Ada kegilaan yang dialami kebanyakan penggiat sastra era kekinian.
Bermacam suara melambung ke mana-mana. Melambangkan betapa banyak yang
terombang-ambing antara banyaknya pendapat dan diri kepenyairan. Gila
‘karya’ memang layak diacungi jempol empat, tetapi jika gila wacana dan
wahana? Ini yang repot tujuh turunan! Banyak persoalan sengaja
dibuat-buat sehingga terkesan pelik dan mendelik. Padahal itu soal
lembar kertas buram yang puluhan tahun sudah diasingkan ke tong sampah.
Tetapi memang para pemulung sampah selalu punya cara mendaur ulang agar
tampak cantik dan laku jual di pasaran. Muncullah kemudian beberapa
cangkang kesusastraan dengan madzhabnya masing-masing. Sebut saja
madzhab Sintaksis yang kemana pergi akan mengatakan bahwa puisi ini dan
itu kacau dari segi sintaksis. Madzhab Licentia Poetica akan menganggap
penggunaan EYD yang super ketat dalam puisi membuat kaku dan tidak
menyeangkan. Lain lagi bagi yang bermadzhab bebas lepas, adalah yang tak
peduli pada soal-soal pembangun puisi sehingga tidak penting bagi
penganut madzhab tersebut untuk belajar teknis dan perangkat bahasa.
Yang ini lagi unik, namanya madzhab pola baru. Jika puisi tidak
mengikuti pola yang dicanangkan sang penggagas sudah tentu akan
disingkirkan. Hampir kesemua madzhab berkutat pada teknis cipta puisi,
kualitas, , intensitas, sampai pada soal-soal ‘congek’ semisal
popularitas dan selebritas. Selebihnya omong kosong dan omong kosong.
Jalan
terbaik adalah terus berkarya tanpa berpikir ini dan itu yang sama
sekali tidak ada korelasinya dengan proses kekaryaan. Dengan terus
berkarya penyair dapat mempertahankan eksistensinya untuk menyuarakan
hal-hal yang bermanfaat bagi pembaca. Karya-karya cerah mencerahkan.
Meski di sisi lain produktivitas tak pelak menimbulkan pro dan kontra.
Ada yang mengatakan bahwa produktivitas tidak selalu linier dengan
kualitas. Dalam artian, bahwa kebanyakan penyair yang produktif tidak
mementingkan kualitas puisi. Banyak teknik pengunggahan rasa yang tidak
sanggup dicapai penyair produktif. Sehingga puisi-puisi yang dihasilkan
kehilangan jiwa. Bagi saya itu SALAH BESAR! Bagaimana jika kita membuat
pengandaian seperti ini: ada lima ratus buah apel di dalam keranjang,
maka ada lima ratus pilihan bagi siapa saja yang ingin memakan 1 apel
terbaik di antara 499 apel lainnya. Berbeda jika dalam keranang hanya
ada 2 apel. Maka pilihannya hanya ada dua. Jika keduanya busuk?
Produktivitas juga berkaitan dengan kepekaan penyair terhadap
aksen-aksen dalam dirinya sendiri, terhadap lingkungan alam sekitar
bahkan pada hal yang paling transenden sekalipun. Maka bagi penyair
yang tidak peka dan jarang membuat puisi baiknya tidak tergesa
menganggap penyair yang sering membuat puisi seperti orang kerasukan
setan puisi.
Lagi pula persoalan kualitas hingga detik ini
masih jadi keyakinan perseorangan atau kelompok
tertentu—kelompok-kelompok ini kebanyakan membuat ukuran yang hanya
mengedepankan gaya, warna, dan aroma puisi dalam kelompoknya saja.
Sedangkan puisi-puisi di luar itu adalah puisi gagal. Kegagalan inilah
yang sangat layak dipertanyakan. Terlebih jika si pembuat puisi memang
benar-benar penyair. Seperti apakah orang yang benar-benar penyair?
Mungkin ini masuk ke ranah pribadi lagi, karena belum juga ada hukum
pasti mengenai legitimasi kepenyairan. Penyair adalah yang benar-benar
membuat dan menjadikan puisi sebagai media kreasi, rekreasi, intropeksi,
komunikasi, intruksi, intrupsi dan apresiasi kehidupan. Bukan yang
sering mejeng di media cetak lantas disebut penyair, bukan pula yang
sudah mengumpulkan puluhan antologi puisi seketika disebut penyair, atau
pun seseorang kerap mendatangi pertemuan antarpenyair, apa lagi kalau
hanya gara-gara iseng menulis puisi dengan serta merta dianggap penyair.
Dalam
proses kekaryaan seorang penyair dapat menggunakan cara apa saja selama
tidak melanggar kode etik kekaryaan. Semisal mencuri ilmu dari karya
orang lain. Kalau masih ada kemiripan gaya atau pola tuang bukan soal
penting untuk dibahas. Karena sudah berpuluh-puluh tahun hal tersebut
dianggap lazim di kalangan penyair. Ini disebut pengaruh penyair
terhadap penyair lainnya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah karya yang
terpengaruh karya penyair lain dapat disebut orisinil? Tentu! Karena itu
pulalah puisi tidak pernah selesai ditulis. Berbicara puisi yang tidak
pernah selesai ditulis. Ada puisi yang diposting di portal e-Sastra
Malaysia oleh penyair yang sangat giat sebagai pengisi ruang-ruang
e-Sastra, yakni S. Iqram. Penyair ini pun rupanya mempunyai pandangan
bahwasanya puisi adalah tanah yang luasnya tidak terhingga. Siapapun
boleh membajaknya dengan cara masing-masing. Berikut puisinya:
Kepada penyair
Seandainya kalian mengambil segalanya;
matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-ganang,
lautan, rumput-rumput, batu-batu jadi puisi
aku tidak akan bertanya apa lagi kalian tinggalkan untukku
kerana aku percaya,
biarpun kalian habis menulis semuanya,
pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan
dari sisa kata kalian,
maka berikan padaku selebihnya
nescaya berjuta puisi akan terus membiak!
S.Iqram
11092013
Judul
‘Kepada Penyair’ langsung menuju sasaran. Bahwa puisi ini tidak untuk
birokrat kerajaan/pemerintahan, tidak untuk perempuan yang dicinta,
ataupun untuk emak dan abah melainkan untuk ‘penyair’. sementara kita
lupakan semua definisi kepenyairan yang masih kacau balau tidak
ditemukan titik terangnya itu. Lebih menarik jika mengulas puisi di
atas, barangkali ada jawaban mengenai ‘puisi yang selesai’ atau ‘puisi
memang takkan pernah selesai’. Dimulai dengan pengandaian. “Seandainya
kalian mengambil segalanya;/matahari, bulan, bintang-bintang,
gunung-ganang,/lautan, rumput-rumput, batu-batu jadi puisi”.
Simbol-simbol yang ditarik dalam puisi tersebut semisal ‘matahari’,
‘bulan’, ‘bintang’, ‘gunung’, ‘laut’, ‘batu’ dan ‘rumput’ merupakan
pilihan yang bijak. Sebab diksi-diksi tersebut merupakan diksi yang
paling banyak digunakan penyair selain diksi ‘sepi’, ‘luka’, ‘siksa’,
‘cinta’, ‘rindu’, dan sebagainya. Mengapa demikian? Sebab ‘matahari’
akan digunakan sebagai simbol pagi hari sebab sebagai pertanda jika
mulai terbit. Atau sebagai tanda senja akan datang saat matahari mulai
tenggelam. Begitu pun dengan ‘bulan’ dan ‘bintang’ merupakan simbol
malam yang cerah dan terang benderang. Jika ‘bulan’ dan ‘bintang’ tidak
ada maka malam akan kelam. Tiga simbol tersebut memiliki peranan yang
sama, yakni memegang peranan pada pergantian waktu. Apa korelasinya
dengan penciptaan puisi? Penyair pada suatu ketika bisa gila sebab
waktunya mau tidak mau direbut oleh puisi. Banyak waktu yang dikorbankan
untuk puisi. Penciptaan puisi yang tidak kenal waktu inilah yang layak
disimbolkan dengan mengandaikan ketiganya dalam suatu tindakan.
Masih
ada tiga simbol yang perlu diurai; ‘gunung’, ‘laut’, ‘batu’, dan
‘rumput’. Sekilas pembaca akan menganggap simbol-simbol tersebut
menekankan pada pemandangangan alam. Tidak salah jika demikian. Saya
hanya ingin mengajak menggali lebih dalam. Adalah nuansa yang
melatarbelakangi terciptanya sebuah puisi. Semua orang tahu (terutama
penyair) bahwasanya nuansa yang mendukung akan membangun sebuah puisi
yang cantik. Nuansa ‘gunung’ lebih identik dengan kesegaran, ketenangan,
dan pandangan mata yang terjun bebas ke dataran rendah sekitar
pegunungan. Sehingga penyair akan menangkap banyak kode rasa yang dapat
ditulis. Setara dengan ‘laut’, dekat kaitannya dengan pemandangan
gelombang yang pasang surut, kapal-kapal berlayar berpapasan dengan
kapal yang bersandar ke dermaga, serta pandangan mata yang terasa
menyentuh kaki langit. Lain hal dengan ‘batu’ serta ‘rumput’ yang
mengalihkan pandangan yang luas ke ruang yang jauh lebih sempit. Karena
keduanya adalah benda kecil. Meski benda kecil dan menyita pandangan, di
tangan penyair akan sanggup dijadikan dunia lain yang mungkin saja jauh
lebih luas dari dunia yang sebenarnya.
Begitulah
cerdasnya S. Iqram memilih diksi yang sanggup menjadi simbol sederhana
dengan kedalaman yang tidak sederhana. Pada larik selanjutnya tersurat
jelas kesangsian penyair mengenai keberadaan sesama penyair, bahwa tidak
akan habis kata meski semua kata telah ditulis: “aku tidak akan
bertanya apa lagi kalian tinggalkan untukku/kerana aku percaya,//biarpun
kalian habis menulis semuanya,/pasti ada puisi yang masih tak sempat
dituliskan/dari sisa kata kalian,” Bagaimana bisa begitu? Sedangkan jika
‘kata’ sudah dipakai semua bagian mana yang tersisa? Yang harus
digarisbawahi sebagaimana pemaparan saya sebelumnya, tidak ada satu
manusiapun yang sanggup melepaskan diri dari pengaruh orang-orang
terdahulu. Tetapi kejujuran tentang keterpengaruhan terkadang
diselubungi kabut tebal dan hitam. Demi menyatakan bahwa benar
orisinalitas itu ada, padahal sejauh pengamatan saya, hanya ranah
eksplorasi yang dapat dibajak dan diolah. Dari eksplorasi itulah lahir
seoarang Chairil Anwar dengan karya-karya yang tegas berlatar bohemian.
Meski telah berhasil mengakhiri kejayaan Pujangga Baru puisi-puisi
Chairil Awar tetap memiliki aroma Amir Hamzah. Atau Abduh Hadi WM dalam
puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang dianggap sebagai pencapaian
karyanya yang tertinggi, ternyata memiliki keterpengaaruhan yang sangat
kuat dari karya Chairil Anwar “Lagu Siul”. Baca kedua puisi ini:
1. Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
(Abdul Hadi W.M., 1977,
Tergantung Pada Angin)
2. LAGU SIUL
I
Laron pada mati
Terbakar pada sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal dicerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di apimu
'Ku kayak tidak tahu saja.
II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan bahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena Kau tidak akan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
28 November 1945
Perhatikan
larik dari puisi Abdul Hadi WM ini: “Sebagai api dengan panas/Aku panas
dalam apimu” lalu bandingkan dengan larik puisi milik Chairil Anwar
berikut ini: “Laron pada mati/Terbakar pada sumbu lampu/Aku juga
menemu”. Keduanya memiliki nuansa yang sama. Selain itu ada proses yang
tidak jauh berbeda. Hanya kecerdasan Abdul Hadi WM dalam mengolah karya
Chairil Anwar ini ada pada pengalihbentukan api. Jika Chairil Anwar
menggunakan ‘laron’ sebagai sesuatu yang terbakar lalu dengan
terbakarnya laron ada sesuatu hikmah kejadian yang ditemukan. Abdul Hadi
WM menjadikan dirinya sebagai api yang membakar. Penyatuan wujud api
dalam diri inilah yang menjadikan puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat”
dianggap sebagai puisi sufistik dan si penyair dianggap penyair
sekaligus filsul (Saya tidak setuju jika penyair yang membuat puisi
religi langsung dibai’at sebagai filsuf. Terlalu tergesa-gesa!).
Teknik
pengalihbentukan itu juga dilakukan pada bait terakhir, Abdul Hadi WM
menulis: “Dalam gelap/Kini aku nyala/Pada lampu padamMu” sedangkan puisi
yang memberikan pengaruh ditulis begini: “Jadi baik kita
padami/Unggunan api ini/Karena Kau tidak akan apa-apa/Aku terpanggang
tinggal rangka.” Menelisik dari sejarah kekaryaan itu, wajar saja jika
S. Iqram yang merupakan penyair generasi setelahnya menulis: “pasti ada
puisi yang masih tak sempat dituliskan/dari sisa kata kalian,”
menekankan pada kemungkinan puitik dari sebuah kata. Sebab kata yang
sama dapat diubah dengan cara yang berbeda. Pada dua larik penutup, ada
satu permintaan yang sebenarnya diberi atau tidak diberi tetap ia telah
mendapatkan. Atau bisa jadi meminta atau tidak meminta ia telah
memiliki. “maka berikan padaku selebihnya/nescaya berjuta puisi akan
terus membiak!”
Dunia kekaryaan memang asyik dan
mengelitik. Maka bagi yang ingin berkarya sambil tertawa atau sambil
menangis keduanya adalah sah. Yang tidak sah adalah tidak berkarya
tetapi banyak bicara. Atau berkarya lalu mengangung-agungkan karya
sendiri seakan karyanya sudah sempurna. Saran saya untuk penyair semacam
itu, sebaiknya berhenti menulis. Karena kesempurnaan memang akhir dari
segala. Salam Merdeka Jiwa dan Badan!
Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon
Sumber
https://www.facebook.com/notes/muhammad-rois-rinaldi/tak-pernah-selesai-penyair-dan-puisi/628708540513844