Oleh I Ketut Suweca
Mari
kita tengok seorang balita yang sedang belajar berjalan. Ia tak
langsung bisa berjalan seperti orang dewasa, bukan? Dia mungkin akan
mulai dari belajar merangkak. Dia mencoba menyeimbangkan kedua kakinya
saat bergerak. Setelah bisa merangkak, sedikit demi sedikit ia mencoba
berdiri. Setiap kali mencoba berdiri, ia jatuh. Pantatnya berkali-kali
terhempas ke lantai. Tapi, ia bangun lagi setiap kali terjatuh. Usaha
yang berulangkali dari hari ke hari membuatnya bisa berdiri pada
akhirnya. Tak puas hanya sekedar berdiri. Kali ini tiba saatnya mulai
belajar melangkah. Dia pun mencoba melangkahkan kakinya satu satu.
Pelan-pelan sekali. Badannya oleng dan ia pun jatuh. Begitu
terus-menerus terjadi sampai akhirnya balita tadi benar-benar mampu
melangkah dengan cukup sempurna. Senyum manis dan tawa kecil melengkapi
kemenangannya!
Ketika menginjak
sekolah dasar, mari kita lihat lagi anak ini belajar naik sepeda gayung.
Mula-mula ia belajar menuntun sepedanya di gang kecil di depan rumah.
Setelah itu, dia mencoba menaiki sepeda itu dan menggayungnya, dan belum
berhasil. Dia jatuh berkali-kali. Beberapa kali lutut dan sikunya lecet
lantaran berbenturan dengan permukaan beton di gang tempatnya berlatih.
Latihan itu dilakukannya berulang-ulang tanpa putuas asa. Dan, apa
hasilnya? Akhirnya ia berteriak gembira: “Aku bisa. Pa, Ma, aku bisa
naik sepeda!”
Setelah si anak beranjak remaja, mari kita lihat bagaimana ia yang
belajar berenang. Ia tidak belajar berenang dari buku-buku tentang
teknik berenang. Dia langsung saja terjun ke air kolam yang cukup
dangkal. Lalu, ia pun mencoba menggerak-gerakkan tangan dan kakinya.
Berkali-kali dicoba, tapi belum berhasil. Tanpa pernah bosan, ia
berlatih terus-menerus. Dan, akhirnya, suatu hari kemudian, remaja kita
ini bisa berenang! “Horee, saya berhasil,” teriaknya yang didengar
teman-teman seusianya. Ia tersenyum, manis sekali.
Apa kaitan cerita itu dengan aktivitas menulis? Jika ingin menjadi
penulis, maka kita pantas belajar dari anak tersebut. Bagaimana ia
belajar berjalan ketika masih balita, lalu belajar bersepeda ketika
kanak-kanak, dan belajar berenang tatkala remaja. Hikmah yang dapat kita
petik: perlunya latihan dan latihan. Kalau orang ingin menjadi penulis
andal, tentu diperlukan kesediaan berlatih menulis secara terus-menerus.
Tak bisa lain. Membaca buku-buku teknik menulis, walaupun perlu, tapi
bakal tak banyak gunanya kalau kita tak kunjung menggoreskan tinta pena
di atas kertas atau kalau kita tak mau membuat jemari kita ‘menari’ di
atas tuts komputer.
Menulis adalah pekerjaan melakukan, pekerjaan ‘action’. Jadi, tulis
saja yang ingin ditulis. Apa itu dimaksudkan untuk sekedar mengeluarkan
unek-unek di selembar kertas kecil, mengisi buku harian, mengisi blog,
atau membuat artikel. Cita-cita menjadi penulis tak akan pernah tercapai
kalau kita tak pernah menghasilkan tulisan. Mimpi menjadi penulis saja
tak cukup. Yang lebih penting: berani mewujudkan mimpi tersebut menjadi
kenyataan. Untuk ini, tiada pilihan lain selain menulis dan menulis
tanpa pernah berhenti. Kalau hasilnya belum sempurna, tak mengapa.
Masih ada waktu untuk memperbaiki. Teruslah menulis dan menulislah
terus.
Bagaimana pendapat Anda? Salam.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)