Resensi Novel Afrizal Malna "Kepada Apakah" (Jawa Pos, Minggu 27/04/14) oleh Berto Tukan

Tuesday 29 April 2014

Judul                           : Kepada Apakah (Sebuah Novel)
Penulis                
        : Afrizal Malna
Penerbit               
       : Motion Publishing, Jakarta.
Tangggal Terbit   
       : 14 Februari 2014
Jumlah Halaman 
        : viii + 302 halaman
Afrizal Malna barangkali lebih produktif menulis puisi. Namun, ketika novelnya muncul, tak pelak kita harus melihatnya dengan saksama. Setelah meluncurkan Lubang dari Separuh Langit (2005), tahun ini Aftizal menghadirkan novel kedua dengan judul yang mengernyitkan dahi; Kepada Apakah.
Menghadapi judul novel ini, saya seolah-olah ‘diminta’ untuk mencari tahu apakah apa yang dimaksudkan sekaligus diminta untuk terbuka pada segala kemungkinan yang diberikan. Apakah dalam Kepada Apakah bisa merujuk ke sesuatu namun bisa juga merujuk ke apa pun. Tetapi kecintaan saya timbul pada tokoh Ram. Pada sosok Ram kita akan menemukan tiga sosok manusia sekaligus yang menyatu. Katakalah manusia modern nan eksistensil yang berusaha ke luar dari dunianya yang khaos.
Manusia Modern
Malna membuka novelnya dengan tokoh Ram, seorang mahasiswa filsafat, yang dihantui pertanyaan dari dosennya, “apakah yang anda ketahui tentang apakah?” Berada di ruangan sang dosen itu, Ram menjelma pesakitan kesadaran yang hendak diperiksa. Ram menggambarkannya sebagai, “pertanyaan yang mengosongkan seluruh pikiran. Membiarkan bahasa seperti sebuah bangunan yang berlepasan.” Setelah kejadian itu, Ram terbangun dan mendapatkan dirinya berada di dua tempat yang berbeda; sebuah pantai (hlm. 17) dan kebun nangka (hlm. 231). Selebihnya, perjalanan Ram, yang bagaikan flaneur, terus dihinggapi pertanyaan ini.  
Pikiran adalah hal utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Era modern ditandai dengan pengakuan akan kesadaran manusia yang ditempatkan pada posisi pertama. Kredo Rene Descartes jelas menunjukan itu; cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dengan merefleksikan pertanyaan tentang apakah, Ram berada pada titik ini. Ram pun menyangkal identitas dirinya untuk mejawabi perihal apakah. Ini pun salah satu ciri khas manusia modern. Demi hidup dalam dunia modern dengan kapitalisme sebagai sistemnya, manusia harus kehilangan dirinya. Adorno dan Horkheimer (1997) mencontohkan Odissyeus yang menyangkal dirinya ketika berhadapan dengan Poliphemus sebagai ciri khas manusia modern.
Pelancong Eksistensialis dan Uebermensch
Manusia modern Ram adalah juga seorang pelancong secara real mau pun historis imajinatif. Ram di dalam kepalanya melompat ke abad pencerahan Eropa, ke masa kolonialisme Indonesia, masa Majapahit, Orde Baru dan banyak hal lagi. Ram melanglang buana ke Bandung, Madiun, Maluku, dan beberapa tempat lainnya. Namun Ram adalah pelancong yang asik dengan isi kepalanya.
Asyik dengan isi kepala nampak pula ketika Ram berhubungan dengan tokoh lainnya. Ram berada di tengah manusia lain tetapi sebenarnya tengah duduk sendirian di dalam ceruk kepalanya. Kita menemukan aroma eksistensial dalam diri Ram. Manusia lain hadir hanya sebagai pelengkap atas diriku.
Dalam keasyikan dengan isi kepala, Ram kerap menggunakan metafora “berjalan di atas tambang tipis”. Metafora “tambang tipis” ini pun dipakai orang-orang di sekitarnya untuk menggambarkan Ram. Ketika ia selesai terlibat dalam sebuah pertunjukan teater, orang-orang memujinya demikian, “kamu seperti berjalan di atas tambang tipis yang menghubungkan dua tebing antara kejahatan dan keharuan.
Berjalan di atas seutas tambang mengandaikan sebuah keadaan yang berbahaya. Jika jatuh, dua pilihan tak mengenakan menunggunya. Untuk itu, sang peniti tambang mestilah punya kemampuan yang mumpuni. Jadi, Ram mau dan tak mau punya kemampuan itu. Maka tak heran, antara yang nyata dan yang tak nyata, antara mimpi dan realitas, di dalam sebagian besar novel ini seakan-akan tak ada batas, melebur, bercampur aduk, dan cukup sulit untuk kita bedakan.
Adalah Friedrich Nietzsche kerap menggunakan metafora meniti seutas tambang.  Nietzsche punya konsep tentang manusia yang bermentalitas uebermensch (manusia yang melampaui). Manusia uebermensch mampu melewati tambang tampa jatuh ke dalam jurang, ke dalam dua kondisi yang bertolak belakang. Manusia uebermensch berada atau hidup dalam sebuah realitas yang khaos, namun di atas tambang ia menciptakan kosmos. Ia selalu berada dalam kemenentuan meski pun dunia yang didiaminya adalah dunia yang tak menentu.    
Manusia Ekonomi(?)
            Di sini, kita sampai pada tiga tipe manusia yang berkelindan bersama dalam diri tokoh Ram. Jelas, Ram adalah manusia modern yang digugat dan menggugat isi kepalanya sendiri. Ram juga adalah sosok eksistensialis yang lebih berkutat pada kediriannya; kesosialan hanya sebagai pelengkap. Selain itu kita pun menemukan Ram yang punya kualitas manusia yang melampaui (uebermensch); berusaha berada pada situasi yang ‘nyaman’—meski pun penuh resiko—di tengah situasi yang tak pasti. 

Namun demikian ada sebuah pertanyaan menggelantung ketika kita sampai  pada lembaran terakhir Kepada Apakah. Pertanyaan ini sebenarnya menyinggung sebuah tipe manusia yang lain yakni manusia sebagai homo economicus. Ram yang bisa punya beberapa rupiah di kantongnya tak bisa secara tersurat ditemukan dalam novel ini. Barangkali, saking menjadi pelancong, saking berkutat dengan aku yang duduk di ceruk terdalam kepalanya, Ram jadi tak terlalu memusingkan benar perkara dengan apa ia makan. *** 

Posting serupa: http://kecoamerah.blogspot.com/2014/04/membaca-tiga-tipe-manusia-afrizal-malna.html

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas