Undangan Bergabung dalam Antologi Puisi "Dari Negeri Poci 5" | DL 28 Februari 2014

Friday 27 September 2013

UNDANGAN BERGABUNG DALAM ANTOLOGI PUISI DARI NEGERI POCI 5

Komunitas Negeri Poci/ Radja Ketjil  mengajak dan mengundang para penyair --termasuk para alumnus penyair Dari Negeri Poci-- di seluruh Indonesia,  untuk ikut bergabung dalam sebuah antologi puisi DARI NEGERI POCI 5 yang direncanakan terbit pada 1 April 2014.

Persyaratan umum:
1. Siapa saja, segala usia, pria-wanita, domisili di mana saja
2. Para penyair dipersilakan mengirim sebanyak 10 (sepuluh) puisi dan foto & biodata terbaru
3. Panjang setiap puisi maksimal 40 baris (atau cukup dicetak  1 halaman dalam buku)
4. Tema bebas
5. Puisi harus karya terbaru, dan harus tidak/ belum pernah dimuat dalam media apa pun.
6. Silakan kirim karya terbaik Anda, ke email: antologidnp5@gmail.com,  paling lambat sudah harus diterima pada 28 Feb. 2014. Jangan lupa, sertakan juga biodata dan foto terbaru/ terbaik Anda.

Lain-lain:
1. Puisi-puisi yang masuk akan diseleksi oleh tim kurator/editor yang ditunjuk.
2. Tidak ada pungutan apa pun bagi keikutsertaan  dalam antologi ini, termasuk bagi mereka yang puisinya terpilih.
3. Mengingat penerbitan buku ini tidak untuk keperluan komersial, para penyair yang karyanya dimuat tidak memperoleh honorarium/ royalti, dan sebagai gantinya setiap penyair yang karyanya terpilih dan dimuat akan mendapat sebanyak 1 (satu) buku sebagai nomor bukti.

Salam sastra!

Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto/ Komunitas Negeri Poci/  Komunitas Radja Ketjil

PS: Antologi DARI NEGERI POCI 5, adalah kelanjutan dari antologi puisi NEGERI ABAL-ABAL - DARI NEGERI POCI 4 (2013, 99 Penyair), DARI NEGERI POCI (1993, 12 Penyair), DARI NEGERI POCI 2 (Ed. F. Rahardi, 1994, 45 Penyair) dan DARi NEGERI POCI 3 (Ed. Adri Darmadji Woko, Handrawan Nadesul dan Kurniawan Junaedhie, 1996, 49 Penyair).

Undangan ini terbuka untuk umum dan tidak terbatas hanya yang di-tag!

Sumber Kosakatakita Penerbit.
Selengkapnya: Undangan Bergabung dalam Antologi Puisi "Dari Negeri Poci 5" | DL 28 Februari 2014

Tour Opera Batak "Perempuan di Pinggir Danau" (SUMUT - JAWA - JERMAN) 2013

Tuesday 24 September 2013

Tour Opera Batak [SUMUT-JAWA-JERMAN] "Perempuan di Pinggir Danau"
Karya/Sutradara: Lena Simanjuntak 
Konsultan: Sutradara: Thompson Hs
"Potongan Dialog: Ampuni kami penguasa bumi dan langit. Karena kami mencabik-cabik janji bersama untuk memelihara ciptaanmu.Seperti kesetiaan matahari terbit dari timur menyusuri bumi menabur cahaya dan mengundurkan diri di barat mempersilahkan rembulan dan bintang menghias kegelapan malam. Selimuti kami dengan kasih setiaMu. Selamatkan kami dari nafsu mencemari air, tanah, dan alam untuk kehidupan."
Pemain: 
Alister Nainggolan - Ojax Manalu-Nominanda Sagala - Editua Nainggolan- Kristin SiallanganDevi Lasroha Sinaga-Rini Sinaga-Hotania Nainggolan- Rinda Turnip-Tiurma NainggolanSidratul Muntaha
  • Penata Artistik : Adie Damanik
  • Disgn Grafis : Ommz fedricho
  • Stage Manager Sumut : Lukman Hakim Siagian
  • Tata Linghting Sumut : Ganden His Gank

Team Produksi :
Laire Siwi Mentari- Jhon Fawer Siahaan- Tumpak Winmark Hutabarat - Yolandri Simanjuntak-Sotardok Art House - Manguji Nababan - Air In Arts.

Jadwal Tour Opera Batak " Perempuan Di Pinggir Danau"   
MEDAN
30-31 Agustus 2013
Taman Budaya Sumatera Utara Pukul 15:00 wib Pelajar dan 19:30 Mahasiswa dan Umum
Info Undangan Medan : 0853 72342218 [Devi Sinaga]

PEMATANGSIANTAR
28 September 2013

BANDUNG
19 Oktober 2013

YOGYAKARTA
21 Oktober 2013
Padepokan Bagong Kusdiarjo

SOLO
23 Oktober 2013
Taman Budaya Jawa Tengah

JAKARTA
26 Oktober 2013

KOLN [Jerman}
2 November 2013 >> event " BATAK DAY"


Link terkait;
Selengkapnya: Tour Opera Batak "Perempuan di Pinggir Danau" (SUMUT - JAWA - JERMAN) 2013

Tak Pernah Selesai: Penyair dan Puisi

Wednesday 18 September 2013

Ada kegilaan yang dialami kebanyakan penggiat sastra era kekinian. Bermacam suara melambung ke mana-mana. Melambangkan betapa banyak yang terombang-ambing antara banyaknya pendapat dan diri kepenyairan.  Gila ‘karya’ memang layak diacungi jempol empat, tetapi jika gila wacana dan wahana? Ini yang repot tujuh turunan! Banyak persoalan sengaja dibuat-buat sehingga terkesan pelik dan mendelik. Padahal itu soal lembar kertas buram yang puluhan tahun sudah diasingkan ke tong sampah. Tetapi memang para pemulung sampah selalu punya cara mendaur ulang agar tampak cantik dan laku jual di pasaran.  Muncullah kemudian beberapa cangkang kesusastraan dengan madzhabnya masing-masing. Sebut saja madzhab Sintaksis yang kemana pergi akan mengatakan bahwa puisi ini dan itu kacau dari segi sintaksis. Madzhab Licentia Poetica akan menganggap penggunaan EYD yang super ketat dalam puisi membuat kaku dan tidak menyeangkan. Lain lagi bagi yang bermadzhab bebas lepas, adalah yang tak peduli pada soal-soal pembangun puisi sehingga tidak penting bagi penganut madzhab tersebut untuk belajar teknis dan perangkat bahasa. Yang ini lagi unik, namanya madzhab pola baru. Jika puisi tidak mengikuti pola yang dicanangkan sang penggagas sudah tentu akan disingkirkan. Hampir kesemua madzhab berkutat pada teknis cipta puisi, kualitas, , intensitas, sampai pada soal-soal ‘congek’ semisal popularitas dan selebritas. Selebihnya omong kosong dan omong kosong.

Jalan terbaik adalah terus berkarya tanpa berpikir ini dan itu yang sama sekali tidak ada korelasinya dengan proses kekaryaan. Dengan terus berkarya penyair dapat mempertahankan eksistensinya untuk menyuarakan hal-hal yang bermanfaat bagi pembaca. Karya-karya cerah mencerahkan. Meski di sisi lain produktivitas tak pelak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mengatakan bahwa produktivitas tidak selalu linier dengan kualitas. Dalam artian, bahwa kebanyakan penyair yang produktif tidak mementingkan kualitas puisi. Banyak teknik pengunggahan rasa yang tidak sanggup dicapai penyair produktif. Sehingga puisi-puisi yang dihasilkan kehilangan jiwa.  Bagi saya itu SALAH BESAR! Bagaimana jika kita membuat pengandaian seperti ini: ada lima ratus buah apel di dalam keranjang, maka ada lima ratus pilihan bagi siapa saja yang ingin memakan 1 apel terbaik di antara 499 apel lainnya. Berbeda jika dalam keranang hanya ada 2 apel. Maka pilihannya hanya ada dua. Jika keduanya busuk? Produktivitas juga berkaitan dengan kepekaan penyair terhadap aksen-aksen dalam dirinya sendiri, terhadap lingkungan alam sekitar bahkan pada hal yang paling transenden sekalipun.  Maka bagi penyair yang tidak peka dan jarang membuat puisi baiknya tidak tergesa menganggap penyair yang sering membuat puisi seperti orang kerasukan setan puisi.

Lagi pula persoalan kualitas hingga detik ini masih jadi keyakinan perseorangan atau kelompok tertentu—kelompok-kelompok ini kebanyakan membuat ukuran yang hanya mengedepankan gaya, warna, dan aroma puisi dalam kelompoknya saja. Sedangkan puisi-puisi di luar itu adalah puisi gagal. Kegagalan inilah yang sangat layak dipertanyakan. Terlebih jika si pembuat puisi memang benar-benar penyair. Seperti apakah orang yang benar-benar penyair? Mungkin ini masuk ke ranah pribadi lagi, karena belum juga ada hukum pasti mengenai legitimasi kepenyairan. Penyair adalah yang benar-benar membuat dan menjadikan puisi sebagai media kreasi, rekreasi, intropeksi, komunikasi, intruksi, intrupsi dan apresiasi kehidupan. Bukan yang sering mejeng di media cetak lantas disebut penyair, bukan pula yang sudah mengumpulkan puluhan antologi puisi seketika disebut penyair, atau pun seseorang kerap mendatangi pertemuan antarpenyair, apa lagi kalau hanya gara-gara iseng menulis puisi dengan serta merta dianggap penyair.

Dalam proses kekaryaan seorang penyair dapat menggunakan cara apa saja selama tidak melanggar kode etik kekaryaan. Semisal mencuri ilmu dari karya orang lain. Kalau masih ada kemiripan gaya atau pola tuang bukan soal penting untuk dibahas. Karena sudah berpuluh-puluh tahun hal tersebut dianggap lazim di kalangan penyair. Ini disebut pengaruh penyair terhadap penyair lainnya. Kemudian muncul pertanyaan, apakah karya yang terpengaruh karya penyair lain dapat disebut orisinil? Tentu! Karena itu pulalah puisi tidak pernah selesai ditulis. Berbicara puisi yang tidak pernah selesai ditulis. Ada puisi yang diposting di portal e-Sastra Malaysia oleh penyair yang sangat giat sebagai pengisi ruang-ruang e-Sastra, yakni S. Iqram. Penyair ini pun rupanya mempunyai pandangan bahwasanya puisi adalah tanah yang luasnya tidak terhingga. Siapapun boleh membajaknya dengan cara masing-masing. Berikut puisinya:

Kepada penyair

Seandainya kalian mengambil segalanya;
matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-ganang,
lautan, rumput-rumput, batu-batu jadi puisi
aku tidak akan bertanya apa lagi kalian tinggalkan untukku
kerana aku percaya,
biarpun kalian habis menulis semuanya,
pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan
dari sisa kata kalian,
maka berikan padaku selebihnya
nescaya berjuta puisi akan terus membiak!

S.Iqram
11092013

Judul ‘Kepada Penyair’ langsung menuju sasaran. Bahwa puisi ini tidak untuk birokrat kerajaan/pemerintahan, tidak untuk perempuan yang dicinta, ataupun untuk emak dan abah melainkan untuk ‘penyair’. sementara kita lupakan semua definisi kepenyairan yang masih kacau balau tidak ditemukan titik terangnya itu. Lebih menarik jika mengulas puisi di atas, barangkali ada jawaban mengenai ‘puisi yang selesai’ atau ‘puisi memang takkan pernah selesai’. Dimulai dengan pengandaian. “Seandainya kalian mengambil segalanya;/matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-ganang,/lautan, rumput-rumput, batu-batu jadi puisi”. Simbol-simbol yang ditarik dalam puisi tersebut semisal ‘matahari’, ‘bulan’, ‘bintang’, ‘gunung’, ‘laut’, ‘batu’ dan ‘rumput’ merupakan pilihan yang bijak. Sebab diksi-diksi tersebut merupakan diksi yang paling banyak digunakan penyair selain diksi ‘sepi’, ‘luka’, ‘siksa’, ‘cinta’, ‘rindu’, dan sebagainya. Mengapa demikian? Sebab ‘matahari’ akan digunakan sebagai simbol pagi hari sebab sebagai pertanda jika mulai terbit. Atau sebagai tanda senja akan datang saat matahari mulai tenggelam. Begitu pun dengan ‘bulan’ dan ‘bintang’ merupakan simbol malam yang cerah dan terang benderang. Jika ‘bulan’ dan ‘bintang’ tidak ada maka malam akan kelam. Tiga simbol tersebut memiliki peranan yang sama, yakni memegang peranan pada pergantian waktu. Apa korelasinya dengan penciptaan puisi? Penyair pada suatu ketika bisa gila sebab waktunya mau tidak mau direbut oleh puisi. Banyak waktu yang dikorbankan untuk puisi. Penciptaan puisi yang tidak kenal waktu inilah yang layak disimbolkan dengan mengandaikan ketiganya dalam suatu tindakan.

Masih ada tiga simbol yang perlu diurai; ‘gunung’, ‘laut’, ‘batu’, dan ‘rumput’. Sekilas pembaca akan menganggap simbol-simbol tersebut menekankan pada pemandangangan alam. Tidak salah jika demikian. Saya hanya ingin mengajak menggali lebih dalam. Adalah nuansa yang melatarbelakangi terciptanya sebuah puisi. Semua orang tahu (terutama penyair) bahwasanya nuansa yang mendukung akan membangun sebuah puisi yang cantik. Nuansa ‘gunung’ lebih identik dengan kesegaran, ketenangan, dan pandangan mata yang terjun bebas ke dataran rendah sekitar pegunungan. Sehingga penyair akan menangkap banyak kode rasa yang dapat ditulis. Setara dengan ‘laut’, dekat kaitannya dengan pemandangan gelombang yang pasang surut, kapal-kapal berlayar berpapasan dengan kapal yang bersandar ke dermaga, serta pandangan mata yang terasa menyentuh kaki langit. Lain hal dengan ‘batu’ serta ‘rumput’ yang mengalihkan pandangan yang luas ke ruang yang jauh lebih sempit. Karena keduanya adalah benda kecil. Meski benda kecil dan menyita pandangan, di tangan penyair akan sanggup dijadikan dunia lain yang mungkin saja jauh lebih luas dari dunia yang sebenarnya.

Begitulah cerdasnya S. Iqram memilih diksi yang sanggup menjadi simbol sederhana dengan kedalaman yang tidak sederhana. Pada larik selanjutnya tersurat jelas kesangsian penyair mengenai keberadaan sesama penyair, bahwa tidak akan habis kata meski semua kata telah ditulis: “aku tidak akan bertanya apa lagi kalian tinggalkan untukku/kerana aku percaya,//biarpun kalian habis menulis semuanya,/pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan/dari sisa kata kalian,” Bagaimana bisa begitu? Sedangkan jika ‘kata’ sudah dipakai semua bagian mana yang tersisa? Yang harus digarisbawahi sebagaimana pemaparan saya sebelumnya, tidak ada satu manusiapun yang sanggup melepaskan diri dari pengaruh orang-orang terdahulu. Tetapi kejujuran tentang keterpengaruhan terkadang diselubungi kabut tebal dan hitam. Demi menyatakan bahwa benar orisinalitas itu ada, padahal sejauh pengamatan saya, hanya ranah eksplorasi yang dapat dibajak dan diolah. Dari eksplorasi itulah lahir seoarang Chairil Anwar dengan karya-karya yang tegas berlatar bohemian. Meski telah berhasil mengakhiri kejayaan Pujangga Baru puisi-puisi Chairil Awar tetap memiliki aroma Amir Hamzah. Atau Abduh Hadi WM dalam puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang dianggap sebagai pencapaian karyanya yang tertinggi, ternyata memiliki keterpengaaruhan yang sangat kuat dari karya Chairil Anwar “Lagu Siul”. Baca kedua puisi ini:

1.    Tuhan, Kita Begitu Dekat

                   Tuhan
                   Kita begitu dekat
                   Sebagai api dengan panas
                   Aku panas dalam apimu

                   Tuhan
                   Kita begitu dekat
                   Seperti kain dengan kapas
                   Aku kapas dalam kainmu

                   Tuhan
                   Kita begitu dekat
                   Seperti angin dan arahnya
                   Kita begitu dekat

                   Dalam gelap
                   Kini aku nyala
                   Pada lampu padammu

                   (Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin)

2.     LAGU SIUL

                   I
                   Laron pada mati
                   Terbakar pada sumbu lampu
                   Aku juga menemu
                   Ajal dicerlang caya matamu
                   Heran! Ini badan yang selama berjaga
                   Habis hangus di apimu
                   'Ku kayak tidak tahu saja.

                   II
                   Aku kira
                   Beginilah nanti jadinya:
                   Kau kawin, beranak dan bahagia
                   Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

                   Dikutuk-sumpahi Eros
                   Aku merangkaki dinding buta
                   Tak satu juga pintu terbuka.

                   Jadi baik kita padami
                   Unggunan api ini
                   Karena Kau tidak akan apa-apa
                   Aku terpanggang tinggal rangka.

                                                28 November 1945

Perhatikan larik dari puisi Abdul Hadi WM ini: “Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu” lalu bandingkan dengan larik puisi milik Chairil Anwar berikut ini: “Laron pada mati/Terbakar pada sumbu lampu/Aku juga menemu”. Keduanya memiliki nuansa yang sama. Selain itu ada proses yang tidak jauh berbeda.  Hanya kecerdasan Abdul Hadi WM dalam mengolah karya Chairil Anwar ini ada pada pengalihbentukan api. Jika Chairil Anwar menggunakan ‘laron’ sebagai sesuatu yang terbakar lalu dengan terbakarnya laron ada sesuatu hikmah kejadian yang ditemukan. Abdul Hadi WM menjadikan dirinya sebagai api yang membakar. Penyatuan wujud api dalam diri inilah yang menjadikan puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” dianggap sebagai puisi sufistik dan si penyair dianggap penyair sekaligus filsul (Saya tidak setuju jika penyair yang membuat puisi religi langsung dibai’at sebagai filsuf. Terlalu tergesa-gesa!).

Teknik pengalihbentukan itu juga dilakukan pada bait terakhir, Abdul Hadi WM menulis: “Dalam gelap/Kini aku nyala/Pada lampu padamMu” sedangkan puisi yang memberikan pengaruh ditulis begini: “Jadi baik kita padami/Unggunan api ini/Karena Kau tidak akan apa-apa/Aku terpanggang tinggal rangka.”  Menelisik dari sejarah kekaryaan itu, wajar saja jika S. Iqram yang merupakan penyair generasi setelahnya menulis: “pasti ada puisi yang masih tak sempat dituliskan/dari sisa kata kalian,” menekankan pada kemungkinan puitik dari sebuah kata. Sebab kata yang sama dapat diubah dengan cara yang berbeda.  Pada dua larik penutup, ada satu permintaan yang sebenarnya diberi atau tidak diberi tetap ia telah mendapatkan. Atau bisa jadi meminta atau tidak meminta ia telah memiliki. “maka berikan padaku selebihnya/nescaya berjuta puisi akan terus membiak!”

Dunia kekaryaan memang asyik dan mengelitik. Maka bagi yang ingin berkarya sambil tertawa atau sambil menangis keduanya adalah sah. Yang tidak sah adalah tidak berkarya tetapi banyak bicara. Atau berkarya lalu mengangung-agungkan karya sendiri seakan karyanya sudah sempurna. Saran saya untuk penyair semacam itu, sebaiknya berhenti menulis. Karena kesempurnaan memang akhir dari segala. Salam Merdeka Jiwa dan Badan!

Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon

Sumber https://www.facebook.com/notes/muhammad-rois-rinaldi/tak-pernah-selesai-penyair-dan-puisi/628708540513844
Selengkapnya: Tak Pernah Selesai: Penyair dan Puisi

Narasi dan Substansi

Tuesday 17 September 2013

Oleh Beni Setia

DALAM imajinasi Mashuri, puisi itu gentayangan dan berseliweran di luar serta di dalam dirinya, dan meski si penyair ingin menjelma-kannya dalam teks, puisi itu tak pernah mau dihadirkan. Kecuali batin si penyair digetarkannya, karena pada dasarnya substansi (puisi) itu sendiri akan merasuki kepekaan penyair terpilih, yang dipilih buat mengongkritkan sosoknya. Persis seperti dikatakannya pada "Pengakuan Penyair Jadi-jadian", kata pengantar bagi kumpulan puisi terbarunya, Munajat Buaya Darat-Gress Publishing, Yogya, 2013. Kumpulan 63 puisi dalam 3 tangkahan a 21 puisi.

    Bagi Mashuri, puisi itu abadi dan bersigentayangan sebagai ide yang menunggu dikongkritkan, sekaligus ide (puisi) itu memilih orang tertentu-dan waktu yang pas-sebelum ada tampil sebagai puisi kongkrit. Satu pertelaan tentang yang universalistik, dan bagaimana proses emanasi menghadirkan yang mutlak itu sebagai yang riil, khas, dan partikularistik tergantung dari siapa yang terpilih buat mesirumuskannya jadi teks. Karena itu, meski berpuisi itu asyik, malah membuat seorang penyair kecanduan, apa yang hadir ditersuratkan tergantung dari si yang di luar kehendak (penyair).

    Persis seperti yang dinyatakannya di dalam pengantar, bahwa berpuisi itu murni kenikmatan tranced berpuisi, tanpa dibebani tendensi atau konsekuensi romantik dari (gaya) berpuisi macam itu. Alhasil ada suatu kegairahan dan sekaligus "tak mau tahu" bila kegairahan itu membuat yang lain terganggu. Dan mungkin dari kesadaran rumit serba kontroversial itu lahir idiom munajat buaya darat-di mana diksi munajat yang ilahiah bersua buaya darat yang duniawi serba rakus egoistik memangsa yang datang ke zona pendudukannya. Instink syahwati yang dikendalikan, karenanya si kegairahan menjadi sesuatu yang mengarah ke yang substanbsial, universal dan transendental. Di kasus puisi "Munajat Buaya Darat"- yang kemudian dijadikan judul buku-, itu merupakan narasi deskriptif tentang satu lokasi, proses kolonisasi, ekspresi lampah manusia, serta gugusan masa silam yang berkukuh disampirkan sebagai identitas khas yang menuntut dilestarikan, meski si aku lirik lebih memilih identitas lain, nan aktual dan telah disucikan-Nya.

    Ada keretakan antara sosok yang universal dengan si beribu fenomena riil partikularik, sekaligus selalu lahir ketegangan antara yang trandensental sebagai asal dengan semua tampilan material tak terhingga dan diamati-atau disadari dalam diri setiap yang partikularistik.

    Ketegangan dan keretakan merupakan ihwal yang spontan ada, yang senantiasa hadir ketika Mashuri dirasuki ide menulis puisi dan puisi tertulis. Persis seperti yang ditandai Faruk, yang ditersuratkan ke dalam teks epilog berjudul "Lulur Kiai di Tubuh Berdaki", dengan menganalisis puisi "Tukang Potong".

    Satu puisi yang menampilkan tukang potong dan pelangganannya, sejarah kebersamaan mereka, dan bagaimana cara si tukang potong, dengan memberi cobaan-cobaan kecil, memaksa pelanggannya tetap terjaga agar ia tak lupa diri dan salah potong. Dengan kata lain, di dalam hidup ini kita harus selalu sadar dan mengajak-Nya bercakap.

    Dalam komparasi, dengan mengacu puisi Sapardi Djoko Damono, "Mata Pisau" Faruk menandai eksistensi pisau yang punya kehendak, sedang "Tukang Potong"-nya Mashuri diapresiasi sebagai bicara tentang eksistensi yang punya pelanggan dan pisau pembersih yang bisa menghukum. Ada yang substansial dan yang partikuler, ada yang beremanasi menjadi tukang cukur bagi si pelangggan yang dilayani-Nya dengan pisau cukur, yang bisa membersihkan dan menghukum kalau pelanggan tak mau menyadari kehadiran tukang cukur-fenomena material dari yang substansial. Fenomena keretakan dan ketegangan yang amat sempurna. Keretakan saat yang transendental, yang substansial, sang causa prima itu terpaksa mensidelegasikan diri, sehingga ujud degradatif aktual materialistiknya bisa diapresiasi ciptaan. Ketegangan ketika yang diciptakan itu memiliki aspek spiritual yang selalu menariknya pada yang transendental, serta diliputi yang materialistik selalu ingin dipuaskan hal-hal duniawi.

    Keretakan dan ketegangan antara naluri munajat dengan instink buaya darat. Sesuatu yang terus bersigentoyongan, sosok puisi yang menghantui kesadaran Mashuri.

    Ambil puisi "Mantram Kolam", yang bercerita tentang kesadaran ruh akan ujud materialistik dari diri yang hancur, tapir ruh itu terlanjur tertanam di dalam kejatuhan, karenanya tak kuasa menyadari dan mengembangkan instink pada yang transendental. Atau puisi "Rol", yang bercerita tentang gairah kolonisasi dan penguasaan, yang jadi kesia-sian karena hidup tak mungkin hanya berorientasi pada yang material duniawi-melupakan instink akan yang transendental dan usaha untuk merekonstruksi arus balik emanasi ke titik awal dan zat utama Causa Prima.

    Bahkan puisi "Patigeni" bercerita tentang seseorang yang suntuk dengan instink transendental, menyepi dan mengasingkan diri, tapi cuma bertemu dengan ketenangan mempercayai-Nya, mengimani-Nya, tanpa ia bisa bertemu dengan Sang Causa Prima, karena dirinya masih terkurung waktu hidup, ada di dunia berbalut yang materialstik- terlahir untuk menuntaskan fenomena partikularistik.

    Suatu sodoran rumit yang selalu dihadirkan dalam sosok puisi yang naratif. Bertutur. Dan dari tuturan dan sosok yang dituturkan itu kita diajaknya melaung tinggi agar bisa mengenali yang universal-Sang Causa Prima-agar tak terbebani dan kelelap dalam alam materialistik benda-benda.

    Sederhana sekali. Meski ketika (kita) tidak bisa mengenali tuturan dan apa yang dituturkannya akan kesulitan sampai pada arus balik transendental yang disidedahkan Mashuri. Kira-kira.
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 21 September 2013
Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/09/narasi-dan-substansi.html
Selengkapnya: Narasi dan Substansi

Resensi Malam Sekopi Sunyi; Puisi Tentang Kopi dan Malam oleh Yuditeha di Solopos, edisi 08 September 2013

Sunday 8 September 2013

Puisi Tentang Kopi dan Malam

Judul : Malam Sekopi Sunyi (Kumpulan Puisi)
Penulis : Ekohm Abiyasa
Penerbit : Mozaik Indie Publisher, Malang
Cetakan/tahun : I/2013
Halaman : 90 halaman

Yuditeha, 
Aktif di Sastra Alit Surakarta

Postingan serupa di Malam Sekopi Sunyi.

Selengkapnya: Resensi Malam Sekopi Sunyi; Puisi Tentang Kopi dan Malam oleh Yuditeha di Solopos, edisi 08 September 2013

(Esai) Sastra Kelautan di Tengah Materialisasi Budaya oleh Riki Dhamparan Putra

Friday 6 September 2013

Senin, 25 Agustus 2013 | BP

Sekapur Sirihpinang dari Loteng

Sastra Kelautan di Tengah Materialisasi Budaya

SETELAH KUPANG yang terasa makin bergairah beberapa tahun belakangan, kini matahari sastra mulai bersinar di Flores Timur. Itulah yang bisa dikatakan selepas mengikuti Temu Sastrawan Indonesia Timur (TSIT) selama tiga hari di Larantuka, 8 – 10 Juni 2013 lalu. Seperti judulnya, kegiatan ini memang dimaksudkan untuk menjdi ajang sharing dan silaturahmi kalangan sastra yang berdiam di kawasan Indonesia bagian Timur. Sayang sekali karena keterbatasan anggaran, panitia hanya sanggup mendatangkan para peserta yang berdomisili di propinsi NTT (Kupang, Manggarai, Ende, Adonara, Larantuka, dan Maumere). Walaupun demikian para peserta rata-rata menyatakan sangat gairah mengikuti pertemuan ini hingga akhir acara.

Sesuai tema acara ‘’Menggali Akar Tradisi Maritim Sebagai Lokus Sastra Indonesia Timur’’, soal-soal yang dibahas memang terkonsentrasi pada upaya pengenalan dan penggalian khazanah kelautan. Menurut Bara Pattyradja, aktivis Lembaga Sastra Timur Matahari yang menjadi pelaksana kegiatan ini, aspek maritime selama ini masih belum banyak dieksplorasi ke dalam karya-karya para penulis di NTT. Padahal, katanya, baik geografi dan budayanya, NTT merupakan wilayah yang didominasi lautan. Selain itu, ia melihat masalah-masalah sastra di kawasan ini pun mempunyai karakter sendiri yang membedakannya dengan masalah-masalah kesastraan di wilayah lain. Untuk itulah, ia bersama sejumlah jaringan komunitas sastra di Flores mencoba membuka ruang dialog bagi melakukan identifikasi terhadap persoalan-persoalan sastra yang terkait isu maritime itu.

Tak keliru memang, tema kelautan sangat cocok untuk digali oleh kalangan penulis di NTT. Kawasan ini, selain memiliki keindahan lautan yang luar biasa, warisan-warisan budaya praneolitik, dan spesies-spesies kepulauan langka, memiliki pula sejumlah tradisi maritime yang unik. Yang turut membentu kekayaan bahasa, toleransi, dalam mindset budaya yang heterogen.

LATAR BELAKANG seperti itu, menurut penyair Yoseph Lagadoni Herin, yang tampil sebagai pembicara pada kegiatan tersebut, mendorong munculnya gagasan mitis mengenai ‘’Hari Jadi Bota Dewa’’ (nenek moyang pertama yang dilahirkan lautan) yang eksistensinya setara dengan ‘’Ile Jadi’’ (Nenek moyang dari gunung).

Budaya laut di Flores Timur mencakup hampir keseluruhan aspek kehidupan masyarakatnya. Meskipun diikat oleh satu nation yang disebut Lamaholot, aspek keberagaman yang tercermin dalam mitologi asal-usul, bahasa, sejarah dan ras masyarakat wilayah ini tak pupus sampai sekarang. Flores Timur, sesungguhnya adalah miniatur masyarakat global purbakala yang merepresentasikan persilangan berbagai ras, bahasa dan kebudayaan dunia yang telah memadu dalam suatu pergaulan budaya. Perpaduan itulah yang terekam dalam benang merah mitologi asal-usul tentang manusia gunung dan manusia lautan. Dalam konteks yang meliputi prasejarah dan sejarah itulah, gagasan untuk melirik kembali wahana kelautan perlu dirayakan. Mengutip pernyataan Radhar Panca Dahana yang juga menjadi pembicara pada kegiatan ini ‘’Sudah waktunya kita melepaskan ikatan imajinasi ‘daratan’ yang selama ini membelenggu pandangan kebudayaan kita…’’

SASTRA TAK SENDIRIAN dalam hal membangkitkan kesadaran kelautan ini. Belakangan, pemerintah (melalui program pariwisata) juga gencar mempromosikan Indonesia Timur ke dunia internasional melalui festival-festival berbasis kelautan atau budaya kelautan. Namun realitanya, festival-festival kelautan yang menghabiskan dana besar seperti Banda, Sail Komodo, festival Bunaken dan lain-lain festival itu, belum tentu berdampak positif bagi kebudayaan itu sendiri. Bahkan cenderung hanya menjadi proses materialisasi budaya. Dan pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk bersikap pragmatis terhadap warisan budaya mereka.

Dr. MARSEL ROBOT, pengajar dari UNDANA, pada kesempatan yang sama mengatakan, materialisasi dan pragmatisme budaya menjebak masyarakat dalam kepalsuan mental. Dalam proses materialisasi budaya itu, orang pada dasarnya tidak bekerja untuk kebudayaan. Melainkan menggunakan kebudayaan untuk memenuhi nafsu-nafsu material mereka. Itulah kenyataan tradisi kita. Sastra, katanya, berpeluang melakukan desakralisasi dan aktualisasi atas tradisi yang sudah dimaterialisasi itu.

PADA TAHAP INILAH SASTRA mengambil peran sebagai penyeimbang. Sastra yang dalam dirinya membawa watak batiniah dan kemampuan untuk mentransendensi gejala-gejala material akan melengkapi proses-proses budaya yang ada. Sehingga kebudayaan itu dapat berjalan pada koridornya sebagai haluan bagi masyarakat.

* Riki Dhamparan Putra

Sumber Bali Post
Selengkapnya: (Esai) Sastra Kelautan di Tengah Materialisasi Budaya oleh Riki Dhamparan Putra

Enam Puisi Ekohm Abiyasa di Minggu Pagi, edisi Minggu V Agustus 2013

Sunday 1 September 2013

Jalan Kaliurang; Merapi Membaca Puisi

seorang kawan berkabar padaku
tentang cerita keberhasilan menaklukkan merapi
sungguhkah?
aku terheran
sepertinya kamu berhasil menjadi gie
pada gunung yang lain
pada masa yang lain

seorang mahasiswa berjalan pada ketinggian
membawa mimpi-mimpi tersembunyi
kapan kau akan mendaki lagi?

aku akan menaburkan mimpi-mimpi
di kawah merapi
menanam puisi pada api
atau panas bumi

terbayang
wajah seorang pahlawan
mengasingkan diri
perlawanan pada kemunafikan
terbayang wajah itu penuh keramahan
membaca puisi-puisi
menguntai mimpi-mimpi
di alam keabadian

Jakal KM 13 Yogyakarta, 04 Agustus 2013


Jalan Kaliurang; Mata Kosong

mataku lekang bersama keras dan dingin rindu
tak pasti mengejar hari esok
menjejerkan jemari kemudian menghitungnya satu persatu
berharap jatuh hari baik
atau keberuntungan nasib
pada rapal jalan kaliurang

mataku sungguh nanar
malam menikam dan menghujam
melipat kenangan di ketiaknya
menggusur aroma kopi dan angkringan
di seberang jalan
para mahasiswa dari kota lain
bertabur berbaur
kuliner menjadi akur dengan liur

mataku benar kosong
mengkhatamkan semangat pada jelajah mimpi
sedikit yang terbawa dan kucatat di kertas maya
untuk kemudian kubaca saat senja nanti
sebagai hadiah kemenanganku berkelana

Jakal KM 13 Yogyakarta, 04 Agustus 2013


Jalan Kaliurang; Sepotong Dingin #1

sepotong dingin
dari malam kemarin
menjelujuri kedua mata dan kaki
kemana angin berhibak
selalu menyalak
memaksa berkawan dengan jaket tebal

sepotong cerita dari jalan dingin
kebekuan hanya sedikit celoteh dari deritamu yang lebih panjang
ratusan atau ribuan episode di lemari lubang hidungmu
; pengembara hujan yang jatuh cinta pada dingin
tersungkur jua pada getah hujan
embun sejenis kutub utara

sepotong dingin menamatkan rindu
yang telah terkeping beberapa bagian
larik manis digenggam supaya tidak kabur cerita-cerita
bakal sebuah memori

Jakal KM 13 Yogyakarta, 03 Agustus 2013


Jalan Kaliurang; Surat Emak

/1/
nak, kau ingin pergi kemana?
apakah kau yakin jalan yang kau putuskan?
konon banyak jalan berliku dan berkelok
kau harus hati-hati melewatinya
melangkah dengan do'a-do'a alami
yang terucap dari ibumu

/2/
mak, kau ingin menangis?
air matamu masih tertahan di tenggorokan
bahkan enggan keluar
di musim begini berloncatan debu-debu

mak, kau ingin belikan baju baru anakmu ini?
sudah lama bajuku lusuh bermain debu dan lumpur
tertawaan oleh para pendusta dan pencoleng
baju yang tersusun dari do'a-do'a emak

mak, tulus niatmu menjabarkan aljabar hidup
di dada anakmu ini
kelak aku menjadi bintang bersinar
seperti do'a-do'a emak

/3/
nak, kau pulanglah ke jalan ibumu
emak kangen wajah dan kehadiranmu nak
sehat-sehat selalu di tanah rantau
sampai kau beranak-pinak

/4/
mak, aku juga merindukanmu
sepetik napas yang emak tiupkan di hati
menegakkan kaki dan prinsipku
mak, lusa aku kembali

Jakal KM 13 Yogyakarta, 03 Agustus 2013


Pikiranku Terbang

pikiranku terbang
bersama angin waktu menuju tanah tak bernama
pada segunduk dagingmu yang mekar

pikiranku melayang
bersama halusinasi hujan yang menyergap sekujur tubuh dan senja
pada kepulangan selanjutnya, kita ngopi lagi dan berkelakar

Agustus 2013


Rumah dalam Gambar

aku membaca singgah pada rumah kayu berwarna cokelat tua
segepok kue dan rokok di atas meja
kau tawarkan kepadaku
aku tersenyum

seorang wanita di atas tempat tidur
berkelakar dengan seorang anak
menyingkap rahasia-rahasia yang kau sembunyikan
dari mulut waktu yang berjejalan mengunci mulutmu
kedua mataku tak mau beranjak dari kekosongan
kau mengeluarkan sepotong gambar dari saku baju
aku tersenyum

kau ceritakan sekilas mengenai gambar itu

ini rumah kita, kelak kita akan membuat rumah
berkoloni dan menjamur anak-anak kita, katamu

Agustus 2013
Selengkapnya: Enam Puisi Ekohm Abiyasa di Minggu Pagi, edisi Minggu V Agustus 2013

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas