Tentang Puisi-puisi Chairil Anwar

Wednesday 29 April 2015

Tengsoe Tjahjono:
Kata-kata puisi Chairil itu cenderung konkret sehingga lebih mudah membangun imaji di benak pembacanya. Selain itu, Chairil cenderung memilih kata-kata yang lazim dipakai sehari-hari. Bagiku kekuatan Chairil justru pada level sintaksis. Dia mampu merangkai kata menjadi kalimat yang penuh daya. Misalnya: cemara menderai sampai jauh, aku ini binatang jalang, sepi menekan mendesak, dll. Penyair Pujangga Baru sebelumnya sibuk memilih kata indah dan ritmis sehingga terkesan monoton...

Djoko Saryono:
Chairil bisa menggunakan diksi arkaik (seperti Pujangga Baru) dengan sangat efektif dan fungsional dibanding Amir Hamzah atau STA: beta, datu, pagut, Radjawane dll. Tak heran, larik dan baris puisi CA lebih bertenaga. Pujangga Baru terlalu konfrontatif terhadap tradisi, tapi Chairil lebih inklusif terhadap tradisi. Tak benar CA sangat berorientasi Barat: ia memungut, menjemput, dan mematut semua sumber menjadi racikan baru.

Tengsoe Tjahjono:
Racikan baru itulah kekuatan Chairil. Ia tak terjebak pada pola melodi klasik saat ingin membangun irama dalam puisinya. Relasi sintaksis yang lingual dan bunyi yang paralingual mampu disenyawakan dengan baik. Baris beta patirajawane misalnya memperlihatkan tautan dua elemen linguistik itu...

Tengsoe Tjahjono:
Originalitas bagiku senyawa antara potensi diri dan dunia baca (teks/dunia). Chairil memiliki garis tangan atau potensi bahasa yang tinggi dan kemauan membaca yang tidak main-main. Perkenalannya dengan banyak penulis dunia itulah yang pada akhirnya melahirkan sosok Chairil yang kita kenal: menciptakan revolusi dalam puitika puisi...

Djoko Saryono:
Kalau buatku, Chairil justru tak mengejar orisinalitas yang nyatanya banyak kejebak pada konservatisme dan revivalisme puitik, linguistik, dan tematik. Chairil justru menemukan otentisitas yang dihasilkan dari daya ciptanya yang hebat dalam memanfaatkan bahan apa pun dan dari mana pun.

Sumber: Facebook Denny Mizhar.
Selengkapnya: Tentang Puisi-puisi Chairil Anwar

Dua Puisi Ekohm Abiyasa di Buletin JEJAK edisi 49 Khusus Puisi

Tuesday 28 April 2015

Edisi khusus puisi dalam rangka ulang tahun ke-4 FSB (Forum Sastra Bekasi)

Capung

I
aku sudah muak menerima
kekalahan. debu menumpuk di mata
enyahlah kebohongan ini. enyahlah!

aku bersembunyi
di antara gelap malam: cahaya redup dan hingar matamu.
akulah, mata mata gelap tanpa kau ketahui
tanpa perlu tahu.

II
menyembunyikan rahasia rahasia
sudah bukan waktu
hidup ngembara
terbanglah bersama liuk hujan sendu yang sekarat!

Surakarta, 2014


Uban

seperti mata kaca
membelah ragu ketika hujan
meniris air mata tuhan

di dasar laut sembunyi akar akar pilu
di atas langit doa sepucat kapas

seperti keping puzzle melubang teka teki
merunut garis waktu
sepanjang sungai bengawan solo

di dasar hati bermukim sajadah puisi
di atas kepala lingkaran sunyi denyut mengibas
: terlepas

Surakarta, 2014

Download pdf-nya di sini.
Selengkapnya: Dua Puisi Ekohm Abiyasa di Buletin JEJAK edisi 49 Khusus Puisi

Seorang Penulis Harus Cerdas

Seorang penulis harus cerdas, penulis yang tidak cerdas hanya akan memiliki khayalan.

Penulis harus mencari data untuk mengetahui lebih jauh apa yang akan ditulis maka cara pandang penulis akan lebih luas.

Mulailah menulis dengan membedakan mana yang khayalan dan mana yang imajinasi. Imajinasi adalah syarat utama yang harus dimiliki penulis, ciri imajinasi adalah kreatif.

Penulis lahir dari istiqomah, bukan dari trik-trik atau workshop menulis.

Jika kemampuan menulis tidak sebanding dengan imajinasi yang dimiliki, kuncinya adalah latihan.

Orang yang mengirim cerpennya 40 kali akan lebih baik dari yang hanya 3 atau 4 kali ditolak lalu menyerah . 


(Joni Ariadinata. Redaktur Majalah Sastra Horison dan Jurnal Cerpen Indonesia)

Foto oleh: Mas @Dwi Suwikyo
Kutipan oleh: @radiobuku


Sumber: Facebook Penerbit DIVA Press.
Selengkapnya: Seorang Penulis Harus Cerdas

Tujuh Puisi Ekohm Abiyasa di Antologi Puisi "Jendela dari Koloni"

Saturday 25 April 2015


Aku adalah Kamu

aku adalah sepi yang disayat maut cinta
biarkan aku, menerkam tubuh malam

aku adalah ranting yang rapuh terjatuh
biarkan aku, melumat diri menjadi tanah meriuh

aku adalah buih di luap laut
biarkan aku, terombang ambing dalam bisu

aku adalah kapas yang terbang bebas
biarkan aku, mengurai bersama sengal napas

aku adalah kamu,
puisi!

Karanganyar, 2014


Stargaze

I
pada pukul sebelas malam
jarum jam memberat di mata
dunia segera beranjak
ke lipatan lipatan mimpi yang tertunda

melengkapi beberapa potongan, kaca kaca rabun
usia yang embun
aku terpaku, membujur bisu
di ranjang kematianlah segala lalu

II
keclap tiga bintang turun ke bumi
menggeser jemari mengaitkan
dengan sebatang kematian

gemuruh tubuh meriap
dentam jam terasa berat

dua pasang senyum
menutup gelap
tempat aku dulu berbagi bunga
di rumah-Mu aku singgah

Karanganyar, 2014


Catatan Akhir Tahun

apa yang kautahu dari harapan yang kaucatat di buku harian?
segala mimpi dan angan itu, menguap diterpa angin masa lalu

apa yang kaupedulikan
di tahun tahun murung yang kaupesan
dari doa dan air mata?
tahun tahun berlari dari langkah kakimu
lebih cepat dan gesit menggigit sepi
di pundakmu

impian apa yang kaubangun?
dari kamar kosong, dari retakan masa lalu
yang lesap meninggalkan bayanganmu di depan cermin
waktu tak pernah berkompromi
dengan apa aku
dengan siapa aku
Kau?!

Surakarta, 2015


Segelas Kopi Malam Ini

masih tentang
seikat sepi yang panjang

di atas dipan
kekosongan merebah
—derai tawa
para kurcaci
mengalirkan dongeng dan legenda
di sepanjang malam
di sepanjang sepi

para kurcaci itu,
berlarian pada angin
membujuk sepiku

dan masih tentang
segelas kopi yang remang ditancapkan
di jantung perjalanan
di atas kengerian akhir cerita
—jurang kemalangan
hitamku merekah!

Surakarta, 2014


Teka-teki Silang, 2

Ombak laut menurunkan kenangan asin
angin merentangkan sayapnya
ke ujung terjauh masa depan
—silau diri

Diaspora rindu rindu kita yang rumit
tak mampu terlayarkan,
kata kata habis dan tenggelam
—terbuang

Elang terbang datar, menukik
kemudian mencabik
—sisa sisa perjalanan prematur

Nyalakanlah sumbu sumbu ini
mari berpesta api
—biar saja layar terkatung

Nyalakanlah dunia yang menyalak nyalak
mengisi kekosongan hati kita yang berlubang
—yang gagal menemu jawaban

Surakarta, 2015


Kamar 272 dan 275
: di hotel Alexander

I
di sana ada berpasang binar bola mata setelah makan malam
kami bertemu di lobi, tentu saja puisi ini makin subur
di persemaian dua ladang

II
lalu di kamar lantai dua, kami bertiga menghabiskan waktu
mengumbar kekonyolan dan memencet tombol remote televisi
kami sedikit kesal, gambarnya kepyur seperti mata kaca dihujani abu gunung

apakah pertemuan ini begitu takdir?

III
kami segera beranjak memulai perjalanan yang lain
dengan bibit puisi di kantong baju dan celana

Tegal, 2014



Labirin yang Tertinggal

biarkan saya mengetuk pintu
lebih keras dan lama
sudah beberapa lama
saya tidak mendengkur di labirin waktu
yang dahulu menemani dengkuran manja

biarkan saya menarik selimut lebih erat dan tahan
seberapa jauh memimpikan rasa hangat dari baju malam
biarkan saya tertidur lebih dalam

Surakarta, 2014



Seri dokumentasi sastra antologi puisi Pendhapa 17
Diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (April, 2015)

Bersama 10 penyair muda Soloraya lainnya.
Selengkapnya: Tujuh Puisi Ekohm Abiyasa di Antologi Puisi "Jendela dari Koloni"

Your Eyes, Poem by Saut Situmorang

Thursday 23 April 2015

YOUR EYES

Your eyes are ancestral forests cut down for palm-oil plantations and pulp mills
Your eyes are sacred mountains dissected for gold and tin
Your eyes are fertile lands stolen for cement factories
Your eyes are mist-covered blue lake transformed into a giant pigsty
Your eyes are beautiful peaceful neighbourhoods cursed into foreign-name hotels
Your eyes are floodings and traffic jams haunting your mornings and nights
Your eyes are children crying starving not enough money to buy imported rice and salt
Your eyes are gas tanks exploded in the kitchen when you are making love with your wife
Your eyes are petrol price raised every time you ride your credit motorbike to work
Your eyes are the television programs showing how the rich live and do their shopping overseas
Your eyes are members of parliament who complain how low their salaries are while driving brand new mercedes
Your eyes are the police who shoot protesting students calling them anarchists and terrorists
Your eyes are the thugs dressed in religious clothings beating up students who are discussing book calling them communists
Your eyes are the president who keeps saying, "Sorry, it's none of my business"
Your eyes are the media who made you elect the president
Your eyes are the outspoken poet reported to the police accused of "defamation, libel and verbal sexual violence" in Facebook
Your eyes are old women imprisoned for using the tree branches in their own property for firewood
Your eyes are state officials smiling on television after being arrested for corruption
Your eyes are nomadic indigenous tribes forced by the state to live in permanent villages and be civilized
Your eyes are supermalls and supermarkets mushrooming replacing the traditional markets all over your poor Third World country
Your eyes are the poor being refused emergency health care by hospitals all over your country
Your eyes are sick and tired brown eyes of million angry poor brown people waiting for a bloody brown revolution to explode like a long dead supervolcano
Your eyes are everywhere

Taken from Notes Facebook Saut Situmorang.

***

SEPASANG MATAMU

Sepasang matamu adalah hutan belantara leluhur yang dibabat demi perkebunan kelapa sawit dan pabrik kertas Sepasang matamu adalah gunung-gunung suci yang dikeruk demi emas dan timahnya
Sepasang matamu adalah lahan-lahan subur yang dirampas pabrik-pabrik semen
Sepasang matamu adalah danau biru berkabut yang disulap menjadi kandang babi raksasa
Sepasang matamu adalah lingkungan damai nan asri yang dikutuk menjadi hotel-hotel dengan nama yang asing
Sepasang matamu adalah banjir dan kemacetan yang menghantui pagi dan malammu
Sepasang matamu adalah anak yang menangis kelaparan karena tak cukup uang untuk membeli beras dan garam impor
Sepasang matamu adalah tabung-tabung gas yang meledak di dapur ketika kau dan istrimu bersenggama
Sepasang matamu adalah harga bensin yang terus melambung tiap kali kau berangkat kerja dengan motor kreditanmu
Sepasang matamu adalah program-program televisi yang menyajikan gaya hidup Si Kaya dan kegiatan belanja mereka di luar negeri
Sepasanga matamu adalah anggota-anggota parlemen yang mengeluh betapa rendah gaji mereka saat sedang mengendarai Mercedes terbarunya
Sepasang matamu adalah polisi yang menembaki para demonstran mahasiswa sembari meneriaki mereka anarkis dan teroris
Sepasang matamu adalah bandit-bandit berjubah suci yang memukuli mahasiswa yang sedang mendiskusikan buku sembari menyebut mereka komunis
Sepasang matamu adalag presiden yang terus berkata ,” Maaf, itu bukan urusan saya”
Sepasang matamu adalah media yang memaksamu memilih presiden
Sepasang matamu adalah penyair blak-blakan yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan” pencemaran nama baik, fitnah, dan kekerasan seksual verbal” di Facebook
Sepasang matamu adalah para perempuan renta yang dibui karena mengambil tiga dahan untuk kayu bakar di tanah mereka sendiri
Sepasang matamu adalah para pejabat negara yang memamerkan senyum di televisi saat ditahan dengan tuduhan korupsi
Sepasang matamu adalah suku-suku asli nomaden yang dipaksa negara untuk menetap permanen di desa-desa agar tampak beradab
Sepasang matamu adalah supermall dan supermarket bak cendawan yang menggantikan pasar tradisional di berbagai penjuru negeri dunia ketigamu yang miskin
Sepasang matamu adalah orang-orang miskin di berbagai penjuru negeri yang ditolak kartu jamkesmasnya
Sepasang matamu adalah sepasang mata coklat belekan yang letih dari jutaan orang-orang berkulit coklat yang marah menanti meledaknya revolusi coklat yang bersimbah darah layaknya ledakan gunung berapi yang telah lama mati suri
Sepasang matamu ada dimana-mana

*Diterjemahkan oleh Dwicipta dari versi bahasa Inggris.

21 April 2015

Sumber: http://literasi.co/SEPASANG-MATAMU
Selengkapnya: Your Eyes, Poem by Saut Situmorang

Jadwal "Bincang Sastra" bulan Mei 2015 di Radio Solopos FM

Tuesday 21 April 2015

Sumber
Simak "Penyair Muda Solo Bicara Puisi" dalam Bincang Sastra di Solopos FM
Minggu, 26 April 2015 Pkl. 16.00 WIB

Streaming: http://www.soloposfm.com atau http://www.jogjastreamers.com
Selengkapnya: Jadwal "Bincang Sastra" bulan Mei 2015 di Radio Solopos FM

Proses Berkarya

Monday 30 March 2015

Ketika ingin belajar menulis puisi, kita sering mengalami mati ide. Berikut ada beberapa tips dan trik.

1. Tulis saja dahulu, edit kemudian
Pertama yang perlu dilakukan adalah tulis saja yang ada di kepala. Tulis saja kata-kata yang ada di otak. Sesingkat mungkin. Tulis kata-kata yang didapat lalu dirangkai sedemikian rupa. Kalau sudah selesai, kita edit/teliti lagi. Kata mana yang kiranya perlu pengembangan atau tambahan. Jadilah puisi!

2. Pemilihan kata yang sesuai
Pada tahap selanjutnya, saya sarankan untuk membuat puisi dengan pemilihan kata yang sesuai dengan tema agar semakin jelas dan terarah. Setiap kata punya banyak sekali makna. Kita bedah itu. Misal "batu". Batu punya makna keras, hitam, ada keterkaitan dengan air, sungai, laut dll. Dari eksplorasi makna kata itulah kita bisa mengembangkannya.

3. Memakai konsep
Pada saat kita sudah berada pada tingkatan yang lebih tinggi, saya sarankan untuk memakai konsep atau tema yang lebih spesifik agar tulisan (puisi) lebih terarah maknanya. Jika konsep itu dirasa membebani, maka jangan terlalu dihiraukan konsep itu. Lebih baik menulis sesuai kemampuan atau yang ada di kepala. Namun saya anjurkan untuk memakai konsep. Kita pakai konsep 10%, sisanya mengalir saja dari kepala.

4. Bergabung dalam komunitas sastra
Nah, ketika kita sudah merasa berada pada level setingkat lebih tinggi lagi, kita hendaknya menimba ilmu pada orang yang lebih luas pengalamannya. Kepada siapa sajapun kita juga bisa belajar menimba pengetahuan. Karena kita tidak mungkin kan berada pada level yang sama dari dahulu sampai kini?. Hadirilah acara-acara sastra di kota terdekat. Ikutlah bergabung dalam suatu komunitas sastra. Dengan begitu akan membuat kita semakin kaya pengetahuan dan tentunya menambah teman sehobi. Dengan begitu pula kita bisa mengembangkan karya berikutnya.

Banyak referensi yang perlu kita ketahui, minimal tahu saja sudah cukup. Dengan banyak berhubungan atau berkumpul dengan orang-orang yang sehobi atau sejalur dengan yang kita minati, tentu secara tidak langsung maupun langsung akan mempengaruhi kinerja kita dalam berproses/berpuisi. Ini sangat penting. Sebab kalau tidak, kita akan mati dan tenggelam. Tidak ada karya lagi yang akan terlahir dari jemari kita, dari keyboard laptop maupun komputer kita.

5. Pertajam naluri dan hati nurani
Ketika sudah berjalan tahap-tahap diatas, kita sering melupakan satu ini, melihat diri, yaitu menulis tentang diri kita sendiri, lingkungan dan sekitarnya. Kita sering mengangkat tema-tema besar di luar sana. Kita sering mengkritik habis-habisan orang lain. Namun kita luap mengkritik diri sendiri. Kita kdang-kadang melupakan naluri dan nurani hati sendiri. Inilah yang penting juga untuk diperhatikan. Kalau dalam bahasa lain orang menyebut "kemunafikan diri".

Pelajaran puisi pada tingkat sekolah baik SD, SMP maupun SMA hanyalah formalitas. Lebih jauh dan luas ditemukan di luar sekolah itu. Banyak orang yang menekuni dunia puisi dan hendaknya kita menimba ilmu pada mereka. Tentunya yang sesuai dengan minat kita.

Hingga pada akhirnya kita merasa pada tingkatan yang matang. Punya nama yang diperhitungkan dalam dunia sastra(puisi) di Indonesia. Orang-orang menyebut kita ""sastrawan".

Jakal KM 14 Jogja, 16 Nopember 2012

Selengkapnya: Proses Berkarya

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas