Cinta Tanah Air Hanya Diungkapkan Agam Wispi dalam Puisi

Tuesday 11 February 2014

Tulisan Munawir Aziz di Harian Kompas, edisi 16 Februari 2014 tentang “Sastrawan Eksil,”(Sastrawan dalam pengasingan), sungguh mengharukan jika dilihat dari rasa cinta mereka terhadap tanah air. Bukan dari sisi pilihan di mana ia lebih suka menjadi sastrawan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Banyak sastrawan kita tidak bisa lagi pulang ke tanah air setelah tahun 1965 itu. Di antara sosok itu adalah Agam Wispi. Lihatlah dan bacalah puisi yang ditulisnya:

Pulang

Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
Puisi generasi baru bijak bestari menerjang
Keras bagai granit cintanya laut menggelombang
Di mana kau
Pohonku hijau?
Dalam puisimu, wahai perantau
Dalam cintamu jauh di pulau

Puisinya ini menjadi saksi, bahwa ia betul-betul tidak lagi kembali ke tanah air. Hanya Puisi inilah pengobat rindunya kepada tanah airnya. Ia meninggal di Amsterdam 1 Januari 2003 di usia 72 tahun.

Agam Wispi adalah seorang sastrawan dan wartawan. Lahir di Pangkalan Susu, Sumatera Utara,31 Desember 1930. Ia juga adalah anggota TNI Angkatan Laut. Nasibnya berubah setelah bulan Mei 1965, ia diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan sempat bertemu Ho Chi Minh.

Setelah itu, Agam Wispi tidak lagi bisa pulang dikarenakan perubahan-perubahan di tanah air. Hidupnya berpindah-pindah di negeri orang. Di antara bulan September 1965-Desember 1970, ia bermukim di Republik Rakyat Cina. Tahun 1973-1978 tinggal di Leipzig, Jerman. Sejak 1988 tinggal di Amsterdam (Belanda) hingga akhir hayatnya.

Kesepian di negeri orang inilah yang saya garisbawahi. Tetapi  di ruang-ruang kesepian tersebut masih tetap memunculkan rasa kecintaannya kepada tanah airnya. Walaupun akhirnya  ia menyerah dan kalah dengan kenyataan yang ada. Tidak lagi pernah menginjakkan kakinya di tanah airnya sendiri.

Cinta kepada tanah air di negeri orang bisa menjadi meluap-luap. Tetapi cinta itu tidak bisa diwujudkan karena pilihan kita sendiri yang pada suatu ketika berubah menjadi pilihan yang tidak disukai tanah air kita sendiri. Pilihan lain sudah tentu menulis sebuah Puisi sebagaimana ditulis Agam Wispi, meski rasa sunyi itu menjadi-jadi.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas