereka berhimpit terbalut
Lumpur di parit, tahukah kau yang dapat aku perbuat?

(Aceh, Aku Hanya Penyair Dungu)

Subjek-subjek terjebak dalam lautan pilihan yang menyesatkan dan pada sisi lain kehilangan kekuatan dalam kebersamaan. Sebagaimana yang dikemukakan Fukuyama bahwa “orang-orang tidak terkait satu sama lain secara eksistensial, melainkan hanya terkait berdasarkan pilihan-pilihan. “aku” menjadi diri yang tertutup dan membahayakan posisi “aku” yang lain, rasa percaya dalam kebersamaan menjadi sangat berkurang.

Sebagai seorang penyair, Aslan Abidin, mengambil posisi untuk memberikan bobot eksistensial terhadap posisi subjek-subjek, baik “aku”, “engkau”, “kita”, “kami”, dan “ia”. Melakukan abstraksi skematik tentang persoalan eksistensial yang mengacu pada realitas-realitas dimana penyair berada didalamnya. Penyair mencoba memberikan fenomena realitas yang “sakit’ dengan menunjuk langsung pada persoalan eksistensi-eksistensi yang sakit, hilang, dan terbelah. Sekali lagi, tanpa mengingkari bahwa, posisi diri penyair berada didalam realitas sakit dan relasi-relasi eksistensial yang rusak tersebut. Terdapat beberapa aspek yang menempatkan sebagian besar sajak-sajak Aslan Abidin dalam BLMP menunjukkan fenomena eksistensialis, terutama pada (1) konsistensinya membicarakan realitas dengan model historisisme, sebagaimana menjadi landasan pikir utama dalam eksistensialisme dan idealisme serta (2) kekuatan dalam menangkap fenomena subjek dan intersubjek dengan fokus pada pengalaman bathiniah, menunjukkan kekuatan yang kreatif dalam merefleksikan dunia dan realitas secara hati-hati.

Aslan Abidin, dalam antologinya Bahaya Laten Malam Pengantin (BLMP), membongkar secara radikal berbagai jenjang eksistensial yang berelasi secara kompleks dan ironis dalam masyarakatnya. Ironisasi yang menunjukkan posisi-posisi eksistensial yang tragis dan tumbuh menjadi dunia baru manusia. Sesuatu yang membuat kepenyairan Aslan Abidin mempunyai posisi penting dalam sejarah puisi Indonesia. Kekuatan metafora eksistensialis yang memukau dan ruang kreatif pada relasi subjek-subjek dan relasi intersubjek yang masih sangat jarang dipilih sebagai sebuah proses kreatif dalam sejarah puisi Indonesia, membuat Aslan Abidin adalah penyair  eksistensialis yang muncul pada akhir abad 20 di Indonesia. Pesona sajak-sajaknya yang menunjukkan wajah diri manusia kontemporer membuat kita tersadar ruang-ruang paling dasariah dalam kesadaran diri kita sebagai manusia, sebagaimana dituangkan dalam frasa dua sajaknya berikut :

Maafkanlah aku,
bahkan dalam reruntuhan jiwaku,
aku tak tahu dimana kini kau tertimbun.

(Sungai Dalam Diriku)

Sebenarnya kami telah lama bunuh diri,
sejak jiwa kami dalam kotak-kotak suara
dibawa segerombolan orang entah kemana.
kami kini menjalani kematian
yang begitu membosankan

(Ritual Kepiluan).

__________________________________________________________
Referensi
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. PT Gramedia. Jakarta.
Catalano, J. 1980. A Commentary on Jean-Paul Sartre’s Being and Nothingness. The Hague.
Chicago.
Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan Besar, kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru.
Gramedia. Jakarta.
Marcel, Gabriel. 1987. Mytery of Being, Reflection & Mistery.
Nietzche, Friederich. 1993. The Birth of Tragedy. Out of The Spirit of Music. Penguin
Books, New York.
Sartre, Jean-Paul.  1978.   Psychology of Imagination. Muthuen. London.
Weil, Simone. 1997. Gravity and Grace. University of Nebraska . United States of America.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas