Metafora yang Tajam pada Sajak "Aku Batang" Karya Bahar Merdhu

Thursday, 19 December 2013

Oleh Ahyar Anwar

Hanya dengan beberapa kata saja, sebuah puisi, kadang menceritakan dunia dengan metafora yang tajam dan jauh. Kata-kata itu, menjangkau waktu dan menerjemahkan realitas dengan kuat dan terbuka. Kekuatan komposisi kata metaforik, pada sebuah puisi, kadang bahkan dengan sangat jernih menjangkau peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang secara sosial tersembunyi, terselip-selip, atau bahkan kenyataan yang telah “berubah” menjadi ornamen beku dalam ruang sosial.

Dalam sebuah buku kumpulan puisi sederhana “Antologi Enam Penyair” berjudul Moyangku Bugis seorang penyair Makassar bernama Bahar Merdhu menuliskan sebuah puisi dalam komposisi 10 kata saja. Sepuluh kata yang menjelaskan ribuan atau mungkin jutaan realitas sosial yang berserakan dimana-mana. Puisi itu berjudul “Aku Batang”.

Aku Batang
Aku
hanya
batang
yang
dihempas
ombak
Tapi
di tubuhku
tumbuh bunga

Puisi itu, sesungguhnya dapat dilebarkan hanya menjadi satu kalimat metaforik : “Aku hanya batang yang dihempas ombak, tapi ditubuhku tumbuh bunga”. Relasi oposisi biner, yang menimbulkan efek paradoks yang kuat dalam struktur “tubuh” puisi “Aku Batang”, ditujukan untuk menguatkan perbenturan dan capaian makna dramatik realitas yang ingin ditampilkan. Itulah sebabnya, penyair tidak menggunakan kalimat biasa tetapi lebih memilih struktur “candi” yang menyerupai “pintu gerbang masuk” dalam komposisi puisinya. 

Tubuh utama metafora puisi “Aku Batang”, terdiri dari tiga bagian utama yaitu (1) Aku hanya batang, (2) yang dihempas ombak, dan (3) Tapi di tubuhku tumbuh bunga.

Pada tubuh atas, “Aku hanya batang”, jelas menunjukkan eksistensi subjek yang memandang diri sebagai sebuah fakta yang “tidak cukup berharga”. “Batang”  adalah personifikasi dari diri yang tercerabut, terpotong, atau kehilangan eksistensi. Tetapi, kata “hanya” menunjukkan kekuatan kesadaran subjek atas dirinya. Karena kata “hanya” lebih berfungsi pembanding antara “Aku” dan “batang”. Pembandingan itulah yang menjadi roh kesadaran penting dari subjek “aku” secara eksistensial.

Pada tubuh tengah, “yang dihempas ombak”, lebih dalam lagi menegaskan kesadaran eksistensial subjek “Aku”. Posisi “Aku” menjadi teranalogikan dengan tragedi “batang yang dihempas ombak”. Ada kesadaran ketidakberdayaan; kesadaran ketidakberhargaan; kesadaran nihilitas. Tetapi kesadaran-kesadaran itu, pada sisi lain, juga menunjukkan peluang implisit dari subjek “Aku” yang “kuat”. Pemilihan “batang” oleh penyair sangat tepat untuk menunjukkan simulakrum antara “ketidakberhargaan”  sebuah batang dengan “kekuatan” batang itu untuk tidak tenggelam dan tidak terhancur oleh hempasan gelombang.

Pada tubuh bawah, “Tetapi ditubuhku tumbuh bunga”, menunjukkan ada ketegasan eksistensial dari diri subjek “Aku” untuk mensublimasi diri (meninggikan kebermaknaannya) dengan cara bereaksi atas realitas dirinya secara utuh untuk melahirkan sesuatu yang (secara dramatik dan paradoks) lebih baik atau lebih indah. Hanya batang yang memiliki kesadaran “kematian” yang dapat menerka kemungkinan-kemungkinan untuk menyerap energi “kehidupan”, lalu secara meditatif memasukkan energi kehidupan itu dalam struktur kematian yang dialaminya. Selanjutnya, dengan kekuatan bathin yang kuat, “batang mati itu” dapat memunculkan kehidupan baru dari dirinya yang lebih indah (bunga).

Healing Word
Secara mendasar puisi “Aku Batang”, mempunyai kekuatan makna yang besar untuk menerawangi berbagai aspek sosial, atau secara psikologis, sangat menarik untuk menjadi “kata penyembuh” (healing word) “menyembuhkan”  rasa ketidakbermaknaan dari individu-individu yang terhempas, termarginalkan, terabaikan, atau terlupakan secara sosial. Sebuah “batang” yang “dihempas ombak” tetapi mampu menumbuhkan “bunga” ditubuhnya adalah sebuah sugesti eksistensial yang sangat kuat dan sekaligus menjadi kekuatan makna dari puisi “Aku Batang”.

Komposisi makna dari kata-kata pada puisi “Aku Batang”, mempunyai kekuatan “mantra”, sangat kuat untuk mengubah cara pandang diri dari subjek-subjek yang merasa diri tidak berarti menjadi punya peluang yang besar untuk bermakna. Pada sisi lain, puisi “Aku Batang” juga  mempunyai kekuatan “emotif” untuk mengubah cara pandang sosial terhadap individu-individu yang merasa diri lebih bermakna.

Subjek pada “Aku hanya batang” mengacu pada orang-orang yang tampaknya tak bernilai secara sosial. Orang-orang seperti penyapu jalanan di tengah malam buta, pemulung sampah, tukang becak, penjaja koran jalanan, penjaga WC umum, pengamen jalanan, tukang semir sepatu, tukang wantex pakaian,  pembantu rumah tangga, pelacur-pelacur murahan dengan dandanan tebal yang menor, pekerja sawah yang tidak memiliki sawah, nelayan miskin yang tak mempunyai kapal, atau seorang penyair tak dikenal yang menuliskan puisi indah. Mereka adalah “batang”!

Mereka adalah “batang-batang” yang “dihempas ombak”. Ombak adalah sebuah situasi, yang lahir dari sebuah fenomena alam antara musim dan angin, menyerupai fenomena sosial yang keras dan menghukum. “Ombak” adalah sebuah analogi kehidupan di kota-kota besar. Sistem dan mekanisme kehidupan metropolitan yang bergerak cepat dan kompetitif, nyaris menyerupai hukum alam (atau hukum rimba), hanya memungkinkan orang-orang yang memiliki kekuatan tertentu yang akan bertahan secara ideal, sisanya akan terhempas dan terus bertahan dalam keterhempasan itu.

Aspek penting dari puisi “Aku Batang” adalah memberikan cara lain dari kemungkinan sempit, bagi orang-orang yang marginal dan tampat tidak terlalu berharga, untuk menandakan diri secara sosial dengan “menumbuhkan bunga” didalam kesadaran sosialnya. Kesadaran analogis yang membuat siapapun yang menangkap makna puisi secara keseluruhan akan sampai pada kesadaran eksistensialis sosial yang kuat. Puisi “Aku Batang” mensugesti kesadaran eksistensialis bahwa meskipun “hanya batang” dan telah “terhempas ombak” pula, tetapi tetaplah “menghidupkan keindahan”.

Siapapun yang menyadari makna inspiring dari puisi “Aku Batang”, akan menemukan komposisi kesadaran “Aku hanya…., dan juga dihempas…., tetapi dapat menumbuhkan…..”. Titik-titik itu akan menghasilkan sistem kebernilaian diri secara sosial. Sekecil apapun yang dimiliki selalu memungkinkan pencapaian makna yang kuat. Jika seorang tukang sapu jalanan menangkap makna puisi “Aku Batang” maka ia akan merasakan bahwa sekalipun pekerjaannya kotor dan tampak sia-sia, bahkan ia harus berhempasan dengan dingin malam dan kotornya debu, ia dapat menumbuhkan kebersihan yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Titik “keindahan” diri yang ditemukan, oleh tukang sapu itu, secara eksistensialis menyerupai tumbuhnya “bunga” dalam puisi “Aku Batang”.

Puisi pendek “Aku Batang”, jelas mengandung kekuatan pemikiran tentang eksistensialisme sosial  yang sangat mendasar. Eksistensialisme sosial dengan gagasan tentang kebermaknaan diri secara sosial adalah basis dari tumbuhnya keharmonisan. Puisi pendek “Aku Batang” seperti sebuah buku filsafat yang kompleks yang berbicara tentang eksistensialisme, estetika, dan sosialisme yang bersahaja.

Kisah sebuah Doa Kecil dari Hati yang Luas
Jika saja, seorang pengemis yang lusuh dan papa, mengerti kemungkinan-kemungkinan kebermaknaan dirinya pada puisi “Aku Batang” itu, maka ia akan menjadi juru doa yang paling ikhlas. Pengemis itu akan selalu menukar belas kasih seharga Rp 500 perak dengan sebuah doa kecil tentang keselamatan dunia-akhirat dan keterbukaan rezki orang yang memberinya. Jika saja, seorang yang berpunya sadar akan keindahan “bunga” yang tumbuh pada kebun hati yang luas dari pengemis lusuh dan papa itu, maka ia pasti akan memberi lebih dari Rp 500 perak.

Jika saja interaksi keindahan seperti itu terjadi, maka eksistensi sosial menjadi sangat indah. Kita semua seperti berada pada taman kehidupan yang yang penuh dengan makna. Orang-orang miskin dengan hati yang berbunga dengan sahaja dan orang-orang mampu yang memiliki hati dengan cahaya yang menumbuhkan bunga dibatang-batang kehidupan orang-orang miskin. Sebuah pesan besar yang kompleks dari sebuah puisi kecil yang sederhana, dari seorang penyair yang selalu mencari “kelucuan” pada dunia yang  “tak pernah lucu”.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas