Edisi : Minggu, 14 Juni 2009 , Hal.VIII
Puisi adalah perasaan dan pikiran yang diungkap penyair lewat kaidah puitika. Kaidah yang unsur dalam dan luar (struktur batin dan fisik) puisi. Unsur dalam menyangkut isi/makna, unsur luar berupa; kata, baris, bait, gaya bahasa dan lain-lain.
Di Barat, tempat tradisi tulis mapan secara kultural, puisi adalah karya sastra, yakni gagasan berbentuk tulisan dan bernilai keindahan. Maka, sosialisasi puisi cukup lewat teks tersebut. Jika orang ingin tahu puisi, cukup membaca karya itu. Tak perlu media selain huruf, ejaan dan simbol-simbol yang mengantarnya. Jadi, membaca puisi bersifat pribadi. Beda dengan kita, jika orang berkata akan membaca puisi, yang terbayang adalah pembaca puisi, panggung, lomba, penonton atau juri.
Sejalan dengan budaya lisan kita, baca puisi identik dengan pelisanan puisi plus efeknya. Jadi, ada penyampai (pembaca & tekniknya), bahan yang disampaikan (puisi), hingga tersaji (pertunjukan) dan penonton. Kadang dilengkapi unsur lain dari luar tubuh (sett, property, kostum, make up, lighting, sound system dan sebagainya).
Sepulang dari Amerika (1960), Rendra mempopulerkan poetry reading. Usai itu, baca puisi berkembang pesat. Namun jika ditelusur sejarah sastra (lisan) kita, hampir semua aktivitas kultural kita meletakkan pelisanan sebagai hal penting. Tradisi merapal mantra, berbalas pantun dan Bakaba (Minang), Sekeco (Nusa Tenggara), ”serah terima” berbahasa krama (Jawa), pelisanan Mahabarata dan Ramayana oleh dalang, tetembangan para ibu meninabobokkan anaknya dan lain-lain.
Tradisi itu menjadi roh pembacaan teks (puisi modern), meski teknik dan capaian estetik pelisanan karya lama beda dengan karya baru/modern. Maka wajar jika di samping menguat poetry reading, menguat pula teknik pelisanan berdasar spirit budaya lokal kita yang bereinkarnasi lewat para sastrawan. Misal, Ibrahim Satah, Hammid Jabbar, Sutardji Choulzum Bachri, D Zawawi Imron, Wiji Thukul, Gus Mus yang mampu melisankan puisi dengan khas. Teknik baca puisi mereka yang bersifat ”pribadi” lahir karena intensitas eksplorasi. Itu muncul bisa dari sastrawan yang kerap tampil di forum atau yang memiliki kemampuan seni peran (WS Rendra). Bisa juga dari penyair yang karyanya ”sulit” nampang di media cetak, lantas bermutasi ke ”media” lainnya.
Tengoklah Wiji Thukul yang cacat artikulasinya (tidak bisa mengucapkan ”r”) jadi modal penampilan. Hingga image-nya relevan dengan kritik sosialnya yang berlatar kampung. Ke-pelo-annya seakan mewakili masyarakat bawah; kadang naif, getir dan nekat. Berbekal penghayatan, sastrawan dan kiai kharismatik Gus Mus tak berteknik neka-neka selain membaca huruf, ejaan dan tanda dalam puisinya. Kejernihan wawasan dan ketenangan sikap jadi modal utamanya membaca puisi. Tak artifisial, tak meledak-ledak, namun tetap kontemplatif dan menggigit.
Ingat pula Ibrahim Satah dan Hammid Jabbar, yang berbau tutur Melayu. Atau Sutardji yang baca puisinya seekspresif pelafalan mantra. Juga D Zawawi Imron yang kerap terseret ke dialek Madura. Hingga puisi berlatar Madura-nya makin beraura. Pun Emha dengan gojekan ala pesantren. Kritik sosial puisinya berbalut guyonan khas santri, berteknik vokal guru ngaji atau pembaca Alquran ber-tajwid mumpuni. Penyair-penyair itu telah memperkaya teknik baca puisi sebagai pertunjukan. Apa yang mereka lakukan terasa ”lebih hidup”, menarik dan indah, serta sampai pesannya.
Ada pula penyair dengan teknik deklamasi; menghapal puisinya di panggung. Tahun 1990-an, Wijati (Tegal) dan Sitok Srengenge (Jakarta) intens melakukannya. Deklamasi berarti ”declamare” atau ”declaim” (bahasa Latin), artinya membawa makna. Secara umum berarti membaca karya sastra berbentuk puisi dengan lagu dan gerak tubuh. Istilah itu dikenal di Indonesia sejak 1950. Orang yang melakukan disebut ”deklamator” (laki-laki) dan ”deklamatris” (perempuan).
Festival & baca puisi
Belakangan, sejumlah festival sastra di luar negeri menjadikan baca puisi sebagai menu penting, bahkan jadi kekhasan festival. Misal, Wetklang Berlin Festival, Letras Del Mundo Mexico Festival, Festival Puisi Dubai 2009 dan masih banyak lagi.
Sebaliknya, banyak festival kita menganggap baca puisi sekadar pelengkap atau menjadi jeda acara. Seusai diskusi seharian, malam jeda hiburan, penyair baca puisi. Tengoklah Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Festival Puisi International (Jakarta & Palembang, 2006), Festival Puisi Nasional (Yogyakarta, 2007), Temu Sastrawan Indonesia (Jambi, 2008). Padahal, baca puisi penyair kerap diminati daripada diskusi. Bahkan, walau dipajang buku untuk diperjualbelikan, masyarakat lebih sreg menikmati puisi lewat pembacaan. Hingga, minat baca kepada puisi lemah, meski tinggi minat lihat baca puisi.
Di luar negeri, eksplorasi ”baca puisi” mulai mempengaruhi format dan ciri festival. Internationales Literaturfestival Bremen, misalnya, menyediakan aktor sebagai pembaca terjemahan puisi penyair yang diundang. Mereka menyediakan pemusik (mitra kolaborasi) bagi penyair, sound system dan artistik yang dipersiapkan matang.
Di negeri kita, ada memang festival menyajikan baca puisi sebagai pertunjukan, contohnya Festival Seni Surabaya, Revitalisasi Budaya Melayu (Tanjung Pinang), Festival Sastra Kelautan VII (Barru, Sulawesi Selatan). Namun, rata-rata festival kian menjauhi seni baca puisi. Seni yang berpotensi jadi media sosialisasi ketimbang puisi (teks) itu sendiri. Seni yang terbukti bisa jadi ekspresi kultural kita. Seni yang mampu survive bermutasi!
*) Sosiawan Leak
(Penyair & Teaterawan)
Puisi adalah perasaan dan pikiran yang diungkap penyair lewat kaidah puitika. Kaidah yang unsur dalam dan luar (struktur batin dan fisik) puisi. Unsur dalam menyangkut isi/makna, unsur luar berupa; kata, baris, bait, gaya bahasa dan lain-lain.
Di Barat, tempat tradisi tulis mapan secara kultural, puisi adalah karya sastra, yakni gagasan berbentuk tulisan dan bernilai keindahan. Maka, sosialisasi puisi cukup lewat teks tersebut. Jika orang ingin tahu puisi, cukup membaca karya itu. Tak perlu media selain huruf, ejaan dan simbol-simbol yang mengantarnya. Jadi, membaca puisi bersifat pribadi. Beda dengan kita, jika orang berkata akan membaca puisi, yang terbayang adalah pembaca puisi, panggung, lomba, penonton atau juri.
Sejalan dengan budaya lisan kita, baca puisi identik dengan pelisanan puisi plus efeknya. Jadi, ada penyampai (pembaca & tekniknya), bahan yang disampaikan (puisi), hingga tersaji (pertunjukan) dan penonton. Kadang dilengkapi unsur lain dari luar tubuh (sett, property, kostum, make up, lighting, sound system dan sebagainya).
Sepulang dari Amerika (1960), Rendra mempopulerkan poetry reading. Usai itu, baca puisi berkembang pesat. Namun jika ditelusur sejarah sastra (lisan) kita, hampir semua aktivitas kultural kita meletakkan pelisanan sebagai hal penting. Tradisi merapal mantra, berbalas pantun dan Bakaba (Minang), Sekeco (Nusa Tenggara), ”serah terima” berbahasa krama (Jawa), pelisanan Mahabarata dan Ramayana oleh dalang, tetembangan para ibu meninabobokkan anaknya dan lain-lain.
Tradisi itu menjadi roh pembacaan teks (puisi modern), meski teknik dan capaian estetik pelisanan karya lama beda dengan karya baru/modern. Maka wajar jika di samping menguat poetry reading, menguat pula teknik pelisanan berdasar spirit budaya lokal kita yang bereinkarnasi lewat para sastrawan. Misal, Ibrahim Satah, Hammid Jabbar, Sutardji Choulzum Bachri, D Zawawi Imron, Wiji Thukul, Gus Mus yang mampu melisankan puisi dengan khas. Teknik baca puisi mereka yang bersifat ”pribadi” lahir karena intensitas eksplorasi. Itu muncul bisa dari sastrawan yang kerap tampil di forum atau yang memiliki kemampuan seni peran (WS Rendra). Bisa juga dari penyair yang karyanya ”sulit” nampang di media cetak, lantas bermutasi ke ”media” lainnya.
Tengoklah Wiji Thukul yang cacat artikulasinya (tidak bisa mengucapkan ”r”) jadi modal penampilan. Hingga image-nya relevan dengan kritik sosialnya yang berlatar kampung. Ke-pelo-annya seakan mewakili masyarakat bawah; kadang naif, getir dan nekat. Berbekal penghayatan, sastrawan dan kiai kharismatik Gus Mus tak berteknik neka-neka selain membaca huruf, ejaan dan tanda dalam puisinya. Kejernihan wawasan dan ketenangan sikap jadi modal utamanya membaca puisi. Tak artifisial, tak meledak-ledak, namun tetap kontemplatif dan menggigit.
Ingat pula Ibrahim Satah dan Hammid Jabbar, yang berbau tutur Melayu. Atau Sutardji yang baca puisinya seekspresif pelafalan mantra. Juga D Zawawi Imron yang kerap terseret ke dialek Madura. Hingga puisi berlatar Madura-nya makin beraura. Pun Emha dengan gojekan ala pesantren. Kritik sosial puisinya berbalut guyonan khas santri, berteknik vokal guru ngaji atau pembaca Alquran ber-tajwid mumpuni. Penyair-penyair itu telah memperkaya teknik baca puisi sebagai pertunjukan. Apa yang mereka lakukan terasa ”lebih hidup”, menarik dan indah, serta sampai pesannya.
Ada pula penyair dengan teknik deklamasi; menghapal puisinya di panggung. Tahun 1990-an, Wijati (Tegal) dan Sitok Srengenge (Jakarta) intens melakukannya. Deklamasi berarti ”declamare” atau ”declaim” (bahasa Latin), artinya membawa makna. Secara umum berarti membaca karya sastra berbentuk puisi dengan lagu dan gerak tubuh. Istilah itu dikenal di Indonesia sejak 1950. Orang yang melakukan disebut ”deklamator” (laki-laki) dan ”deklamatris” (perempuan).
Festival & baca puisi
Belakangan, sejumlah festival sastra di luar negeri menjadikan baca puisi sebagai menu penting, bahkan jadi kekhasan festival. Misal, Wetklang Berlin Festival, Letras Del Mundo Mexico Festival, Festival Puisi Dubai 2009 dan masih banyak lagi.
Sebaliknya, banyak festival kita menganggap baca puisi sekadar pelengkap atau menjadi jeda acara. Seusai diskusi seharian, malam jeda hiburan, penyair baca puisi. Tengoklah Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Festival Puisi International (Jakarta & Palembang, 2006), Festival Puisi Nasional (Yogyakarta, 2007), Temu Sastrawan Indonesia (Jambi, 2008). Padahal, baca puisi penyair kerap diminati daripada diskusi. Bahkan, walau dipajang buku untuk diperjualbelikan, masyarakat lebih sreg menikmati puisi lewat pembacaan. Hingga, minat baca kepada puisi lemah, meski tinggi minat lihat baca puisi.
Di luar negeri, eksplorasi ”baca puisi” mulai mempengaruhi format dan ciri festival. Internationales Literaturfestival Bremen, misalnya, menyediakan aktor sebagai pembaca terjemahan puisi penyair yang diundang. Mereka menyediakan pemusik (mitra kolaborasi) bagi penyair, sound system dan artistik yang dipersiapkan matang.
Di negeri kita, ada memang festival menyajikan baca puisi sebagai pertunjukan, contohnya Festival Seni Surabaya, Revitalisasi Budaya Melayu (Tanjung Pinang), Festival Sastra Kelautan VII (Barru, Sulawesi Selatan). Namun, rata-rata festival kian menjauhi seni baca puisi. Seni yang berpotensi jadi media sosialisasi ketimbang puisi (teks) itu sendiri. Seni yang terbukti bisa jadi ekspresi kultural kita. Seni yang mampu survive bermutasi!
*) Sosiawan Leak
(Penyair & Teaterawan)
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)