Tak Pernah Selesai: Penyair dan Puisi

Wednesday, 18 September 2013

Ada kegilaan yang dialami kebanyakan penggiat sastra era kekinian. Bermacam suara melambung ke mana-mana. Melambangkan betapa banyak yang terombang-ambing antara banyaknya pendapat dan diri kepenyairan.  Gila ‘karya’ memang layak diacungi jempol empat, tetapi jika gila wacana dan wahana? Ini yang repot tujuh turunan! Banyak persoalan sengaja dibuat-buat sehingga terkesan pelik dan mendelik. Padahal itu soal lembar kertas buram yang puluhan tahun sudah diasingkan ke tong sampah. Tetapi memang para pemulung sampah selalu punya cara mendaur ulang agar tampak cantik dan laku jual di pasaran.  Muncullah kemudian beberapa cangkang kesusastraan dengan madzhabnya masing-masing. Sebut saja madzhab Sintaksis yang kemana pergi akan mengatakan bahwa puisi ini dan itu kacau dari segi sintaksis. Madzhab Licentia Poetica akan menganggap penggunaan EYD yang super ketat dalam puisi membuat kaku dan tidak menyeangkan. Lain lagi bagi yang bermadzhab bebas lepas, adalah yang tak peduli pada soal-soal pembangun puisi sehingga tidak penting bagi penganut madzhab tersebut untuk belajar teknis dan perangkat bahasa. Yang ini lagi unik, namanya madzhab pola baru. Jika puisi tidak mengikuti pola yang dicanangkan sang penggagas sudah tentu akan disingkirkan. Hampir kesemua madzhab berkutat pada teknis cipta puisi, kualitas, , intensitas, sampai pada soal-soal ‘congek’ semisal popularitas dan selebritas. Selebihnya omong kosong dan omong kosong.

Jalan terbaik adalah terus berkarya tanpa berpikir ini dan itu yang sama sekali tidak ada korelasinya dengan proses kekaryaan. Dengan terus berkarya penyair dapat mempertahankan eksistensinya untuk menyuarakan hal-hal yang bermanfaat bagi pembaca. Karya-karya cerah mencerahkan. Meski di sisi lain produktivitas tak pelak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mengatakan bahwa produktivitas tidak selalu linier dengan kualitas. Dalam artian, bahwa kebanyakan penyair yang produktif tidak mementingkan kualitas puisi. Banyak teknik pengunggahan rasa yang tidak sanggup dicapai penyair produktif. Sehingga puisi-puisi yang dihasilkan kehilangan jiwa.  Bagi saya itu SALAH BESAR! Bagaimana jika kita membuat pengandaian seperti ini: ada lima ratus buah apel di dalam keranjang, maka ada lima ratus pilihan bagi siapa saja yang ingin memakan 1 apel terbaik di antara 499 apel lainnya. Berbeda jika dalam keranang hanya ada 2 apel. Maka pilihannya hanya ada dua. Jika keduanya busuk? Produktivitas juga berkaitan dengan kepekaan penyair terhadap aksen-aksen dalam dirinya sendiri, terhadap lingkungan alam sekitar bahkan pada hal yang paling transenden sekalipun.  Maka bagi penyair yang tidak peka dan jarang membuat puisi baiknya tidak tergesa menganggap penyair yang sering membuat puisi seperti orang kerasukan setan puisi.

Lagi pula persoalan kualitas hingga detik ini masih jadi keyakinan perseorangan atau kelompok tertentu—kelompok-kelompok ini kebanyakan membuat ukuran yang hanya mengedepankan gaya, warna, dan aroma puisi dalam kelompoknya saja. Sedangkan puisi-puisi di luar itu adalah puisi gagal. Kegagalan inilah yang sangat layak dipertanyakan. Terlebih jika si pembuat puisi memang benar-benar penyair. Seperti apakah orang yang benar-benar penyair? Mungkin ini masuk ke ranah pribadi lagi, karena belum juga ada hukum pasti mengenai legitimasi kepenyairan. Penyair adalah yang benar-benar membuat dan menjadikan puisi sebagai media kreasi, rekreasi, intropeksi, komunikasi, intruksi, intrupsi dan apresiasi kehidupan. Bukan yang sering mejeng di media cetak lantas disebut penyair, bukan pula yang sudah mengumpulkan puluhan antologi puisi seketika disebut penyair, atau pun seseorang kerap mendatangi pertemuan antarpenyair, apa lagi kalau hanya gara-gara iseng menulis puisi dengan serta merta dianggap penyair.

Dalam proses kekaryaan seorang penyair dapat menggunakan cara apa saja selama tidak melanggar kode etik kekaryaan. Semisal mencuri ilmu dari karya orang lain. Kalau masih ada kemiripan gaya atau pola tuang bukan soal penting untuk dibahas. Karena sudah berpuluh-puluh tahun hal tersebut dianggap lazim di kalangan penyair. Ini disebut pengaruh penyair terhadap penyair lainnya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah karya yang terpengaruh karya penyair lain dapat disebut orisinil? Tentu! Karena itu pulalah puisi tidak pernah selesai ditulis. Berbicara puisi yang tidak pernah selesai ditulis. Ada puisi yang diposting di portal e-Sastra Malaysia oleh penyair yang sangat giat sebagai pengisi ruang-ruang e-Sastra, yakni S. Iqram. Penyair ini pun rupanya mempunyai pandangan bahwasanya puisi adalah tanah yang luasnya tidak terhingga. Siapapun boleh membajaknya dengan cara masing-masing. Berikut puisinya:

Kepada penyair

Seandainya kalian mengambil segalanya;
matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-ganang,
lautan, rumput-rumput, batu-batu jadi puisi
aku tidak akan bertanya apa lagi kalian tinggalkan untukku
kerana aku percaya,
biarpun kalian habis menulis semuanya,
pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan
dari sisa kata kalian,
maka berikan padaku selebihnya
nescaya berjuta puisi akan terus membiak!

S.Iqram
11092013

Judul ‘Kepada Penyair’ langsung menuju sasaran. Bahwa puisi ini tidak untuk birokrat kerajaan/pemerintahan, tidak untuk perempuan yang dicinta, ataupun untuk emak dan abah melainkan untuk ‘penyair’. sementara kita lupakan semua definisi kepenyairan yang masih kacau balau tidak ditemukan titik terangnya itu. Lebih menarik jika mengulas puisi di atas, barangkali ada jawaban mengenai ‘puisi yang selesai’ atau ‘puisi memang takkan pernah selesai’. Dimulai dengan pengandaian. “Seandainya kalian mengambil segalanya;/matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-ganang,/lautan, rumput-rumput, batu-batu jadi puisi”. Simbol-simbol yang ditarik dalam puisi tersebut semisal ‘matahari’, ‘bulan’, ‘bintang’, ‘gunung’, ‘laut’, ‘batu’ dan ‘rumput’ merupakan pilihan yang bijak. Sebab diksi-diksi tersebut merupakan diksi yang paling banyak digunakan penyair selain diksi ‘sepi’, ‘luka’, ‘siksa’, ‘cinta’, ‘rindu’, dan sebagainya. Mengapa demikian? Sebab ‘matahari’ akan digunakan sebagai simbol pagi hari sebab sebagai pertanda jika mulai terbit. Atau sebagai tanda senja akan datang saat matahari mulai tenggelam. Begitu pun dengan ‘bulan’ dan ‘bintang’ merupakan simbol malam yang cerah dan terang benderang. Jika ‘bulan’ dan ‘bintang’ tidak ada maka malam akan kelam. Tiga simbol tersebut memiliki peranan yang sama, yakni memegang peranan pada pergantian waktu. Apa korelasinya dengan penciptaan puisi? Penyair pada suatu ketika bisa gila sebab waktunya mau tidak mau direbut oleh puisi. Banyak waktu yang dikorbankan untuk puisi. Penciptaan puisi yang tidak kenal waktu inilah yang layak disimbolkan dengan mengandaikan ketiganya dalam suatu tindakan.

Masih ada tiga simbol yang perlu diurai; ‘gunung’, ‘laut’, ‘batu’, dan ‘rumput’. Sekilas pembaca akan menganggap simbol-simbol tersebut menekankan pada pemandangangan alam. Tidak salah jika demikian. Saya hanya ingin mengajak menggali lebih dalam. Adalah nuansa yang melatarbelakangi terciptanya sebuah puisi. Semua orang tahu (terutama penyair) bahwasanya nuansa yang mendukung akan membangun sebuah puisi yang cantik. Nuansa ‘gunung’ lebih identik dengan kesegaran, ketenangan, dan pandangan mata yang terjun bebas ke dataran rendah sekitar pegunungan. Sehingga penyair akan menangkap banyak kode rasa yang dapat ditulis. Setara dengan ‘laut’, dekat kaitannya dengan pemandangan gelombang yang pasang surut, kapal-kapal berlayar berpapasan dengan kapal yang bersandar ke dermaga, serta pandangan mata yang terasa menyentuh kaki langit. Lain hal dengan ‘batu’ serta ‘rumput’ yang mengalihkan pandangan yang luas ke ruang yang jauh lebih sempit. Karena keduanya adalah benda kecil. Meski benda kecil dan menyita pandangan, di tangan penyair akan sanggup dijadikan dunia lain yang mungkin saja jauh lebih luas dari dunia yang sebenarnya.

Begitulah cerdasnya S. Iqram memilih diksi yang sanggup menjadi simbol sederhana dengan kedalaman yang tidak sederhana. Pada larik selanjutnya tersurat jelas kesangsian penyair mengenai keberadaan sesama penyair, bahwa tidak akan habis kata meski semua kata telah ditulis: “aku tidak akan bertanya apa lagi kalian tinggalkan untukku/kerana aku percaya,//biarpun kalian habis menulis semuanya,/pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan/dari sisa kata kalian,” Bagaimana bisa begitu? Sedangkan jika ‘kata’ sudah dipakai semua bagian mana yang tersisa? Yang harus digarisbawahi sebagaimana pemaparan saya sebelumnya, tidak ada satu manusiapun yang sanggup melepaskan diri dari pengaruh orang-orang terdahulu. Tetapi kejujuran tentang keterpengaruhan terkadang diselubungi kabut tebal dan hitam. Demi menyatakan bahwa benar orisinalitas itu ada, padahal sejauh pengamatan saya, hanya ranah eksplorasi yang dapat dibajak dan diolah. Dari eksplorasi itulah lahir seoarang Chairil Anwar dengan karya-karya yang tegas berlatar bohemian. Meski telah berhasil mengakhiri kejayaan Pujangga Baru puisi-puisi Chairil Awar tetap memiliki aroma Amir Hamzah. Atau Abduh Hadi WM dalam puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang dianggap sebagai pencapaian karyanya yang tertinggi, ternyata memiliki keterpengaaruhan yang sangat kuat dari karya Chairil Anwar “Lagu Siul”. Baca kedua puisi ini:

1.    Tuhan, Kita Begitu Dekat

                   Tuhan
                   Kita begitu dekat
                   Sebagai api dengan panas
                   Aku panas dalam apimu

                   Tuhan
                   Kita begitu dekat
                   Seperti kain dengan kapas
                   Aku kapas dalam kainmu

                   Tuhan
                   Kita begitu dekat
                   Seperti angin dan arahnya
                   Kita begitu dekat

                   Dalam gelap
                   Kini aku nyala
                   Pada lampu padammu

                   (Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin)

2.     LAGU SIUL

                   I
                   Laron pada mati
                   Terbakar pada sumbu lampu
                   Aku juga menemu
                   Ajal dicerlang caya matamu
                   Heran! Ini badan yang selama berjaga
                   Habis hangus di apimu
                   'Ku kayak tidak tahu saja.

                   II
                   Aku kira
                   Beginilah nanti jadinya:
                   Kau kawin, beranak dan bahagia
                   Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

                   Dikutuk-sumpahi Eros
                   Aku merangkaki dinding buta
                   Tak satu juga pintu terbuka.

                   Jadi baik kita padami
                   Unggunan api ini
                   Karena Kau tidak akan apa-apa
                   Aku terpanggang tinggal rangka.

                                                28 November 1945

Perhatikan larik dari puisi Abdul Hadi WM ini: “Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu” lalu bandingkan dengan larik puisi milik Chairil Anwar berikut ini: “Laron pada mati/Terbakar pada sumbu lampu/Aku juga menemu”. Keduanya memiliki nuansa yang sama. Selain itu ada proses yang tidak jauh berbeda.  Hanya kecerdasan Abdul Hadi WM dalam mengolah karya Chairil Anwar ini ada pada pengalihbentukan api. Jika Chairil Anwar menggunakan ‘laron’ sebagai sesuatu yang terbakar lalu dengan terbakarnya laron ada sesuatu hikmah kejadian yang ditemukan. Abdul Hadi WM menjadikan dirinya sebagai api yang membakar. Penyatuan wujud api dalam diri inilah yang menjadikan puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” dianggap sebagai puisi sufistik dan si penyair dianggap penyair sekaligus filsul (Saya tidak setuju jika penyair yang membuat puisi religi langsung dibai’at sebagai filsuf. Terlalu tergesa-gesa!).

Teknik pengalihbentukan itu juga dilakukan pada bait terakhir, Abdul Hadi WM menulis: “Dalam gelap/Kini aku nyala/Pada lampu padamMu” sedangkan puisi yang memberikan pengaruh ditulis begini: “Jadi baik kita padami/Unggunan api ini/Karena Kau tidak akan apa-apa/Aku terpanggang tinggal rangka.”  Menelisik dari sejarah kekaryaan itu, wajar saja jika S. Iqram yang merupakan penyair generasi setelahnya menulis: “pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan/dari sisa kata kalian,” menekankan pada kemungkinan puitik dari sebuah kata. Sebab kata yang sama dapat diubah dengan cara yang berbeda.  Pada dua larik penutup, ada satu permintaan yang sebenarnya diberi atau tidak diberi tetap ia telah mendapatkan. Atau bisa jadi meminta atau tidak meminta ia telah memiliki. “maka berikan padaku selebihnya/nescaya berjuta puisi akan terus membiak!”

Dunia kekaryaan memang asyik dan mengelitik. Maka bagi yang ingin berkarya sambil tertawa atau sambil menangis keduanya adalah sah. Yang tidak sah adalah tidak berkarya tetapi banyak bicara. Atau berkarya lalu mengangung-agungkan karya sendiri seakan karyanya sudah sempurna. Saran saya untuk penyair semacam itu, sebaiknya berhenti menulis. Karena kesempurnaan memang akhir dari segala. Salam Merdeka Jiwa dan Badan!

Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon

Sumber https://www.facebook.com/notes/muhammad-rois-rinaldi/tak-pernah-selesai-penyair-dan-puisi/628708540513844

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas