KISAH HB JASSIN & CHAIRIL ANWAR sebagaimana dituturkan sendiri oleh HB Jassin:
Chairil bukannya manusia yang tidak butuh uang. Suatu kali ia memang membutuhkannya. Lalu ia menerjemahkan sajak pujangga Tiongkok Hsu Chih-Mo, dengan judul Datang Dara Hilang Dara. Dan dicantumkannya namanya sendiri. Dan inilah yang membawa kami pada suatu perkelahian. Saat itu tahun 1949, saya sedang bermain sandiwara di Gedung Kesenian Jakarta. Di belakang layar, saya duduk dan mencoba memasuki sebuah peran. Malam itu saya bukan Jassin. Saya adalah seorang mantri yang bekerja pada seorang apoteker. Rosihan Anwar yang berperan sebagai apoteker itu menyimpan keinginan untuk menghancurkan musuh dengan alat peledak penemuannya. Dan saya, dalam peran itu, mengetahui rahasia ini. Tapi saya tak boleh membuka mulut. Ini semua sudah diatur dalam lakon Api karya Usmar Ismail yang juga menyutradarai sandiwara ini.
Sementara saya duduk meresapi peran itu, tapi hei, kenapa si kurus itu lalu-lalang di muka saya? “Hmh . . . ,” dia mencibir. Dan segera berkelebat ingatan saya pada tulisan terakhir saya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran dan Plagiat. Dan saya segera tahu arti cibiran itu. Meski saya membela Krawang-Bekasi, tak pelak Chairil merasa tersindir dengan tulisan saya itu. “Kamu cuma bisa menyindir saja! Tak ada yang lain!” teriaknya. Saat itu saya sudah telanjur menghayati tokoh mantri yang tertekan. Dan hati saya jadi panas. “Saya juga bisa lebih dari itu!” kata saya. Dan buktinya . . . buk! Saya tumbuk dia. Tubuh kurus itu terpelanting. Orang-orang berkerumun. “Ada apa?” teriak Usmar Ismail. Dan layar siap terangkat. “Jassin memukul Chairil,” teriak yang lain.
Chairil bukannya manusia yang tidak butuh uang. Suatu kali ia memang membutuhkannya. Lalu ia menerjemahkan sajak pujangga Tiongkok Hsu Chih-Mo, dengan judul Datang Dara Hilang Dara. Dan dicantumkannya namanya sendiri. Dan inilah yang membawa kami pada suatu perkelahian. Saat itu tahun 1949, saya sedang bermain sandiwara di Gedung Kesenian Jakarta. Di belakang layar, saya duduk dan mencoba memasuki sebuah peran. Malam itu saya bukan Jassin. Saya adalah seorang mantri yang bekerja pada seorang apoteker. Rosihan Anwar yang berperan sebagai apoteker itu menyimpan keinginan untuk menghancurkan musuh dengan alat peledak penemuannya. Dan saya, dalam peran itu, mengetahui rahasia ini. Tapi saya tak boleh membuka mulut. Ini semua sudah diatur dalam lakon Api karya Usmar Ismail yang juga menyutradarai sandiwara ini.
Sementara saya duduk meresapi peran itu, tapi hei, kenapa si kurus itu lalu-lalang di muka saya? “Hmh . . . ,” dia mencibir. Dan segera berkelebat ingatan saya pada tulisan terakhir saya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran dan Plagiat. Dan saya segera tahu arti cibiran itu. Meski saya membela Krawang-Bekasi, tak pelak Chairil merasa tersindir dengan tulisan saya itu. “Kamu cuma bisa menyindir saja! Tak ada yang lain!” teriaknya. Saat itu saya sudah telanjur menghayati tokoh mantri yang tertekan. Dan hati saya jadi panas. “Saya juga bisa lebih dari itu!” kata saya. Dan buktinya . . . buk! Saya tumbuk dia. Tubuh kurus itu terpelanting. Orang-orang berkerumun. “Ada apa?” teriak Usmar Ismail. Dan layar siap terangkat. “Jassin memukul Chairil,” teriak yang lain.
Sumber Kosakatakita Penerbit
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)