Berbekal request beberapa kawan, berikut saya bikin beberapa tips membikin cerpen meski bikinan saya sendiri sering tidak mewakilinya. Tentu saja di dunia ini ada seratus enam puluh empat ribu lebih jalan untuk menulis cerpen, sehingga setiap orang bisa mencari bahkan membikin jalannya sendiri. Notes ini tak perlu ditanggapi secara serius karena kemungkinan besar ujung-ujungnya Arsenal. Kalau mau yang lebih serius mungkin bisa bertanya kepada yang lebih maestro seperti AS Laksana misalnya, jadi saya heran masih saja ada yang bertanya bagaimana cara menulis cerpen sementara Indonesia punya kritikus dan analis sekaliber AS Laksana, jadi kalau meniru salah satu judul novel Agatha Christie, “Why Don’t They Ask Evan?” saya akan berkata, “Mengapa mereka tak bertanya pada AS Laksana?”
After that, berikut tipsnya, before that, penggemar AS Laksana dilarang baca:
.
1. Lokomotif Bahasa.
Cerpen bisa diibaratkan kereta. Gerbong-gerbongnya adalah apa yang mau kita sampaikan dalam cerita, mau gerbong romantis, mau gerbong penuh dengan istilah-istilah adat budaya, mau gerbong yang terguncang-guncang penuh kejutan, dan semisalnya. Namun sebagus apapun gerbong, ia tak akan berjalan kalau tidak ditarik lokomotif. Nah, lokomotif dalam cerpen adalah bahasa. Itulah yang membedakan cerpen dengan reportase atau diary. Jadi sangat penting untuk terus melatih mesin bahasa kita. Perhatikan betul apakah bahasa kita sudah mampu menarik pembaca masuk ke dalam cerita, bahkan sebisa mungkin kita mencari bahasa yang unik sebagai identitas. Alangkah senangnya seorang penulis cerita kalau sudah bisa dikenali lewat struktur bahasanya. Lalu bagaimana mendapatkan itu? Kalau berani, lanjut ke nomor 2.
2. Mengenal Puisi.
Dalam lokomotif bahasa, komponen mesin paling penting adalah puisi. Karena itu saya heran dengan penulis cerpen yang mengaku tidak tertarik dengan puisi, tidak bisa membaca puisi, sulit mengerti puisi. Ingatlah bahwa puisi itu bukan seorang wanita, ia tak perlu dimengerti, ia hanya perlu dibaca. Jika tidak suka puisi, paksakan untuk tetap membacanya (bacalah puisi dari penyair-penyair terkenal, jangan yang nanggung-nanggung), sebab lewat puisi kita bisa melatih interaksi terhadap kata, meski kita tak bisa memahami puisi, tapi kalau kita terus membacanya, maka secara tidak sadar pikiran kita akan semakin intim dengan kata, semacam hubungan yang personal, dari situ bahasa akan memilihkan kata-katanya yang tepat untuk setiap narasi dalam cerita kita.
3. Membaca Berseragam
(Bukan membaca sambil pakai seragam). Setelah lokomotif itu selesai, yang dibutuhkan adalah keseragaman gerbong. Kereta api itu enak dilihat dan dipotret kalau gerbongnya punya motif yang sama, sehingga lama-kelamaan mudah dikenali. Begitu pula kita, hendaknya membaca juga berurutan, misalkan bulan ini kita ingin membaca Budi Darma, maka bacalah sebanyak mungkin karya Budi Darma dan jangan baca yang lain. Bacalah karya beliau kemudian belajar menulis ulang semisal gaya beliau, tak perlu takut dianggap mirip atau meniru, karena ini melatih pikiran untuk fokus. Setelah kita bisa membikin cerpen yang bergaya Budi Darma, maka bisa pindah ke penulis lain, baca lagi sebanyak mungkin karya penulis tersebut sampai kita bisa mengcopy gaya berceritanya (termasuk tema ceritanya juga tidak apa-apa), lalu tulislah lagi, begitu seterusnya kita punya agenda saat ini harus mendalami tulisan siapa, minggu depan siapa, jangan sembarangan pindah-pindah cerpen, apalagi mencukupkan diri untuk membaca cerpen-cerpen di koran tiap minggu yang tentu saja selalu berubah-ubah dan tak jelas style-nya. Kalau kita sudah mendalami beberapa gaya penceritaan, maka secara otomatis (dengan terus latihan dalam waktu yang lama) akan terbentuk mixed style, artinya gaya cerita kita sendiri.
4. Mengirim ke Media
Mengirim ke media butuh beberapa trik tertentu, ini berlaku bagi yang tidak punya hubungan apapun dengan redakturnya. Dalam memilih media, jangan urutkan berdasarkan honor, tapi urutkan berdasarkan jarak muat. Pilih koran-koran yang jarak muatnya relatif singkat, sehingga ketika tidak dimuat, bisa kita pindah ke yang jarak muatnya relatif lama. Ditambah lagi, pelajari hari mengirim cerpen, hari selasa sampai kamis itu relatif aman. Sekali lagi, ini bukan agar dimuat, tapi hanya untuk memperbesar potensi pemuatan. Sebab factor yang utama tetaplah nasib baik, yang kedua kualitas.
5. Kesunyian dan Bukan Arisan.
Perbedaan penulis cerpen hari ini dan hari itu adalah masalah kesunyian. Hari ini, dengan facebook dan twitter, penulis cerpen lebih suka cipika cipiki dengan sesama penulis koran. Mereka seperti arisan tiap minggu, mengucap selamat pada yang dimuat sambil berkata, “mungkin minggu depan giliran saya.” Berbeda dengan hari itu di mana interaksi antar penulis memiliki kecemburuan positif, sangat jarang ada interaksi, tapi mereka saling mengenal lewat karya-karya yang dimuat, sehingga terjadi semacam “permusuhan kreatif” yang terus menggugahnya untuk berkarya lebih baik. Kalau sekarang ibaratnya semua penulis adalah kawan akrab, lebih suka menjalin so called silaturahmi daripada berpikir bagaimana menguliti dan mengalahkan cerita itu.
6. Form is Temporary, Class is Permanent.
Tak perlu cemburu dengan yang sering dimuat padahal pola ceritanya tidak jelas, cemburulah pada mereka yang ceritanya benar-benar punya struktur keunikan meski dimuat cuma setahun 2 – 3 kali. Jangan belajar pada buih yang dibawa ombak, tapi belajarlah pada laut luas yang terlihat diam padahal menghanyutkan. Sebab kemunculan di media hanyalah masalah keberuntungan, adapun kualitas seseorang itu akan permanen.
7. Terus Membaca, karena Arsenal pun Membaca
Aktivitas rutin seorang penulis adalah konsisten dalam membaca, jangan ketika merasa sudah bisa menulis (dan masuk koran beberapa kali), lalu malas membaca, ingat bahwa di luar negeri sana gaya penceritaan terus berkembang pesat seperti laju kereta Gaya Baru Malam Selatan.
8. Penulis Cerpen yang Baik Adalah Seorang Gunners.
*) Sungging Raga
Sumber
note's fb Sungging Raga