Puisi-Puisi Penyair Aceh

Saturday 4 January 2014

Wiratmadinata
SEBUAH IMPIAN DI LOS PALOS

– Xanana Gusmao

Kau pernah bermimpi
Tentang rumah mungil yang tenang
Di Los Palos yang hijau
Diantara ladang kopi dan jagung
Sambil melukis dedaunan
Dan mengenangkan masa silam
Yang gemuruh dan angkuh.

Namun kau terjaga,
Dan terus saja terjaga
Oleh suara dan bau mesiu
Yang tak pernah mau sirna

Dan kau terus terjaga
Oleh waktu yang merenggut
Tak pernah lagi sempat bermimpi.

Banda Aceh, Oktober 2006.

D Kemalawati
JANJI CAHAYA

Kurentang sayap rindu
Mencari-cari janji cahaya
Di Jingga kanvas angkasa
Di Biru lantai samudra
Ombak menggulung tubuh
Rubuh palung gelora
Rindu serupa magma
Membara di dalam dada

Rindu tumbuh menakar diri
Sua dinanti wajah diteluh
Tapi ruh akankah utuh
Menerbangkan tubuh menjauh

Malam sunyi menebar mimpi
Siang terik berkayuh peluh
Lauh mahfuzh – lauh mahfuzh
Keluh dilabuh takdir kusepuh

Kusimak lagi usapan rindu
Yang jejak di telapak raga
Rona warna dalam kelopak cahaya
Tak mampu berpaling rupa

Banda Aceh, September 2012

Nurdin F. Joes
TETESKAN SEDIKIT SAJA AIRMATA KITA

Teteskan sedikit saja airmata kita
Masih banyak saudara kita, pedih menderita
Ada yang belum makan pagi
Sementara kita sudah selesai mencuci tangan,
menutup makan malam

Teteskan sedikit saja airmata kita
Tetangga kita masih mengurung diri
di rumah yatim, miskin, dan duafa
Sementara kita sudah berkeliling kota
Meniup terompet kegembiraan
Merayakan tahun yang berganti

Teteskan sedikit saja airmata kita
Tubuh jiwa petani terbakar matahari
Tanah ladangnya kering kerontang
Irigasi yang kita bangun tak berfungsi
Dan benih tanaman yang kita salurkan
banyak pula yang palsu
Sementara kita telah banyak mengambil laba

Teteskan sedikit saja airmata kita
Para nelayan mengayuh sampan
Mencari nafkah anak istrinya
Matanya perih menatap sampan sampan bermesin
Bergerak secepat angin
Sementara bantuan yang kita berikan
Sering sering cacat tercela

Teteskan sedikit saja airmata kita
Saudara kita tertatih ke taman taman perobatan
Mencari beberapa butir obat penyembuh sakit
yang sudah menahun mereka derita
Mereka kurang paham berkomunikasi
karena tak bisa bahasa
Mereka juga kurang cakap bersantun santun
dan bertatakrama
karena tinggal di rimba
Sementara kita merasa terganggu
Lalu memandang tajam dengan ekor mata

Teteskan sedikit saja airmata kita
Banyak rakyat belum sembuh dari luka dan trauma
Sementara kita masih belum rela merawat
kedamaian
Lalu mengibarkan selaksa propaganda
Membangun babak baru penderitaan
Lalu rakyatlah yang memikul beban sengsara

Teteskan sedikit saja airmata kita
Betapa bencana terus melanda tanah kita
Tubuh dan harta rakyat jadi korban
Padahal mereka sangat tak berdosa
tidak paham menebang hutan
tapi tiba tiba banjir menerkam mereka

Teteskan sedikit saja airmata kita
Saudara kita masih terisolasi
di tanah tanah pedalaman
Jembatan gantung dan jalan penghubung
yang kita bangun
kurang bermutu dan tak berguna
Sementara kita leluasa memacu mobil
di tengah ibukota

Teteskan sedikit saja airmata kita
Ibu ibu renta menggelar tikar
di kaki kaki lima
Menjual beberapa sisir pisang dan sedikit sayur mayur
Mencari sedikit biaya sekolah dan jajan anak-cucunya
untuk esok pagi
Sementara kita terkadang dengan kasar
dan gagah perkasa mengusirnya
Mereka tak dapat bicara apa apa
Menelan pedih, bersalah mengais rezeki
di atas tanah negara

Teteskan sedikit saja airmata kita
Kita sedang menghitung jumlah gaji
Lalu membeli tanah tanah garapan
Sementara saudara kita masih tertatih
meminta minta
Untuk membeli satu ons beras bagi makan keluarga
Lalu menghitung jumlah butir nasi
Saat bersama makan berbagi

Kepada seluruh umat bumi
Teteskan sedikit saja airmata kita
Bahwa pada tahun yang sudah berganti
Betapa masih banyak saudara kita
pedih menderita

Banda Aceh, 1 Januari 2010

Hasbi Burman
PUISI ORANGKU

Ketika malam menutup pulau weh dan Pulau Rondo..
dikegelapan sang serdadu belanda mendapat ilham.
bahwa pantai kerajaan aceh kian dekat.
bergegaslah mempersiapkan bala tentara.
menjelang subuh yang dingin menutup tulang.
tak terasa dibadan tentara yang kampung indatunya empat musim itu.
yang bibir pantainya seratus tahun kedepan.
dihitung kalender masehi waktu itu.
ditelan habis oleh naga tsunami.
para kalasipun bergegas menurunkan layar.
kapal ratu belanda itu.
kapal kesekian kali menyerang Aceh.
Namun tak menangkan perang.
mereka tahu sifat orang-orangku.
yang rindu fulus dan emas.
yang ditembak tentara Belanda ke Pantai Aceh.

Baiturrahman, 13 April 2008

Wina SW1
SEANDAINYA BOLEH KU TAWAR

Seandainya boleh kutawar
Akan kubeli dunia
Kulukis wajah tanah kelahiran di tiap sudutnya
Di mana suara angin mendo-da-i-di-kan-ku*)
Gunung-gunung perkasa menjaga lelapku
Laut dan pantai berpasir putih menghiasi mimpiku

Seandainya boleh kutawar
Akan ku ubah dunia
Kualirkan krueng Aceh mengitarinya
Kuhadirkan lelaki-lelaki penabuh rapa’i*)
Mengoyak sepi
Kubiarkan anak-anak berkaki telanjang
Berkejaran waktu
Dan perempuan-perempuan berkerudung sarung
Yang tak hentinya bersujud dan mengagungkan Allah

Seandainya boleh kutawar
Akan kupentaskan beribu hikayat
Antara keperkasaan malahayati*), tjoet nyak dien, teuku umar
dan berjuta tubuh yang berbaring menjaga tanah ini
(duniapun terpana)
tapi sebelum sempat kutawar
Tuhan telah menawar hidupku
“cukup sampai di sini!”
duniapun terbahak, semakin erat menghimpitku

Agustus, 1988

*) rapa’I adalah music perkusi tradisional Aceh
*) seorang wanita yang memimpin armada laut kerajaan Aceh tempo dulu, berlevel laksamana

Doel CP Allisah
PULANG

1.
ketika aku tinggalkan tanjungpriok
lembayung senja dan angin dingin segera menyergap mimpiku
teringat ucap terimakasih pak kapten sembiring
saat itu mungkin, menjelang malam juga ketika dalam bayang kami penuh gambaran
perca akan segera menyambut salah satu rohnya

2.
malam kedua di selat karimata
bulan mengembang dalam air membentuk berjuta kilasan
yang berkejaran kebelakang
mengawani aku dalam sunyi waktu

3.
setelah begitu lama menanti
aku ingin pulang kerumah menyusupkan wajah dalam dekapmu
dimana bisa kurasakan detak dada dengan seluruh pengertian yang mengalir

KM Rinjani, 1990

Maskirbi
TARIAN SUNYI

Ada yang menari di kesunyian malam
ketika kutanyakan, tarian apa itu
“tarian sunyi,”
katanya
“mari ikut menari,”
ajaknya

lalu kami menari dengan irama degup jantung
kami berputar-putar melingkari angin, semakin
cepat putaran kami, semakin kecil lingkaran kami
lenguh nafas, ketip jari, hentak kaki; hempas lengan,
degup jantung menjadi nyanyian.

ketika kutanyakan nyanyian apa itu
“nyanyian dzikri”
ucapnya
“ayo erus menari, ayo nyanyian dzikir
ajaknya

ia peluk tubuhku dan mempercepat tarian kami
sampai tak ada suara, kecuali angin, kecuali sunyi
kami menjadi angin terapung di lautan udara, lain
menjadi sunyi. Aku tak bertanya lagi, kecuali terus
Menari sampai telanjang di dalam sunyi?

Fikar W.Eda
BIARKAN KAMI

– untuk Aceh dan suku lainnya di negeri ini

biarkan kami tegak di sini
menahan gigil angin
yang meniupkan aroma maksiat

biarkan kami tegak di sini
menahan dingin hujan
sambil menghitung hari-hari lewat

biarkan kami tegak di sini
memaku tanah merah, tanah moyang kami
lalu menggalinya agar tetap selamat

biarkan kami tegak di sini
berdoa bagi kelangsungan hidup kami
mengharap ampunan dan taubat

biarkan kami di sini
bersama anak dan istri
memandangi rembulan pucat

biarkan kami di sini
menunggu kezaliman berlalu

jangan paksa kami minum anggur
yang memabukkan ruh dan raga kami
jangan paksa kami membangun tenda
di tepi-tepi jurang menganga
yang siap menelan kami lumat

kami bukan batu keramat
kami bukan lumut laknat
kami bukan bau busuk khianat
kami bukan ranting rapuh
yang lekat pada beringin angkuh
kami bukan apa-apa
karena itu biarkan kami
menghirup aroma tanah
tanpa syak wasangka
menjadi tangkai sekaligus bunga
memintal kasih sayang dan cinta

Jakarta, April 1998

AA Manggeng
DINIHARI DI TAMAN KAMBOJA

Bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman
padahal angin sangat bersahabat malam itu
di jalan-jalan mencekam
isyarat kedukaan tanpa terduga

Bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman
aromanya ditiup angin ke seluruh penjuru
siapa yang sanggup menutup rahasia duka
atas kebiadaban manusia

Pohon kamboja yang tumbuh di taman kita
penghias kebun-kebun negeri
adalah dia yang lahir dari sejarah
lalu gugur bunganya
luruh daunnya
tercabut akarnya
tumbang batangnya

Kamboja, bunga kamboja
seorang ibu mencari anaknya
yang terkapar di bawah rontokan bunga
dalam gelimangan darah bersama orang-orang
yang tak tahu apa-apa.

Aceh, 3 Pebruari 1999

Budi Arianto
PAMPLET DI HARIAN PAGI II

menyimak berita pagi
negeri ini
adalah air mata
banjiri ladang-ladang kering
hanyutkan mimpi mengusir burung-burung pipit
dan kuncup kembang berserak di hempas angin

Banda Aceh 1993

Din Saja
KEPADA SAUDARAKU ORANG MELARAT

Sekarang katakan pada mereka,
kami penguasa, pemegang amanah kita
katakan bahwa kita, orang-orang pemilik kekuasaan,
memang sedang dimelaratkan oleh sesuap nasi
memang sedang diperdayakan dalam bersikap,
tapi kini, katakan segera kepada mereka,
kami penguasa, pemeras hidup kita,
katakan segera bahwa kita, pemilik kekuasaan,
kami akan menolak setiap pemberian
yang menjatuhkan martabat kemanusiaan
kami nyatakan.

Banda Aceh, 31 Oktober 2002

Sulaiman Juned
TARIAN BULAN

langit menangis
renyah. Galau bulan
mandi di danau. Gerimis menari-nari
angin jalang memekatkan jiwa
rupa hilang dalam kelam waktu.

langit menangis
rinai .Risau bulan
mengeram di danau. Tarian sukma
memabukkan bintang selepas bertarung menempuh
badai, aku sempatkan menjenguk rumah

(Tuhan, senyap-sepi dalam keramaian)

Malalo, 2009

Hasyim KS
PACAR

Kemarin kubisikan di telinganya sebaris puisi
atas ketibaannya bersama angin pagi
yang menapasi malam
lalu sama menelan ludah
ketika burung-burung bercanda di atap rumah

( ketika itu lewat angin pagi mengedipkan mata
pada pengisian yang mendambakan
di pengembaraan ini )

dan hari ini kugarap sebuah puisi
diatas lembaran biru
ketika mega-mega berpacu di detik waktu
lalu daun pintu yang berdentam ditutupkan
kuseka pinggiran mataku
karena debu loteng menggerimis oleh hempasannya

( sepotong rindu membeku di genggaman waktu
awan senjapun bersiap berangkat
ke pembaringannya )

1989

LK Ara
KABAR TANGSE

Seperti menepati janji
Ia datang lagi
Setelah hampir setahun tak singgah
… Lengkap dengansuara gemuruh dan air bah
Deras air tak terkira
Jalanan putus ia dera
Rumah rumah ia bawa hanyut
Isi rumah tak luput

Orang orang tak berdaya
Selain berdoa
Alam marah
Karena hutan sudah dirambah

Ketika kampong runtuh
Dan airbah tak tertahan
Adakah mereka tunduk
Mengingat dengan khusuk
Kepada pencipta alam dan semua mahkluk

Banda Aceh, 29 Februari 2012

Mustafa Ismail
SAJAK PAGI HARI

kalau tiba-tiba nanti kita harus menangis, aku ingin
kau memperdengarkan sebuah tangis yang manis
sehingga rumah kita bukanlah kuburan atau malam yang gelap
tetapi kenyataan yang menggairahkan

seandainya nanti kita harus bertengkar, aku ingin
kita menciptakan pertengkaran yang lembut
sehingga rumah kita bukan kota yang berisik atau bau penggusuran
tetapi hidup yang menentramkan

seandainya nanti kita harus saling diam
karena banyaknya hal yang tak bisa dicapai
aku ingin kita selalu ingat Tuhan.

Jakarta, 15 Agustus 1997.

Deny Pasla
DARI LUKA SETUBUH KITA

mereka sudah lahir dari luka setubuh kita:
katamu lirih melemas, seraya meremas puting
birahiku dari pertapaan beku ini

seharusnya kita berdamai saja dengan hati,
membiarkan birahi dingin sendiri

tak ada yang perlu dirisaukan
karena mereka ada dalam darah kita,
ada dalam nadi kita
menjadi ruh yang leluasa bergerak
seperti udara pada jaring-jaring api sekalipun,
mendamaikan birahi

aku tak percaya persetubuhan itu menjadikan doa-doa
kita tak suci, apalagi kespeian ini menjadikan ita begitu
dekat

kegundahan anak-anak kita yang lahir,
kemudian kehilangan kasih sayang di taman kota
merupakan hal yang biasa
meski selalu menyisakan dendam di belakangnya

mereka memang lahir dari luka setubuh kita.

Isnu Kembara
DEBU DAN PACARKU

Siang berpacu dengan debu-debu di jalanan
Sekawan merpati tujuh
Mendadak terbang jauh

Di bawah sana tak ada suara
Lengang dan sepi
Dan dengus pacarku
Terngiang di ranjang pengantin
Setelah itu aku lelah di pangkuannya

J. Kamal Farza
LAUT

setiap memandangi laut,
selalu ingin menjadi nelayan,
membawamu seekor ikan.

setiap memandangi laut,
selalu ingin menjadi pawang,
menaklukkan buaya, agar kau aman.

setiap memandangi laut,
selalu ingin punya perahu,
membawamu berlayar,
lepas dari belenggu.

ketika memandang laut
menunggu air surut,
menunggumu sampai aku
dan kau pun keriput

Sabang, 17 June 2011
Keterangan foto;
Foto-foto lama para penyair dan seniman Aceh di atas dikutip dari facebook dan blog Doel CP Allisah.

Sumber http://infosastra.com/2013/02/19/puisi-puisi-penyair-aceh/

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas