Sumber Berharga Membangun Cerita Bernuansa Lokalitas

Sunday, 21 October 2012

tnosentrisme dalam Sastra Riau

Oleh Bambang Karyawan 

Etnosentrisme mengandung pengertian paham memandang budaya orang lain dengan ukuran budaya sendiri. Dalam kajian antropologi sering pemaknaan etnosentrisme bertendensi negatif yang sering dijadikan sumber permasalahan dalam proses hidup berkelompok. Lebih jauh muncul kefanatikan terhadap kelompok yang kita ikuti. Memandang kelompok lain dengan ukuran dan persepsi ukuran kita.

 Kita sering melihat beragam konflik antar kelompok yang muncul karena permasalahan persepsi yang berbeda menurut ukuran kita. Dari sisi lain, kadang kala kefanatikan berdampak positif untuk menguatkan identitas kelompok. Kita bisa melihat bagaimana sebuah kelompok sosial dapat berupa suku bangsa atau yang lebih besar lagi sebuah bangsa dapat menjadi besar karena rasa kebanggaan yang besar pada kelompoknya.

Perjalanan sejarah sebuah bangsa menjadi besar ketika setiap unsur dalam kelompoknya mencintai simbol-simbol dan makna yang memberi ciri khas pada kelompoknya. Kita bisa melihat bagaimana Bali menjadi terkenal ke mancanegara karena mereka mampu menjaga simbol-simbol etnosentrisme dalam membangun masyarakat dan budaya suku bangsanya.

Bagaimana etnosentrisme dalam membangun perkembangan sastra? Sastra lahir dalam sebuah karya yang dinikmati dan mempengaruhi masyarakat memerlukan sebuah identitas dalam karyanya. Sebuah karya sastra tanpa identitas hanya menjadi karya yang mengalir tanpa menimbulkan sikap kesukaan atau lebih ekstremnya kefanatikan pada karya yang dibaca. Perlu memberikan makna pada setiap karya yang telah dihasilkan dan dinikmati oleh pembaca. Salah satu caranya dengan membuat setting atau latar suatu kelompok masyarakat pada karyanya.

Dengan hadirnya karya-karya bernuansa lokalitas apa lantas mematikan rasa nasionalisme keindonesiaan? Pandangan sempit bila asumsi seperti itu hadir dalam persepsi kita. Mengapa? Perlu diingat dalam karya sastra walaupun lahir dari sebuah lokalitas, namun nilai-nilai universal dalam sebuah karya sastra tidak akan bisa dipungkiri sebagai sebuah nilai-nilai yang hadir dalam masyarakat manapun. Tidak berarti ketika sastrawan Riau menulis dengan lokalitas Melayu Riau berarti mengesampingan wawasan keindonesiaan. Sekali lagi sebuah karya yang bagus harus punya identitas dengan mengusung simbol-simbol etnosentrisme dalam karya sastranya.

Sastra Riau menjadi besar dan terus berkembang serta mampu diterima oleh masyarakat Riau karena karya yang dihasilkan mengambil latar dan segala pernak-pernik yang berhubungan tentang Riau. Terasa dekat oleh pembaca ketika membaca karya sastra yang dihasilkan oleh penulis Riau menulis tentang Riau. Etnosentrisme perlu dibangun oleh penulis Riau untuk membuat identitas keRiauan yang identik dengan Melayu. Banyak bahan galian ide yang berangkat dari kehidupan masyarakat Melayu Riau. Simbol-simbol bahasa, budaya, tradisi, kebiasaan, dan beragam kearifan lokal yang lain bila diramu dengan jeli akan lahir karya sastra bernuansa lokal yang gemilang. Penulis pernah membuktikannya dengan menulis cerpen “Ketobung” yang ditulis pada tahun 2009 memenangkan Lomba Menulis Cerpen Remaja Tingkat Nasional oleh PT. Rohto. Cerpen ini ditulis setelah penulis membaca dan mengkaji tentang tradisi Badewo. Dari tradisi Belian lahir sebuah cerpen yang berjudul “Penyigi Damar” dan pernah menjadi pemenang dalam Lomba Menulis Cerpen oleh Majalah Mahasiswa Bahana tahun 2009.

 Ketika Dewan Kesenian Riau mengadakan Laman Cipta Sastra pada tahun yang sama cerpen “Numbai” yang berkisah tentang tradisi menumbai pohon sialang. Cerpen tersebut menjadi salah satu pemenang dalam lomba tersebut.  Kembali dalam lomba cerpen tingkat nasional banyak cerpen dari penulis daerah lain yang memenangkan lomba yang mengangkat latar unsur etnosentrisme daerahnya. Seperti cerpen Bakulele dari Makasar. Bekenjong dari Kalimantan Selantan, Satyam Eva Jayate dari Bali. Cerpen-cerpen tersebut memiliki kekuatan dari sisi bertutur yang unik karena mengangkat unsure-unsur etnosentrisme dengan mengangkat kearifan lokal.

Sastrawan Riau sebagian besar menulis karya besarnya selalu dengan mengusung unsur-unsur itu. Apalagi beberapa bentuk apresiasi dari pihak-pihak peduli sastra di Riau ini mengakomodir untuk selalu mengangkat unsur kearifan lokal dengan mengusung sisi-sisi etnosentrisme tersebut dalam persyaratan karya yang dihasilkan. Anugerah Sagang, Ganti Award, Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau, dan lain-lain begitu besarnya mengakomodir penulis sastra yang mengangkat unsur lokalitas dalam karyanya. Sebuah peluang besar tentunya bagi penulis di Riau untuk selalu memanfaatkan tradisi, budaya, bahasa, seni Melayu sebagai sumber dalam menghasilkan karya sastra yang bermuansa lokalitas yang kental.

Penulis:
Bambang Kariyawan Ys.
Guru SMA Cendana Pekanbaru

Sumber http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=490&kat=52

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas