Susastra untuk Keluarga

Sunday, 27 July 2014

Oleh : Mathori A Elwa. Penyair. Editor Senior Nuansa Cendekia,  Tinggal di Jogjakarta.

Mereka, para sastrawan, penulis, jurnalis, dan kaum cerdik-cendekia– tentu saja yang telah memiliki level kesadaran intelektual tinggi– menyadari pentingnya kesusastraan sebagai nafas hidup mereka. Sebagian karena alasan praktis, sebagian karena alasan yang abstrak.

Alasan praktis biasanya merujuk pada pentingnya merawat dan mengembangkan imajinasi dalam diri manusia. Imajinasi dalam pengertian ini adalah sebuah basis kreatif alam-pikir individu yang harus dirawat dan dikembangkan, karena dengan itulah kreativitas itulah hidup akan senantiasa berkembang.

Imajinasi juga dianggap penting mengingat manusia hidup tidak cukup hanya menggunakan rasio murni, atau menurut Imanuel Kant, tak cukup dengan mengandalkan “nalar instrumental”. Dengan sastra (dalam hal ini fiksi), diharapkan pula dari sini muncul kecerdasan yang harmonis antara otak kanan dan otak kiri.

Lain daripada itu, fiksi,–terutama karya-karya bermutu–, tidak mengajak manusia terjebak pada tahayul. Dengan itulah mengapa sastra diperlukan manusia modern, karena ia tetap memenuhi syarat untuk hidup dalam ruang rasionalitas modern, tetapi menjebak pola-pikit ke dalam “rasio-instrumental”, yang kaku, melainkan mengembangkan nalar secara kreatif, dinamis dan bahkan mengajak kita hidup lebih humanis.

Argumen mendasar di atas itu kemudian menyadarkan kaum cerdik cendekia senantiasa menggemari susastra dari beragam jenis. Tak jarang, kegemaran mereka membaca susastra sangat gila. Kecanduannya dari remaja hingga menjelang masuk liang kubur meliputi bacaan jenis puisi, novel, hingga studi susastra ilmiah.

Namun, harus pula diakui bahwa dari penggila susastra itu hanya menyadari/merasakan manfaatnya, tetapi  sering tidak mampu menjelaskan alasan mengapa ia gemar gila susastra. Rata-rata mereka hanya mampu menjawab sebagai hobi. Tetapi alasan sebagai sekadar hobi sekalipun, tetaplah baik. Sebab rata-rata penghobi susastra kebanyakan adalah golongan orang-orang yang memiliki jiwa intelektualitas tinggi.

Keluarga bermutu peduli susastra
Sedikit alasan di atas, paling tidak akan membuka kesadaran kita mengapa susastra tetap hidup di masyarakat modern, bahkan semakin maju kebudayaan masyarakat, semakin banyak pecinta susastranya. Negara Inggris, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Amerika Serikat, Perancis, Italia, dan beberapa negara maju lainnya telah membuktikan sebagai bangsa dengan masyarakat penggila sastra yang luar biasa.

Dengan kata lain, saya ingin memastikan bahwa susastra memang menempati golongan masyarakat “elit”, dalam artian elit secara intelektual, atau elit secara adab, dan bukan semata elit secara ekonomi. Sebab, harus diakui, tidak setiap orang kaya, bahkan mereka yang elit dari sisi sosial seperti ningrat atau menak, menggilai susastra.

Orangtua perlu sastra agar pikiran memiliki ruh, dan yang lebih penting lagi adalah mampu menyelami dunia batin imajinasi. Ini sangat penting karena kebanyakan anak-anak kita sangat lekat hidup dengan dunia imajinasi yang penuh kreativitas.

Dengan menetapkan sastra sebagai bagian dari keluarga, kelak anak-anak kita ketika dewasa akan hidup dengan jiwa dan karakter yang lebih baik. Orangtua,–yang sekalipun selama masa mudanya, bahkan sampai tua kurang menyukai dunia susastra,– tentu perlu mengubah pandangannya tentang susastra yang tidak penting menjadi susastra itu maha penting. Seandainya, tetap merasa tidak suka membaca, paling tidak harus memiliki kepedulian untuk menanamkan pentingnya susastra bagi anak-anaknya. Tentu bukan sekadar anjuran, melainkan mengajak anak-anak membaca, dan orantua bijak selalu membelanjakan buku-buku susastra kepada anak-anaknya.

Tema-tema susastra tidak terlalu sulit dipetakan. Ada fiksi seperti novel dan cerpen, termasuk komik, ada pula karya puisi atau bentuk cerita lainnya. Cerita-cerita rakyat, legenda, kisah hikmah, atau roman sebanyak mungkin diberikan kepada anak-anak remaja. Perpustakaan sekolah sejauh ini kurang memenuhi kebutuhan bacaan tersebut, karena itulah orangtua harus mengalokasikan belanja buku-buku penting tersebut sebagai bacaan remaja.

Pada level dewasa, selevel usia SMA dan mahasiswa, novel-novel karya penulis-penulis besar dunia harus mulai dibaca. Bacaan sastra bermutu karya Leo Tolstoy, H.G. Well, Najib Mahfudz, Rudyat Kipling, William Shakespeare, Rabindranat Tagore, Dostoevky, John Galwrthy, Edgar Allan Poe, Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Najib Kaelani, Marx Twain, Albert Camus, setidaknya disediakan di perpustakaan keluarga.

Begitu juga karya terbaik sastrawan Indonesia seperti Idrus, Muchtar Lubis, Aoh K Hadimadja, Pramudya Ananta Toer, Remy Sylado, Ali Audah, Ramadhan KH, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Titis Basino, Gerson Poyk, YB Mangunwijaya, Ajip Rosidi, Umar Kayam, Budhi Dharma, NH Dini, Seno Gumira Adjidarma, AS Laksana,  Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Muhamad, WS Rendra, A Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Dorothe Rosa Herliany, Widji Thukul, Linda Christanty, sebaiknya sudah menjadi koleksi para remaja kita. Karya-karya penulis Indonesia yang saya sebut itu mungkin bukunya tidak best-seller seperti Laskar Pelanginya Andreas Hirata atau Supernova-nya Dewi Lestari, tetapi kedudukan nilainya tentu lebih tinggi di banding susastra popular.

Melawan televisi
Jika hobi mengoleksi karya susastra sudah menjadi kebiasaan, waktu “luang” anak-anak remaja dalam lingkungan keluarga secara otomatis akan lebih penting digunakan untuk membaca, bukan menonton televisi. Keluarga yang tidak memiliki koleksi bacaan yang bagus, waktunya dihabiskan untuk menonton televisi atau cilakanya sekarang banyak membaca berita online yang buruk mutunya.

Penelitian menunjukkan bahwa tontonan televisi yang digemari mayoritas keluarga kita pasti tidak mendidik. Bahkan kini mulai tumbuh kesadaran di kalangan keluarga terdidik, di rumah mereka tidak lagi menyediakan televisi, melainkan VCD, agar selera anak-anak mereka dapat diarahkan secara positif.  Terbukti, bahwa keluarga demikian pasti menggemari tontonan dan bacaan bermutu, bukan tontonan dekaden dan membodohkan.

Waktu remaja, Rabindranat Tagore biasa mendengarkan dengan khusuk ayahnya mendendangkan syair-syair Jalaluddin Rumi di samping Bagawatgita. Tak heran jika Tagore tumbuh sebagai seorang yang berpandangan luas dan imajinasinya tumbuh amat subur. Kita mengenalnya sebagai pujangga besar India. Tradisi membaca karya sastra dan kitab suci secara bersamaan sebenarnya berlaku di dunia Timur, terutama di kalangan keluarga kelas menengah.  Pendiri Tempo Group, Goenawan Mohammad sejak remaja banyak dipasok pengetahuan oleh ayahnya dengan bacaan-bacaan berjimbun dan diarahkan untuk memahami susastra. Ada pula tokoh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholis Madjid yang terbukti menjadi manusia berkualitas kelas internasional karena tradisi keluarganya sangat kuat dengan literatur susastra.

Di Indonesia, terutama pada keluarga kaum santri sebenarnya sudah punya potensi dengan dekatnya mereka dengan susastra Arab.  Selain membaca Kitab suci Al-Quran, keluarga santri juga menyertakan bacaan susastra bermutu seperti susastra klasikAl-Barjanji, Maulid Diba’, Simdud Durar dll. Bahkan ketika memiliki hajat, misalnya mau membangun rumah, karya sastra yang bertajuk Manaqib Syeikh Abdul Qadir Jilani dibaca dengan melalui prosedur tertentu, yakni membuat ingkung (memasak ayam jantan) dan beberapa jenis makanan dan minuman tertentu; pemasaknya orang yang sudah tidak bisa haid, ketika memasak tidak boleh berbicara alias harus “topo bisu”, dan seterusnya).

Sementara di sebagian kalangan keluarga keturunan Cina, bacaan-bacaan tentang susastra dan sejarah Tiongkok juga cukup menjadi tradisi yang bisa diandalkan. Itu adalah modal besar bagi bangsa kita untuk menghargai karya sastra secara kreatif.

Pembentukan karakter dimulai dari keluarga. Dan karya sastra bermutu mengisi jiwa kita dengan asupan cahaya spiritualitas, seperti halnya Kitab Suci mengisi jiwa kita dengan cahaya Ilahi. Keluarga tanpa asupan kedua jenis spiritualitas demikian dapat dipastikan jiwanya kering kerontang, karakternya rapuh, wataknya kaku dan keras, hatinya angkuh, tak sudi belajar kepada orang lain, anti-kritik, dan —celakanya— senang menyaksikan pembunuhan atau tayangan horor, –lebih celaka lagi– hobi membunuh sesama manusia

Karena itu, jika kita sekarang sedang mendengar slogan “revolusi mental” barangkali salahsatu agenda terpentingnya adalah menjadikan setiap keluarga sebagai keluarga yang memiliki kesukaan terhadap karya susastra bermutu.

Sebab, kalau sekedar banyak baca tetapi bacaannya adalah karya kurang berkualitas, atau bahkan hanya sekadar baca informasi online yang muatannya kebanyakan sampah, sulitlah kita berharap munculnya manusia-manusia Indonesia yang berbudi pekerti sejalan dengan idealitas pancasila .[]

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas