Kata-kata puisi Chairil itu cenderung konkret sehingga lebih mudah membangun imaji di benak pembacanya. Selain itu, Chairil cenderung memilih kata-kata yang lazim dipakai sehari-hari. Bagiku kekuatan Chairil justru pada level sintaksis. Dia mampu merangkai kata menjadi kalimat yang penuh daya. Misalnya: cemara menderai sampai jauh, aku ini binatang jalang, sepi menekan mendesak, dll. Penyair Pujangga Baru sebelumnya sibuk memilih kata indah dan ritmis sehingga terkesan monoton...
Djoko Saryono:
Chairil bisa menggunakan diksi arkaik (seperti Pujangga Baru) dengan sangat efektif dan fungsional dibanding Amir Hamzah atau STA: beta, datu, pagut, Radjawane dll. Tak heran, larik dan baris puisi CA lebih bertenaga. Pujangga Baru terlalu konfrontatif terhadap tradisi, tapi Chairil lebih inklusif terhadap tradisi. Tak benar CA sangat berorientasi Barat: ia memungut, menjemput, dan mematut semua sumber menjadi racikan baru.
Tengsoe Tjahjono:
Racikan baru itulah kekuatan Chairil. Ia tak terjebak pada pola melodi klasik saat ingin membangun irama dalam puisinya. Relasi sintaksis yang lingual dan bunyi yang paralingual mampu disenyawakan dengan baik. Baris beta patirajawane misalnya memperlihatkan tautan dua elemen linguistik itu...
Tengsoe Tjahjono:
Originalitas bagiku senyawa antara potensi diri dan dunia baca (teks/dunia). Chairil memiliki garis tangan atau potensi bahasa yang tinggi dan kemauan membaca yang tidak main-main. Perkenalannya dengan banyak penulis dunia itulah yang pada akhirnya melahirkan sosok Chairil yang kita kenal: menciptakan revolusi dalam puitika puisi...
Djoko Saryono:
Kalau buatku, Chairil justru tak mengejar orisinalitas yang nyatanya banyak kejebak pada konservatisme dan revivalisme puitik, linguistik, dan tematik. Chairil justru menemukan otentisitas yang dihasilkan dari daya ciptanya yang hebat dalam memanfaatkan bahan apa pun dan dari mana pun.
Sumber: Facebook Denny Mizhar.