Tujuh Puisi Ekohm Abiyasa di Antologi Puisi "Jendela dari Koloni"

Saturday 25 April 2015


Aku adalah Kamu

aku adalah sepi yang disayat maut cinta
biarkan aku, menerkam tubuh malam

aku adalah ranting yang rapuh terjatuh
biarkan aku, melumat diri menjadi tanah meriuh

aku adalah buih di luap laut
biarkan aku, terombang ambing dalam bisu

aku adalah kapas yang terbang bebas
biarkan aku, mengurai bersama sengal napas

aku adalah kamu,
puisi!

Karanganyar, 2014


Stargaze

I
pada pukul sebelas malam
jarum jam memberat di mata
dunia segera beranjak
ke lipatan lipatan mimpi yang tertunda

melengkapi beberapa potongan, kaca kaca rabun
usia yang embun
aku terpaku, membujur bisu
di ranjang kematianlah segala lalu

II
keclap tiga bintang turun ke bumi
menggeser jemari mengaitkan
dengan sebatang kematian

gemuruh tubuh meriap
dentam jam terasa berat

dua pasang senyum
menutup gelap
tempat aku dulu berbagi bunga
di rumah-Mu aku singgah

Karanganyar, 2014


Catatan Akhir Tahun

apa yang kautahu dari harapan yang kaucatat di buku harian?
segala mimpi dan angan itu, menguap diterpa angin masa lalu

apa yang kaupedulikan
di tahun tahun murung yang kaupesan
dari doa dan air mata?
tahun tahun berlari dari langkah kakimu
lebih cepat dan gesit menggigit sepi
di pundakmu

impian apa yang kaubangun?
dari kamar kosong, dari retakan masa lalu
yang lesap meninggalkan bayanganmu di depan cermin
waktu tak pernah berkompromi
dengan apa aku
dengan siapa aku
Kau?!

Surakarta, 2015


Segelas Kopi Malam Ini

masih tentang
seikat sepi yang panjang

di atas dipan
kekosongan merebah
—derai tawa
para kurcaci
mengalirkan dongeng dan legenda
di sepanjang malam
di sepanjang sepi

para kurcaci itu,
berlarian pada angin
membujuk sepiku

dan masih tentang
segelas kopi yang remang ditancapkan
di jantung perjalanan
di atas kengerian akhir cerita
—jurang kemalangan
hitamku merekah!

Surakarta, 2014


Teka-teki Silang, 2

Ombak laut menurunkan kenangan asin
angin merentangkan sayapnya
ke ujung terjauh masa depan
—silau diri

Diaspora rindu rindu kita yang rumit
tak mampu terlayarkan,
kata kata habis dan tenggelam
—terbuang

Elang terbang datar, menukik
kemudian mencabik
—sisa sisa perjalanan prematur

Nyalakanlah sumbu sumbu ini
mari berpesta api
—biar saja layar terkatung

Nyalakanlah dunia yang menyalak nyalak
mengisi kekosongan hati kita yang berlubang
—yang gagal menemu jawaban

Surakarta, 2015


Kamar 272 dan 275
: di hotel Alexander

I
di sana ada berpasang binar bola mata setelah makan malam
kami bertemu di lobi, tentu saja puisi ini makin subur
di persemaian dua ladang

II
lalu di kamar lantai dua, kami bertiga menghabiskan waktu
mengumbar kekonyolan dan memencet tombol remote televisi
kami sedikit kesal, gambarnya kepyur seperti mata kaca dihujani abu gunung

apakah pertemuan ini begitu takdir?

III
kami segera beranjak memulai perjalanan yang lain
dengan bibit puisi di kantong baju dan celana

Tegal, 2014



Labirin yang Tertinggal

biarkan saya mengetuk pintu
lebih keras dan lama
sudah beberapa lama
saya tidak mendengkur di labirin waktu
yang dahulu menemani dengkuran manja

biarkan saya menarik selimut lebih erat dan tahan
seberapa jauh memimpikan rasa hangat dari baju malam
biarkan saya tertidur lebih dalam

Surakarta, 2014



Seri dokumentasi sastra antologi puisi Pendhapa 17
Diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (April, 2015)

Bersama 10 penyair muda Soloraya lainnya.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas