Oleh Ahyar Anwar
Hanya dengan beberapa kata saja, sebuah puisi, kadang menceritakan
dunia dengan metafora yang tajam dan jauh. Kata-kata itu, menjangkau
waktu dan menerjemahkan realitas dengan kuat dan terbuka. Kekuatan
komposisi kata metaforik, pada sebuah puisi, kadang bahkan dengan sangat
jernih menjangkau peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang secara sosial
tersembunyi, terselip-selip, atau bahkan kenyataan yang telah “berubah”
menjadi ornamen beku dalam ruang sosial.
Dalam sebuah buku kumpulan puisi sederhana “Antologi Enam Penyair” berjudul Moyangku Bugis
seorang penyair Makassar bernama Bahar Merdhu menuliskan sebuah puisi
dalam komposisi 10 kata saja. Sepuluh kata yang menjelaskan ribuan atau
mungkin jutaan realitas sosial yang berserakan dimana-mana. Puisi itu
berjudul “Aku Batang”.
Aku Batang
Aku
hanya
batang
yang
dihempas
ombak
Tapi
di tubuhku
tumbuh bunga
Puisi itu, sesungguhnya dapat dilebarkan hanya menjadi satu kalimat metaforik : “Aku hanya batang yang dihempas ombak, tapi ditubuhku tumbuh bunga”. Relasi oposisi biner, yang menimbulkan efek paradoks yang kuat dalam struktur “tubuh” puisi “Aku Batang”,
ditujukan untuk menguatkan perbenturan dan capaian makna dramatik
realitas yang ingin ditampilkan. Itulah sebabnya, penyair tidak
menggunakan kalimat biasa tetapi lebih memilih struktur “candi” yang
menyerupai “pintu gerbang masuk” dalam komposisi puisinya.
Tubuh utama metafora puisi “Aku Batang”, terdiri dari tiga bagian utama yaitu (1) Aku hanya batang, (2) yang dihempas ombak, dan (3) Tapi di tubuhku tumbuh bunga.
Pada tubuh atas, “Aku hanya batang”, jelas menunjukkan eksistensi subjek yang memandang diri sebagai sebuah fakta yang “tidak cukup berharga”. “Batang” adalah personifikasi dari diri yang tercerabut, terpotong, atau kehilangan eksistensi. Tetapi, kata “hanya” menunjukkan kekuatan kesadaran subjek atas dirinya. Karena kata “hanya”
lebih berfungsi pembanding antara “Aku” dan “batang”. Pembandingan
itulah yang menjadi roh kesadaran penting dari subjek “aku” secara
eksistensial.
Pada tubuh tengah, “yang dihempas ombak”, lebih dalam lagi menegaskan kesadaran eksistensial subjek “Aku”. Posisi “Aku” menjadi teranalogikan dengan tragedi “batang yang dihempas ombak”.
Ada kesadaran ketidakberdayaan; kesadaran ketidakberhargaan; kesadaran
nihilitas. Tetapi kesadaran-kesadaran itu, pada sisi lain, juga
menunjukkan peluang implisit dari subjek “Aku” yang “kuat”. Pemilihan
“batang” oleh penyair sangat tepat untuk menunjukkan simulakrum antara
“ketidakberhargaan” sebuah batang dengan “kekuatan” batang itu untuk
tidak tenggelam dan tidak terhancur oleh hempasan gelombang.
Pada tubuh bawah, “Tetapi ditubuhku tumbuh bunga”,
menunjukkan ada ketegasan eksistensial dari diri subjek “Aku” untuk
mensublimasi diri (meninggikan kebermaknaannya) dengan cara bereaksi
atas realitas dirinya secara utuh untuk melahirkan sesuatu yang (secara
dramatik dan paradoks) lebih baik atau lebih indah. Hanya batang yang
memiliki kesadaran “kematian” yang dapat menerka kemungkinan-kemungkinan
untuk menyerap energi “kehidupan”, lalu secara meditatif memasukkan
energi kehidupan itu dalam struktur kematian yang dialaminya.
Selanjutnya, dengan kekuatan bathin yang kuat, “batang mati itu” dapat
memunculkan kehidupan baru dari dirinya yang lebih indah (bunga).
Healing Word
Secara mendasar puisi “Aku Batang”, mempunyai kekuatan makna
yang besar untuk menerawangi berbagai aspek sosial, atau secara
psikologis, sangat menarik untuk menjadi “kata penyembuh” (healing word)
“menyembuhkan” rasa ketidakbermaknaan dari individu-individu yang
terhempas, termarginalkan, terabaikan, atau terlupakan secara sosial.
Sebuah “batang” yang “dihempas ombak” tetapi mampu menumbuhkan “bunga”
ditubuhnya adalah sebuah sugesti eksistensial yang sangat kuat dan
sekaligus menjadi kekuatan makna dari puisi “Aku Batang”.
Komposisi makna dari kata-kata pada puisi “Aku Batang”,
mempunyai kekuatan “mantra”, sangat kuat untuk mengubah cara pandang
diri dari subjek-subjek yang merasa diri tidak berarti menjadi punya
peluang yang besar untuk bermakna. Pada sisi lain, puisi “Aku Batang”
juga mempunyai kekuatan “emotif” untuk mengubah cara pandang sosial
terhadap individu-individu yang merasa diri lebih bermakna.
Subjek pada “Aku hanya batang” mengacu pada orang-orang yang
tampaknya tak bernilai secara sosial. Orang-orang seperti penyapu
jalanan di tengah malam buta, pemulung sampah, tukang becak, penjaja
koran jalanan, penjaga WC umum, pengamen jalanan, tukang semir sepatu,
tukang wantex pakaian, pembantu rumah tangga, pelacur-pelacur murahan
dengan dandanan tebal yang menor, pekerja sawah yang tidak memiliki
sawah, nelayan miskin yang tak mempunyai kapal, atau seorang penyair tak
dikenal yang menuliskan puisi indah. Mereka adalah “batang”!
Mereka adalah “batang-batang” yang “dihempas ombak”. Ombak
adalah sebuah situasi, yang lahir dari sebuah fenomena alam antara musim
dan angin, menyerupai fenomena sosial yang keras dan menghukum. “Ombak”
adalah sebuah analogi kehidupan di kota-kota besar. Sistem dan
mekanisme kehidupan metropolitan yang bergerak cepat dan kompetitif,
nyaris menyerupai hukum alam (atau hukum rimba), hanya memungkinkan
orang-orang yang memiliki kekuatan tertentu yang akan bertahan secara
ideal, sisanya akan terhempas dan terus bertahan dalam keterhempasan
itu.
Aspek penting dari puisi “Aku Batang” adalah memberikan cara
lain dari kemungkinan sempit, bagi orang-orang yang marginal dan tampat
tidak terlalu berharga, untuk menandakan diri secara sosial dengan “menumbuhkan bunga”
didalam kesadaran sosialnya. Kesadaran analogis yang membuat siapapun
yang menangkap makna puisi secara keseluruhan akan sampai pada kesadaran
eksistensialis sosial yang kuat. Puisi “Aku Batang” mensugesti
kesadaran eksistensialis bahwa meskipun “hanya batang” dan telah
“terhempas ombak” pula, tetapi tetaplah “menghidupkan keindahan”.
Siapapun yang menyadari makna inspiring dari puisi “Aku Batang”,
akan menemukan komposisi kesadaran “Aku hanya…., dan juga dihempas….,
tetapi dapat menumbuhkan…..”. Titik-titik itu akan menghasilkan sistem
kebernilaian diri secara sosial. Sekecil apapun yang dimiliki selalu
memungkinkan pencapaian makna yang kuat. Jika seorang tukang sapu
jalanan menangkap makna puisi “Aku Batang” maka ia akan
merasakan bahwa sekalipun pekerjaannya kotor dan tampak sia-sia, bahkan
ia harus berhempasan dengan dingin malam dan kotornya debu, ia dapat
menumbuhkan kebersihan yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Titik
“keindahan” diri yang ditemukan, oleh tukang sapu itu, secara
eksistensialis menyerupai tumbuhnya “bunga” dalam puisi “Aku Batang”.
Puisi pendek “Aku Batang”, jelas mengandung kekuatan
pemikiran tentang eksistensialisme sosial yang sangat mendasar.
Eksistensialisme sosial dengan gagasan tentang kebermaknaan diri secara
sosial adalah basis dari tumbuhnya keharmonisan. Puisi pendek “Aku Batang” seperti sebuah buku filsafat yang kompleks yang berbicara tentang eksistensialisme, estetika, dan sosialisme yang bersahaja.
Kisah sebuah Doa Kecil dari Hati yang Luas
Jika saja, seorang pengemis yang lusuh dan papa, mengerti kemungkinan-kemungkinan kebermaknaan dirinya pada puisi “Aku Batang”
itu, maka ia akan menjadi juru doa yang paling ikhlas. Pengemis itu
akan selalu menukar belas kasih seharga Rp 500 perak dengan sebuah doa
kecil tentang keselamatan dunia-akhirat dan keterbukaan rezki orang yang
memberinya. Jika saja, seorang yang berpunya sadar akan keindahan
“bunga” yang tumbuh pada kebun hati yang luas dari pengemis lusuh dan
papa itu, maka ia pasti akan memberi lebih dari Rp 500 perak.
Jika saja interaksi keindahan seperti itu terjadi, maka eksistensi
sosial menjadi sangat indah. Kita semua seperti berada pada taman
kehidupan yang yang penuh dengan makna. Orang-orang miskin dengan hati
yang berbunga dengan sahaja dan orang-orang mampu yang memiliki hati
dengan cahaya yang menumbuhkan bunga dibatang-batang kehidupan
orang-orang miskin. Sebuah pesan besar yang kompleks dari sebuah puisi
kecil yang sederhana, dari seorang penyair yang selalu mencari
“kelucuan” pada dunia yang “tak pernah lucu”.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)