Proses Kreatif Remy Sylado

Thursday 16 January 2014

Judul asli artikel, Sebelas Jari Penolak Kutukan Dewa

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ruang 2 x 3 meter itu sumpek dan sedikit berdebu. Tak ada sinar matahari menembus ke dalam. Rak yang mengelilingi kamar itu dipenuhi koleksi buku, kaset, dan cakram padat. Tak ada lagi ruang di rak. Berbagai buku yang tak muat diletakkan di lantai. Di ruang kecil itu, dua lampu neon berpendar menerangi. Sinarnya terarah pada meja yang juga penuh barang. Satu mesin ketik kecil berada di tengahnya. Di ujung kiri meja, sebuah minicompo merek Philips makin memadati meja itu.

Inilah “gua” Yapi Tambayong alias Remy Sylado. Di ruang kerja penuh harta karun ini, Remy menghasilkan karyanya. Ruang kerja serupa juga menempati rumahnya di Bandung dan Bogor. “Tapi di Bandung dan Bogor lebih luas dan terbuka,” kata Remy yang ditemui Tempo di rumahnya, Cipinang Muara, Jakarta Timur, Jumat pekan lalu.

Ruang kerja boleh berantakan, tapi tidak karyanya. Remy, 65 tahun, termasuk produktif menulis novel. Dalam waktu bersamaan, selama sekitar enam bulan, ia mampu menyelesaikan tiga novel. Dua di antaranya sudah diterbitkan: Hotel Prodeo dan Aku Mata Hari, yang juga dimuat di harian Kompas sebagai cerita bersambung. Satu novelnya, direncanakan berjudul Selamat Tinggal Pertiwi, tinggal menunggu dicetak.

Remy tengah menggarap Menjadi Penulis? Siapa Takut! yang berisi cara-cara menjadi penulis. Selain itu, buku Presiden Menyanyi, yang mengulas lagu-lagu ciptaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masih dalam pengerjaan. Di luar itu, ia masih bergelut dengan kesibukan lain, seperti teater. Dan semua itu, juga karya-karyanya yang lain, dituangkan melalui lembaran kertas di mesin ketik.

Hotel Prodeo menghabiskan 1.200 (setelah dicetak menjadi 1.016 halaman) lembar kertas kuarto, dan Aku Mata Hari sekitar 700 halaman. Tidak, Remy tak mengetik dengan 10 jari. Ia menerapkan sistem 11 jari alias dua telunjuk yang memukul tombol-tombol mesin ketik.

Menurut Remy, cara pengerjaan karya-karyanya tak berbeda dengan para penulis lain. Gagasannya bisa muncul begitu saja. Gagasan Hotel Prodeo, misalnya, timbul ketika Remy teringat akan kasus pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Ia lalu membandingkannya dengan kondisi saat ini untuk memperkaya ide itu.

Adapun ide pembuatan Aku Mata Hari justru berawal saat peluncuran Kamus Bahasa dan Budaya Manado di Cafe Mata Hari Domus. Saat itu, pemilik kafe, Taufik Rahzen, berharap Remy mau menulis soal Mata Hari yang bernama asli Margaretha Geertruida, perempuan yang menjadi agen mata-mata ganda untuk Jerman dan Prancis.

Setelah mendapat ide, Remy pun menggelar riset pribadi. Ia sering berselancar di dunia maya atau berkunjung ke Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional untuk mendapat detail bahan yang dibutuhkannya. Ia juga datang ke lokasi yang akan menjadi latar tempat cerita. Bahkan riset Selamat Tinggal Pertiwi dilakukannya dengan menginap selama tiga bulan di rumah bekas tentara Belanda di Indonesia. Di rumah yang terletak di Deventer, Belanda, itu Remy mewawancarai mantan tentara berusia 82 tahun dan juga para keponakannya.

Selesai meriset, Remy mulai berkutat dengan mesin ketik. Hampir separuh hari bisa dihabiskannya. Saat mengetik, ia tak menunggu ilham datang tapi, “Sayalah yang memerintahkan ilham itu,” katanya. Untuk memperkaya tulisan, Remy rajin membuka kamus. Berbagai kamus bahasa, seperti Inggris, Jerman, Mandarin, Prancis, sampai Jawi Kuna, ada di dekat mejanya. Saat inilah ia bersyukur pernah menjadi wartawan sehingga mampu menjungkirbalikkan kata. “Bukan sarjana bahasa, tapi wartawanlah yang menjadi pelaku bahasa Indonesia sejati,” ujarnya.

Remy mengaku sudah terbiasa memecah konsentrasinya untuk novel-novel yang dikerjakannya berbarengan. Kebiasaan itu diperolehnya saat bergiat di teater. “Kalau di panggung, saya berkonsentrasi sebagai satu karakter, dan kalau sudah berbeda panggung atau kembali ke kehidupan nyata, karakternya tentu berubah lagi. Menulis ya seperti itu,” kata Remy, yang juga menjadi musisi dan munsyi.

Remy percaya manusia memiliki banyak karunia Ilahi. Maka ia tak setuju seseorang harus berkonsentrasi pada satu bidang saja untuk mencapai hasil maksimal. Ia mencontohkan, Leonardo da Vinci memiliki berbagai keahlian seni, seperti melukis dan mematung, serta menjadi ahli anatomi tubuh. “Kalau ngikutin satu bidang saja, sama saja dengan menerima kutukan dewa,” katanya diiringi tawa.

Tak selamanya pengetikan lancar. Kadang outline yang telah dibuatnya berubah lagi. Kadang pula bahannya kurang lengkap. Jika ketikan di satu kertas sudah hampir selesai dan ada kesalahan di tengah, Remy terpaksa menghapus bagian yang telah diketik dengan penghapus cair. Saat mengetik ulang, kadang ia menemukan jalan cerita lain yang lebih menarik. Jadilah ia merintis alur baru supaya tulisannya makin hidup.

Jika sedang mumet dan tak bisa mengetik, Remy pun beralih melukis. Sebagai alat bantu, Remy kadang mendengar musik instrumen. Saat mengetik, ia anti pada lagu bersyair karena kata-kata dalam lagu bisa masuk dalam tulisan. Kalau sudah begitu, ya dihapus lagi. Toh, semua itu tak dijalaninya dengan kesal. “Saya menikmati semua proses itu,” ujarnya.
[PRAMONO]

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas