Bandarlampung, Kompas
Historiografi sastra Indonesia masih minim, sehingga menyulitkan
peneliti yang terjun langsung untuk membuat peta yang aktual tentang
kepenyairan Indonesia modern. Sedang tingkat apresiasi masyarakat kita
terhadap karya sastra (puisi) masih rendah. Hal ini didukung dengan
pengajaran sastra di sekolah yang terkesan kaku dan siswa dibekali
teori-teori usang.
Hal itu terungkap dalam diskusi sastra Temu Penyair
Sumatera-Jawa-Bali, di Taman Budaya Lampung, Sabtu dan Minggu (25/8),
dengan pembicara sastrawan Korrie Layun Rampan dan guru SMU 3
Tanjungkarang, Sutjipto. Pembicara lain Agus R Sardjono dan Afrizal
Malna. Diskusi dihadiri sedikitnya 60 penyair, antara lain Yvonne de
Fretes, Yusrizal KW, Gus tf, Fakhrunnas MA Jabbar, Dasri al-Mubary, EM
Yogiswara, T Wijaya, Acep Syahril, dan Isbedy Setiawan ZS.
Peta
Menurut Korrie, untuk dapat merekonstruksi peta kepenyairan Indonesia
mutakhir, tidak mungkin hanya meneliti dari sumber-sumber formal
terbitan Jakarta, terutama - dan ini yang lebih banyak - menyauknya
(mencedok) dari sumber asli. Sumber-sumber asli ini bersebaran di
kantung-kantung budaya yang ada di sejumlah kota.
"Kesulitan utama bagi peneliti yang terjun langsung untuk membuat peta
aktual tentang kepenyairan Indonesia modern adalah pada keterbatasan
bahan. Bagi pemerhati yang tidak mengikuti pertumbuhan dan
perkembangan puisi Indonesia secara kontinyu akan tertumbuk pada
luasnya wilayah kantung budaya dan banyaknya penyair yang muncul di
situ," ungkapnya.
Korrie menjelaskan, sudah seharusnya muncul lanjutan kritik sastra dan
penulisan sastra yang komprehensif serta antologi yang memuat
data-data yang aktual. Namun hingga kini penulisan dan publikasi
semacam itu tampaknya mengalami banyak kendala karena menyangkut
berbagai faktor di luar karya sastra itu sendiri.
"Kantung-kantung budaya di daerah dewasa ini lebih menekankan
penulisan kreatif ketimbang merekam karya-karya kreatif itu dalam
suatu dokumen historiografi sastra," tandasnya.
Teori usang
Sementara itu, Sutjipto mengemukakan, rendahnya tingkat apresiasi
masyarakat terhadap karya sastra dewasa ini karena pengajaran sastra
di sekolah masih kaku, monoton dan mengajarkan teori-teori yang telah
usang. Guru yang mengajarkan sastra pun kurang profesional, bahkan
banyak yang tidak mampu.
"Untuk mengembangkan dan membina daya apresiasi siswa, guru hendaknya
mengajarkan puisi, bukan tentang (teori) puisi. Puisi adalah karya
yang digali dari sumber kehidupan. Maka pembelajarannya harus
dikembalikan kepada realitas kehidupan," katanya.
Menanggapi Sutjipto, sejumlah penyair mengatakan pentingnya disusun
buku yang memuat dan menjelaskan karya-karya sastra terbaru dan sesuai
perkembangan zaman, sehingga kemampuan apresiasi sastra siswa tidak
hanya terbatas pada karya-karya penyair angkatan 45, angkatan 66 dan
sebagainya.
"Kalau perlu, dalam pengajaran sastra di sekolah, diputar rekaman para
penyair baca puisi. Atau para penyairnya diundang langsung berdialog
dengan siswa," tutur Yvonne de Fretes.
Ungkapan moral
Gubernur Lampung, Poedjono Pranyoto, dalam sambutannya mengatakan,
para penyair harus mau mebuka diri dalam pergaulan sosial untuk
memasyarakatkan hasil karyanya. Puisi-puisi yang diciptakan penyair
adalah bagian dari upaya mencerdaskan dan memajukan bangsa.
"Saya teringat ucapan John F Kennedy, kalau politik itu kotor, maka
puisilah yang membersihkannya. Ungkapan itu mengandung keluhuran puisi
sebagai bentuk ungkapan moral," kata Poedjono.
Karena itu, untuk menjaga keluhuran esensi puisi, para penyair
hendaknya menciptakan karya puisi yang mampu memberi pencerahan bagi
masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara, bukan sebaliknya
justru memperkeruh suasana. (nal)
Sumber: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/08/26/0040.html
Twitter + Facebook
Ruang Arsip
-
►
2015
(26)
- April 2015 (6)
- March 2015 (8)
- February 2015 (8)
- January 2015 (4)
-
▼
2014
(93)
- December 2014 (2)
- October 2014 (4)
- September 2014 (1)
- August 2014 (6)
- July 2014 (9)
- June 2014 (7)
- May 2014 (4)
- April 2014 (15)
- March 2014 (6)
- February 2014 (13)
- January 2014 (26)
-
►
2013
(126)
- December 2013 (8)
- November 2013 (4)
- October 2013 (11)
- September 2013 (7)
- August 2013 (6)
- July 2013 (12)
- June 2013 (32)
- May 2013 (19)
- April 2013 (2)
- March 2013 (13)
- February 2013 (4)
- January 2013 (8)
-
►
2012
(294)
- December 2012 (18)
- November 2012 (48)
- October 2012 (117)
- September 2012 (2)
- August 2012 (1)
- July 2012 (1)
- June 2012 (3)
- May 2012 (5)
- April 2012 (42)
- March 2012 (24)
- February 2012 (5)
- January 2012 (28)
-
►
2011
(18)
- December 2011 (5)
- November 2011 (2)
- October 2011 (7)
- September 2011 (2)
- May 2011 (2)
-
►
2010
(2)
- October 2010 (2)
-
►
2009
(9)
- December 2009 (1)
- May 2009 (1)
- March 2009 (5)
- January 2009 (2)
-
►
2008
(5)
- September 2008 (1)
- August 2008 (2)
- February 2008 (2)
-
►
2007
(4)
- December 2007 (4)
Ruang Sunyi
Ruang Pengunjung
Translate
Minim, Dokumen Historiografi Sastra
Thursday, 3 July 2014Diposkan oleh Unknown di 7/03/2014 11:59:00 pm
Label artikel sastra
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)