Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau
Elmustian Rahman
BERKENALAN dengan
Pak Jumat 2 Februari 1994, lebih dari 15 tahun yang lalu, berlangsung
akrab. Penutur kayat ini cacat penglihatan sejak lahir. Mempunyai tiga
saudara, kakak sulungnya meninggal sewaktu masih kecil, sedangkan
adiknya seorang guru sekolah dasar. Saya, Ian van der Putten dari
Leiden, dan beberapa rekan dosen dari Manado, Malang, dan Padang,
bertamu ke rumahnya di kampung Kopah, Rantau Kuantan. Ia menyambut
hangat bersama keluarganya. Isterinya menyuguhkan teh hangat. Pak Jumat
bercerita tentang kayat.
Dengan keadaannya yang cacat tersebut ia belajar kayat tanpa memikirkan apakah hasil pekerjaan tersebut akan mampu menyangga kehidupannya di masa depan. Pak Jumat menjelaskan gurunya juga mengajar kayat tanpa harus memikirkan masa depan. Keinginannya fokus, belajar kayat dan dapat mengekspresikan pikiran dan perasannya. Dia tidak hanya melagukan pantun (singer) dengan gaya khas Rantau Kuantan, tetapi juga belajar berdendang dengan menggunakan alat musik gendang. Kondisi fisiknya yang cacat juga mendorong Pak Jumat mempelajari dan menghayati kayat sepenuh hati.
Jika ia mendapat jemputan untuk berkayat maka Pak Jumat dan rekannya memenuhinya tanpa harus memikirkan ia akan memperoleh apa dari persembahannya itu. Manakala setelah ia tampil menjelang subuh di depan khalayak, Pak Jumat pulang ke rumah pada pagi harinya bersama teman-temannya, membawa lauk-pauk yang disisihkan oleh yang empunya hajatan. Ada juga kelapa, beras, dan keperluan lainnya yang ia bisa makan untuk beberapa hari ke depan. Namun, tidak semua pertunjukan membawa hasil seperti itu, ada pula yang hanya menjinjing tangan kosong. Sebaliknya, ada pula yang memberikan cukup untuk keperluan seminggu bahkan berbilang bulan. Tak ada ukuran standar mengenai upah jerih payah. Semuanya ada dalam rentang kendali: ketulusan dan keikhlasan. Dalam kaitan itu ungkapan lirik pantun kayat disebutkan dalam ukuran. “Lomak dek awak katuju pulo dek urang, lomak dek urang katuju pulo dek awak” (senang pada diri sendiri disukai pula oleh orang, sebaliknya senang oleh orang disukai pula oleh diri sendiri).
Bagaimanakah pembagian di antara mereka? Sepanjang yang dialami oleh Pak Jumat belum pernah terjadi pertelagahan di antara mereka. Kadang-kadang pemberian rezeki itu sudah diatur oleh empunya rumah (penjemput) atas dasar lomak dek awah katuju dek urang… pada kayat pantun di atas. Namun demikian, jika pemberian itu dirasa berlebih pada pertimbangan nurani mereka atas dasar berat ringan tugas dan tanggung jawab, maka mereka membagi ulang, seperti pada ungkapan “manimbang samo borek, manyukek samo ponuh, mambagi samo banyak”. Maka nyatalah bagi kita semangat akal budi dan kebersamaan di antara penutur kayat sangat dijunjung tinggi. Tidak ada pihak yang dikorban pun tidak pula ada pihak yang diuntungkan sesuka hati.
Pak Jumat tidak sendirian, ia didukung oleh teman-temannya, yaitu Pak Juman dan Pak Ramis. Dalam satu pertemuan awal, kedua orang ini menetapkan Pak Jumat sebagai pengetua (induk kayat). Alasannya menurut mereka, karena pak Jumat yang lebih mahir dalam memainkan alat serta proses penciptaan pantun yang cepat dan tepat. Dari tradisi sistem meritokrasi seperti itu maka dikenallah misalnya di Benai ada kumpulan kayat Adam, kayat Kirit, kayat Rostam, kayat Mail Silu, kayat Marjohan. Di Siberakun ada kumpulan Kayat Piri. Sementara itu, kayat Adil dan Adam yang konsisten dengan kayat porang yang sakral dan kayat pantun yang profan.2)
Ihwal Pertunjukan
Pada tahun 1980-an hingga 1990-an pertunjukan kayat ditampilkan dengan memakai alat musik tambahan, yaitu salung atau soluang (flute). Pemain musiknya dipanggil tukang soluang. Pada pertunjukkan tanggal 14 Januari 1994 tampil tiga orang seniman kayat, yaitu Jumat, Juman, dan Ramis. Yang disebutkan terakhir ini adalah tukang soluang. Ketiga orang seniman kayat ini memiliki latar belakang pendidikan, sosial, dan ekonomi yang berbeda. Waktu itu, Pak Jumat dan Pak Juman lebih kurang 56 tahun, sedangkan Pak Ramis lebih muda, berusia 40 tahun. Kondisi Pak Jumat yang tunanetra membuatnya tidak dapat mengenyam pendidikan formal dan kehidupan Pak Juman dan Pak Ramis cukup memadai. Sedangkan Pak Jumat dalam kondisi ekonomi tutup lubang gali lubang. Namun demikian, kepemimpinan dalam kayat tidak terhad pada kondisi sosial ekonomi mereka. Rupanya kemahiran, semangat, dan kejujuranlah yang memesona kumpulan kayat ini sebagai ukuran kepemimpinan.3)
Pak Juman menjadi penutur kayat sejak usia 35 tahun. Keahlian berkayat dipelajarinya dari dua orang guru yang bernama Sabihi dan Pakih Usih, dua orang pedagang yang dikaguminya karena kepandaian mereka berkayat hanya dalam waktu lima bulan. Setelah itu ia sudah dapat tampil di depan khalayaknya. Pak Juman seperti juga Pak Jumat mengatakan bahwa ia telah tampil di depan publik sejak tahun 1968.
Pak Juman dan Pak Ramis, pasangan tetap pak Jumat ketika masih hidup dulu memeroleh kepandaian berkayat dari guru yang berbeda. Persekutuan ketiga penutur kayat itu diawali dari informasi para tetangga yang mengatakan di kampung Tanjung Simandolak (kampung pak Juman) ada penutur kayat yang biasa dipanggil orang dalam acara perkawinan, selamatan, sunatan, syukuran, dan lain-lain. Ketiga penutur kayat itu bergabung sampai saat akhir riwayat hidup Pak Jumat. Mereka hidup saling bahu membahu, Senasib sepenanggungan, seaib semalu, setiap saat menyimpai persebatian.
Berkayat bagi pak Juman hanya sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan pak Juman menerapkan mata pencaharian tapak lapan. “Tapak Lapan” adalah sebutan khusus untuk menjelaskan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang Melayu di sepanjang empat sungai besar di Riau yang menunjukkan jenis pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga Melayu di Riau. Sumber pendapatan itu berasal dari pekerjaan (1) berladang (pertanian), (2) beternak (peternakan), (3) menangkap ikan (perikanan), (4) beniro (menetek enau dan kelapa), industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), (5) mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut (perhutanan), (6) berkebun tanaman keras atau tanaman tahunan (perkebunan), (7) bertukang, dan (8) berniaga (perdagangan).
Menurut Pak Juman yang tidak tamat sekolah rakyat ini, ia tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Biasanya manakala pagi ia berkebun, sorenya Pak Juman menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun ia mencari hasil hutan salah satu kegiatannya seperti beniro. Tujuannya adalah selain meragamkan (diversitifikasi) sumber pendapatan, juga merupakan strategi untuk menghadapi kegagalan atau krisis akibat dari hanya satu pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Jadi, Tapak Lapan ini dilakukan sebagai antisipasi pada saat krisis dan jaminan keberlangsungan hidup keluarga dan perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, nyata jugalah bagaimana masyarakat Rantau Kuantan arif dalam mengenali alam dan diri sendiri. Bahkan dengan alam pun mereka hadapi dengan akal budi. Alam adalah rahmat Allah yang harus dimanfaatkan, tetapi sebatas tidak menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem. Namun, di tengah gempuran pembangunan keindonesiaan di masa pertengahan hidup Pak Juman, ia hanya bekerja beternak dan berkebun saja.
Tukang soluang, pak Ramis, tinggal di sebuah kampung yang tidak jauh dari kampung pak Juman, yakni kampung Benai, sekitar 3 km dari Tanjung Simandolak. Pendidikan Pak Ramis sampai pada tingkat SLTP. Keahliannya bermain soluang yang berasal dari salah seorang pedagang. Ia belajar memainkan soluang sejak berusia 12 tahun. Keahliannya itu diperoleh lebih kurang selama satu tahun. Motivasi menekuni soluang semula hanya sebagai pengisi waktu luang, tetapi akhirnya menjadi pekerjaan yang penting dari kehidupannya. Pekerjaannya juga sama dengan Pak Juman.
Penutur kayat memiliki posisi yang cukup penting dalam masyarakatnya. Seorang penutur kayat sering memiliki jabatan yang berkaitan dengan agama di kampungnya, seperti lebai, bilal, atau imam di masjid atau surau. Ia semacam tempat bertanya juga sebagai primusinterpares dalam pengertian yang sederhana.
Proses Penciptaan
Menurut pak Jumat latihan adalah pertunjukan itu sendiri, tidak ada proses pemisahan yang ketat di antara kegiatan itu. Saat-saat seperti itu tidak ada pertelingkahan pendapat, baik kesadaran terhadap waktu berlatih maupun motivasi dan sangkil (efisiensi), mereka memahami dengan baik bergelut selagi pagi, melenggang selagi lapang. Mau dengan semangat, tahu dengan berilmu, dan berhemat cermat.
Dengan demikian, kayat bagi ketiga seniman ini dianggap sebagai sesuatu yang fungsional bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat pendukungnya.4) Dalam kaitan ini, penutur kayat merupakan fenomena yang amat menarik untuk dibicarakan. Seorang penutur kayat dapat menciptakan larik-larik teks kayat begitu lancar dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Larik-larik teks itu tidak diciptakan secara manasuka. Penciptaan larik-larik teks itu tunduk pada sejumlah ketentuan, seperti rima, panjang lirik, maupun pilihan kata (diksi). Hampir mustahil dapat dikatakan bahwa penutur kayat menghafal teks yang begitu panjang.5)
Satu persembahahan kayat dibawakan oleh sedikitnya dua orang. Pak Juman, misalnya selalu berduet dengan pak Jumat ketika beliau masih hidup. Duet ini cukup aktif dan paling serasi. Penutur kayat memainkan dua peranan sekaligus; sebagai pendendang (singer) sekaligus sebagai pemain musik. Dari proses penciptaan, Pak Jumat menciptakan sampiran pantun dan dilanjutkan Pak Juman menciptakan isi pantun. Dan dilakukan juga sebaliknya. Seterusnya diciptakan bersendirian atau bahkan berjawaban.
Dalam proses penciptaan teks kayat pantun, pengaruh khalayak terhadap penutur cerita sangat dominan, ini pada gilirannya, akan mempengaruhi teks kayat. Di samping itu, waktu yang tersedia dalam setiap kali pertunjukkan juga akan mempengaruhi panjang-pendeknya teks yang tercipta. Perubahan komposisi teks kayat akan selalu terjadi setiap kali ia dipertunjukkan. Dengan kata lain, setiap pertunjukan kayat adalah proses kreasi, bukan reproduksi. Setiap persembahan kayat pantun meski dibawakan oleh penutur cerita yang sama akan terjadi peristiwa penciptaan kembali, yaitu dengan mengadakan penyesuaian terhadap keadaan, tempat, khalayak, dan waktu yang tersedia.6)
Meminjam gambaran G. L. Koster (1997) perbedaan kayat pantun (nonnaratif) dan kayat porang (naratif), maka perbedaan itu dapat dilihat seperti bagan berikut:
Kayat Pantun Kayat Porang (Kayat Cerita)
penglipur fg faedah
dalang fg dagang
angan-angan fg kenyataan
kekuatan kelisanan fg kekuatan keberaksaraan
Keterangan:
= menunjukkan pada saling-kaitan
fg = menunjukkan oposisi.
Kayat dan Rantau Kuantan
Kayat adalah salah satu genre sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat Rantau Kuantan, Kampar, dan Rokan di Riau. Secara etimologis, kata “kayat” adalah pengucapan menurut bahasa Melayu Riau dialek Kuantan untuk kata hikayat. Kayat disampaikan dalam bentuk pantun oleh seorang tukang kayat. Pada mulanya kandungan kayat bernuansa Islam, tidak sekedar untuk hiburan, tetapi berisi pandangan dan perilaku hidup sehari-hari dan dibungkus dengan cerita-cerita tentang kepahlawanan Islam atau gambaran kehidupan sesudah mati.
Dalam makalah ini pertunjukan kayat dilakukan di sebuah rumah penduduk di kampung Benai, salah satu wilayah budaya Melayu Riau. Kampung Benai sendiri sudah cukup terbuka, dalam arti penduduknya sudah banyak mendapat kemajuan. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Informasi melalui media elektronik, seperti televisi berantene parabola dan radio di beberapa rumah sudah merupakan bagian yang tak asing lagi bagi penduduknya. Kampung Benai berjarak kira-kira 12 km dari Taluk Kuantan, ibukota kecamatan Kuantan Tengah yang terkenal dengan tradisi jalurnya, ke arah Barat, dan kira-kira 180 km ke arah Barat kota Pekanbaru, ibukota Propinsi Riau.
Masyarakat Rantau Kuantan penganut agama Islam. Islam secara signifikan mempengaruhi etika dan moralitas masyarakat. Pengaruh itu antara lain bentuk primordial yang kuat yang ditahbiskan melalui kegotongroyongan, misalnya membuat rumah, membuat perahu (pacu jalur), berladang yang disebut Batobo, dan melakukan adat istiadat perkawinan.
Selain kayat yang sejajar dengan koba di Rokan, terdapat beberapa ragam sastra lisan lainnya yang bernuansa Islam di Rantau Kuantan, antara lain seperti dikir dan ruda (Hamidy, ibid: 31-33). Selain itu, terdapat pula ragam randai Rantau Kuantan. Bahkan ada kelompok kuda kepang yang didirikan oleh para pekerja perkebunan yang dibawa oleh transmigran. Data dari pemerintah setempat menunjukkan bahwa masih banyak ragam kesenian tradisional yang hidup di Rantau Kuantan.
Kesan profan dalam kayat masa kini kelihatan lebih kuat, mengalahkan kesan sakral yang dimilikinya pada masa lalu. Kesan itu semakin kuat dengan pemakaian alat musik salung (flute) yang dipakai dalam pertunjukkan kayat akhir-akhir ini di samping gondang (gendang). Fenomena ini tentu akan ikut mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap penutur kayat.
Kayat masa kini setidaknya apa yang diperlihatkan oleh grup Juman lebih dominan nilai hiburannya ketimbang nilai didiknya. Dan, ini adalah ciri kesenian yang berorientasi profan. Senimannya harus berlaku profesional dan menuruti selera masa.
Kendatipun demikian, fenomena kayat hari ini tidaklah jelek. Sebagai sastra lisan, kayat menunjukkan kehebatannya melampaui waktu yang panjang, bertahan sampai hari ini. Ini sesuatu yang luar biasa. Dan, kemampuan kayat mempertahankan diri dalam pergantian generasi tentu dimungkinkan oleh keelastisannya menyesuaikan diri dengan zaman dan masyarakat yang berubah. Perubahan itu sendiri menunjukkan hakekat kelisananya. Sastra (lisan) akan selalu hidup sepanjang masih responsif terhadap realitas sosial masyarakatnya. Dan, kayat telah membuktikannya, meskipun untuk itu ia harus berubah(-ubah).
Simpulan
Pak Jumat sudah meninggal dunia pada 23 Agustus 1996 dan Pak Juman meninggal dunia pada 5 Juli 2005.7) Tapi nama mereka harum dikenang orang. Jika seseorang mengenang sejarah kayat, maka nama pak Jumat dan Pak Juman akan selalu disebut. Begitulah Melayu, adalah seorang yang tidak mudah lupa mengenang jasa-jasa. Sang maestro kayat itu hidup di penghujung zaman orality, namun, ia dapat hidup sesuai dengan keinginan-keinginan kelisanan.
Keinginan kelisanan itu wujud dalam jati diri Pertama kearifan, terutama ruang dan waktu, berpikir panjang berpandangan luas. Pak Jumat juga mencontohkan kepada kita bagaimana arti konsistensi: tegak tak berganjak, duduk tak beralih. Kearifan mengenali alam dan jati diri, kearifan memilih dan memilah, kerarifan kemanusiaan, dan kearifan lingkungan seperti yang dipraktikkan oleh Pak Juman dalam mata pencarian Tapak Lapan. Kedua, kebersamaan terjelma dari kehidupan penutur kayat yang kaya dan cerdas menyimpai semangat persebatian yang kental senasib sepenangungan, seaib semalu. Ketiga, keadilan, khasnya adil dan benar, serta tenggang menenggang. Keempat, amanah, terlihat dari Pak Jumat yang ikhlas, jujur, dan terpercaya.
Fenomena yang diperlihatkan oleh rakyat Rantau Kuantan ini akan menarik untuk diteliti lebih jauh. Seperti halnya Walter Benyamin (1892-1940) —sebagai pengarang bebas dan penerjemah di Eropa itu—, satu ragam tradisi lisan sudah lama hadir di Rantau Kuantan, Riau. Dan, seni ini menghadirkan dua nuansa sekaligus; sakral dan profan.
Daftar Pustaka
Elmustian Rahman, 2002, Kayat Rantau Kuantan, Pekanbaru: Unri Press
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Djoko Damono, Sapardi, 1978, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Foley, John Miles (ed,), 1981, Oral Traditional Literature, Colombus and Ohio: Slavica Publisher, Inc.
Fox, James J. 1986, Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti, Jakarta: Jambatan.
Finengan, Ruth, 1989, Oral Traditions and the Verbal Arts. London and New York: Raotledge
Hamidy, UU, 1990, Masyarakat dan Kebudayaan di Daerah Riau, Pekanbaru:
Hutomo, Suripan Sardi. 1987, “Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban” Disertai, UI.
Indri, Yasrizal, 1992.,”Bentuk dan Pertunjukan Kayat dalam Kehidupan Masyarakat Rantau Kuantan”, Pekanbaru: FKIP, UIR (naskah skripsi S-1)
Junus, Umar, 1984, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra, Jakarta: Balai Pustaka.
Koster, G.L. 1997. Roaming Through Seductive Gardens. Readings in Malay Narrative. Leiden: KITLV Press.
Lord, Albert B. 1976, The Singer of Tales, New York: Atheneum.
Luxemburg, Jan Van, at all, 1986, Pengantar ilmu Sastra, Jakarta: Gramedia.
–––––––––, 1987, Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Sweeney, Amin, 1994, “Beberapa Artikel Amin Sweeney”, Bahan Penataran Sastra tradisonal Nusantara, Pekanbaru, 4 Januari hingga 2 februari 1984.
Tuloli, Nani, 1991, Tanggomo: Salah satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo, Jakarta: Intermasa (seri ILDP)
Zainudin, M. Diah; dkk, 1987, “Tradisi lisan Melayu Riau”. Naskah Penelitian Depdikbud Ri. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Melayu Riau Tahun 1987.
———————, 1986/1987. Kayat dan Koba dalam Tradisi Lisan Melayu Riau. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu.
Catatan:
- Artikel ini merupakan kertas kerja yang disampaikan pada Seminar Internasional di Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya pada 26 Oktober 2009.
- Dalam bentuk tradisionalnya yang utuh, Kayat Porang dan Kayat Kanak-kanak merupakan inti pertunjukan. Untuk menghilangkan kejenuhan khalayak, adakalanya penutur kayat menyisipkan kayat pantun, yang pantun-pantunnya sama sekali lepas dari konteks cerita. Perkembangan selanjutnya kayat ini seperti tenggelam dalam riuh rendahnya kayat pantun. Peristiwa penuturan kayat ini pun berbeda. Kayat Pantun hadir dalam peristiwa kelisanan (orality) sedangkan Kayat Porang dan Kayat Kanak-kanak hadir dalam peristiwa budaya keberaksaraan (literacy). Kedua peristiwa ini saling mendukung.
- Di Rantau Kuantan Penutur kayat adalah laki-laki. Menurut informasi pak Juman pernah ada penutur kayat wanita, tapi tidak sepopuler rekannya yang laki-laki. Hal ini disebabkan oleh sistem budaya Islami yang tidak memberi kebebasan kepada wanita untuk berkesenian, apalagi jika dihubungkan dengan pertunjukkan kayat yang dilakukan pada malam hari.
- Kayat merupakan medium untuk menyampaikan ajaran moral, adat, agama, pengetahuan tertentu; mengukuhkan keberadaan kelompok sosial tertentu; atau menjadi alat kontrol dan alat kritik sosial. Ini semua merupakan perwujudan dari konsep “sastra sebagai cermin masyarakat dan zamannya” (Djoko Damano, 1978). Itulah sebabnya, sastra, lebih-lebih sastra lisan (baca: kayat), tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio-kulturalnya. Perlu pula diingat bahwa teks kayat kaya dengan simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya. Adalah mustahil untuk bisa memahami apa yang terkandung dalam teks kayat tanpa mengetahui latar belakang budaya masyarakat.
- Albert B. Lord, (dalam Foley, 1981) mengatakan bahwa penciptaaan teks sastra lisan itu, penutur cerita menggunakan ingatan (remembering), bukan hafalan (memorizing). Dalam bukunya yang lain, Lord (1976-30) mengatakan bahwa seorang penutur cerita dalam persembahannya menggunakan apa yang disebutnya sebagai formula. Ia merumuskan formula sebagai a groups of word which is regualary employed under the same metrical conditions to ekspress a given essential idea.
- Dipandang dari konsep ilmu sastra lisan, ada dua hal penting yang dimiliki oleh kayat, yaitu:
- Teks kayat diciptakan dan tergubah saat pertunjukkan. Jadi, tidak ada jarak antara penciptaan teks dengan penikmatannya sebagaimana yang terjadi pada sastra tulis. Teks kayat benar-benar tercipta secara spontan dengan mengandalkan improvisasi atau kreatifitas penutur kayat.
- Kayat ditampilkan di depan khalayaknya. Antara penampil kayat (pekayat) dengan khalayaknya tidak ada jarak. Baik ruang maupun waktu kedua aspek penampil dan khalayak saling mendapat pengaruh timbal balik. Dan ini sangat menentukan dalam pembentukan teks.
- Informasi yang disampaikan oleh Fakhri Semekot dari keluarga kedua tokoh ini di kampungnya, Rantau Kuantan.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)