Diposkan oleh
Admin Iboekoe pada
12 Aug 2012 |
2 Tanggapan
Oleh: S. Wahedi El Anggasuto
(Bukan) Kebetulan dan keterpaksaan
Ketika saya memilih menulis sebagai karier, keputusan itu sudah
final. Tidak terpikirkan untuk mencoba sesuatu yang lain atau menyerah
jika muncul sesuatu yang lebih menarik. Itu pilihan hidup (Naguib
Mahfouz, 1911-2006)
Pie, saat kau Tanya mengapa aku begitu bersikeras untuk bertahan
membaca dan menulis? Aku hanya bisa katakan semua itu mungkin garis
tangan yang diberikan Tuhan padaku. Mulanya, aku menyukai buku, sumber
daya imaji membaca-menulis, karena terpaksa. Mungkin semacam kebetulan.
Terpaksa, karena (seolah) tak ada pilihan lagi untuk mengelak atau
menghindar dari yang namanya membaca dan menulis.
Oh ya, saya menyukai buku-betul-betul menyukai- sejak di bangku kelas
3 MTs. Oh, ya masa sekolah menengahku, dihabiskan dalam lingkungan
pondok pesantre. Di penjara suci inilah -begitu kami menyebutnya- saya
mulai dipaksa untuk membaca, menghafal dan menulis khazanah ilmu bahasa
Arab: nahwu, sharraf dan aneka menu kitab kuning lainnya. Tapi
lama-lama, dunia yang penuh bunyi-bunyian hijaiyah ini, menyeret saya
pada kesuntukan (:kelak saya pun curiga, bahwa dunia pondok inilah yang
banyak membentuk karakter saya menyukai buku). Akhirnya, tak pelak lagi
saya memilih dunia lain; dunia yang bisa menghibur dan menghilangkan
kepenatan: buku-buku cerita berbahasa Indonesia!
Oh, ya buku yang benar-benar saya baca dan sukai, -meski jauh sebelum itu saya sudah membaca majalah sastra Horizon, sajak Chairil Anwar, dan karya sastra lainnya- buku Gadis Pantai dan Cerita dari Blora
karya Pramoedya Ananta Toer. Kedua buku ini juga merupakan buku yang
pertama kali saya beli sebagai koleksi pribadi. Dari kedua buku ini,
saya menemukan keunikan dan keenakan cara tutur yang halus tapi menohok.
Membacanya saya seperti menemukan ruang-ruang percakapan masa lampau
saya: dongengan nenek, Pie!
Oh, ya saya belajar menulis mungkin karena kebetulan. Kebetulan saya
waktu itu, di pondok pesantren menjaga koperasi, dan kebetulan
teman-teman yang suka jurnalistik hendak mendirikan majalah dinding,
kebetulan pula saya diajak untuk jadi reporter, sebab kebetulan pula
mereka membutuhkan orang yang punya akses keluar-masuk dengan “bebas”,
dan kebetulan saya berada di posisi kebetulan itu. Satu tahun saya
dipaksa dan dibetulkan jadi reporter, kemudian penanggung jawab laporan
utama, kemudian staff redaksi, sekretaris redaksi hingga pimred redaksi.
Oh, ya pie, nama majalah dinding yang membesarkan saya: Al-Anwar! Dan
sejak bergabung dengan majalah dinding ini, diam-diam saya mulai
menyukai membaca-menulis! Dan saya pun mulai bersepakat dengan
kenyataan: bahwa membaca-menulis yang saya alami dan jalani bukan
kebetulan dan keterpaksaan, tapi ia semacam garis tangan yang diberikan
pada saya.
Obsesi dan Jalan Panjang!
Untuk memelihara kebebasan intelektual, orang hanya bisa
berbicara dengan dirinya sendiri dan itu harus dengan kerahasiaan paling
dalam… Soul Mountain ditulis untuk diri saya sendiri dan tanpa harapan akan diterbitkan (Gao Xingjian, pidato nobel: persoalan bagi sastra, Desember 2000)
Pie, setelah saya mulai bisa membaca-menulis, lalu datanglah
obsesi-obsesi itu. Impian-impian itu. Dengan membaca-menulis, saya ingin
menggubah keindahan. Menganggit kata-kata yang liris, dan keinginan
yang menggelora dan lucu: nama saya ingin dibaca dan dibicarakan oleh
teman-teman saya waktu itu, Pie.
Pie, membaca-menulis di masa permulaan-perkenalan saya, saya hanya
dipenuhi obsesi dan khayalan untuk dikenal orang. Saya dipenuhi
keinginan untuk keluar dari kesuntukan. Saya dipenuhi oleh
bayangan-bayangan, bahwa dengan membaca-menulis saya dikatakan orang
hebat di pondok. He…
Mula-mula saya menulis puisi. Mula-mula saya mulai mengkhayal,
membayangkan kejadian-demi-kejadian dalam untaian kata-kata, yang
menurut saya indah. Menurut saya menggugah. Tapi ternyata Pie,
membaca-menulis bukan hanya sekadar bayangan dan obsesi. Pengasuh
pondokku, mengolok-olok mereka yang menulis puisi sebagai kaum pemalas
(:kelak saya pun mafhum, bahwa ejekan pengasuh pondok ini ternyata hanya
sebagai tantangan dan semacam pertanyaan pertanggungjawaban pada para
muridnya yang membaca-menulis karya sastra untuk membuktikan bahwa yang
ditulisnya benar-benar kegelisahan manusia dan kemanusiaannya). Tapi
kadang saya merasa kurang beruntung dalam menulis puisi, Pie. Meski
beberapa karya saya sempat dipublikasikan, tapi itu jauh dari apa yang
saya bayangkan. Ratusan puisi yang coba saya tulis, ternyata hanya
segelintir yang mendapat tempat.
Setelah itu, saya mulai belajar menulis prosa. Tempat melanjutkan
kebiasaan untuk berbicara dan menggambarkan persoalan panjang lebar.
Saya terkadang tertawa: menulis prosa bak mengikuti dan membuat
krusak-krusuk dalam bahtsul masail. He…
Menulis prosa, benar-benar saya geluti dan pelajari sejak semester
lima di di bangku kuliah Fakultas Bahasa danSastra Unesa, Pie. Dalam
menulis prosa, saya sedikit beruntung. Beberapa karya prosa saya mulai
dipublikasikan di beberapa media. Dibanding puisi, prosa yang lebih
menemukan kemujurannya, Pie. Oh, ya saya selalu menganggap menulis dan
mengirimkan karya kita ke Koran dan dimuat atas beberapa hal.
Pertama, tulisan memang anak yang baik. Anak yang pantas untuk
dipajang, dipamerkan lalu diperdebatkan. Kedua, tulisan kita selaras
dengan selera redaktur. Ketiga, kita dan tulisan kita memang lagi
beruntung. Dan saya selalu mengalami yang ketiga Pie. Kelak, jika kau
menulis, menulislah dengan hati dan penuh dedikasi, agar karya-karyamu
menemukan ‘arti’; kau jangan menulis karena ingin dimuat di Koran ya?
Biar karyamu tidak rusak dan runyam.
Oh, ya Pie saya hampir lupa: membaca-menulis bukan hanya sekadar
obsesi dan keinginan. Tapi ia juga jalan panjang. Jalan panjang yang
kadang dipanggil sepi, sunyi dan kesendirian. Para penulis itu Pie,
-penulis yang saya baca karyanya- menjadikan membaca-menulis sebagai
pergumulan hidup. Mereka tak sekadar mencari ide, inspirasi kemudian
menuliskannya dalam karya. Tapi mereka juga dituntut untuk menemukan dan
mempertahankan idenya sebagai realitas tertinggi dalam kehidupannya.
Sehingga, Pie, tak jarang perjalanan hidup para penulis dipenuhi
cerita tragis, tragedi, ataupun sesekali romantis. Pramoedya Ananta Toer
merupakan pengarang yang rela menghabiskan sebagian besar hidupnya di
balik jeruji penjara. Ia tak membakar foto presiden, mencemooh, apalagi
meledek. Ia ditahan hanya karena tulisannya tak berkompromi dengan yang
namanya kekuasaan. Banyak karya Pramoedya yang hilang dan
dibumihanguskan oleh tangan-tangan kekuasaan negeri ini. Maaf, Pie jika
terlalu sentimental membicarakan Pramoedya.
Tapi saya belum menemukan itu Pie. Saya masih bergulat dengan obsesi
untuk dimuat, dibaca, dan dibicarakan orang. Padahal karya sastra,
mengacu pada karya-karya besar yang ditulis oleh mereka yang menyerahkan
hidupnya untuk menulis, selalu berbicara nasib manusia dan kemanusiaan;
pembicaraan nasib yang melintasi ruang-waktu penulis itu berada.
Pie, sampai di detik ini, saya sadar: saya masih mencari dan
meraba-raba diri saya: benarkah saya bercita-cita ingin membaca-menulis?
Benarkah saya akan memperjuang ide yang saya temukan? Benarkah saya
akan memiliki niat, itikad dan keinginan untuk membaca dan menyuarakan
nasib manusia dan kemanusiaannya, yang terkadang banyak mengalami kisah
tragis karena kebuasan manusia itu sendiri. Saya kadang masih ragu Pie.
Ternyata membaca-menulis ini jalan panjang. Jalan di mana kesepian,
kesendirian, dan kesunyian bertampik begitu rupa.
Dan diam-diam saya menyukainya, Pie.
Satu Pilihan: Cinta yang Pahit
Saya tidak kuat hidup dengan penyair (Pie, 18:25:21, 04/12/2011)
Anekdot yang selalu saya ingat, ketika seorang penulis melamar calon
istrinya. Syahdan, penulis itu datang ke rumah kekasihnya. Jelang
beberapa menit, mertua keluar menemuinya. Mereka berbicara panjang.
Mendiskusikan persoalan-persoalan hidup yang rumit. Kemudian setelah
memastikan calon menantunya baik, si mertua bertanya pekerjaan
menantunya. Si menantu, si penulis ini, dengan gagah dan mantap
menjawab: saya seorang penulis. Pekerjaan saya menulis. Mendengar
jawaban calon menantunya, si mertua diam beberapa saat. Matanya
memandang lurus ke depan. Dan dengan acuh berkata: oh, hidup bersama itu
butuh pemikiran yang masak dan matang.
Pie, anekdot itu selalu membayangi dan menghibur saya. Tapi saya
katakan, anekdot itu sebenarnya sisi lain para penulis: kebiasaan buruk
yang mesti dienyahkan. Dengan kata lain, Pie, penulis itu tak selamanya
mesti membanggakan dirinya hidup dalam dunia yang hanya asyik-masyuk
dengan dunia kesepiannya dalam kamar. Tapi ia mesti menemukan
kesepiannya di tengah keramaian dan hiruk pikuk manusia dan
kemanusiaannya.
Penulis itu, Pie, mengingat Octavio Paz, Salman Rushdie, Elliot,
Muhammad Iqbal, dan lainnya, adalah orang-orang yang diperhitungkan oleh
masyarakatnya. Bukan karena sekadar menulis Pie. Mereka terjun dan
hidup seperti orang pada umumnya. Meski di ruang batinnya, mereka
memiliki kamar rahasia untuk melahirkan karya sastra yang agung.
Dengan kalimat yang agak panjang –dan mungkin ini bualan bagimu-
pilihan hidup untuk jadi penulis itu memang akan mendatangkan satu cinta
yang pahit. Cinta yang tak bisa diterima semua orang. Terutama keluarga
kita. Tapi Pie, melalui surat panjang ini, saya ingin mengatakan: bahwa
pilihan untuk membaca-menulis bagi saya bukanlah hal yang bodoh.
Bukanlah hal yang tak mampu menghasilkan apa-apa. Bukanlah hal yang tak
bisa berbicara dengan dunia. Saya tak akan berjanji, atau pun
berkata-kata muluk-muluk, tapi saya tetap ingin meyakinkan, pertama-tama
diri saya sendiri, bahwa membaca-menulis mesti dengan satu tekad:
merayakan hidup dengan segala fantasi, obsesi, dan keberhasilannya,
seperti yang diiinginkan oleh mereka lewat jalan panjang yang bernama
proses kreatif.
Pie, dengan membaca-menulisku, aku ingin menuliskan satu kalimat
panjang tentang kita: aku ingin menulis nasib kita, sebab tulisan itu
doa, dalam doa itu aku akan membubuhkan kebahagiaan, ketentraman, dan
beberapa keinginan: jadi ‘orang besar’ nanti, bisa berpidato di podium
di depan banyak orang, mengajakmu berkeliling dunia, mendidik anak-anak
kita sebagai generasi yang gemilang, dan dengan bangga kita akan berkata
pada mereka: karena membaca-menulislah kami berhasil merenggut dunia.
Berhasil menguasai dunia! (*)
Sumber http://indonesiabuku.com/?p=13601
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)