Menggelinding: Pram yang Berkobar-kobar

Saturday 4 January 2014

Oleh Muhidin M Dahlan

Buku gemuk ini terbit setelah usia Pram berumur sewindu. Judulnya aneh: Menggelinding. Menurut penerbitnya, Lentera Dipantara, Pram yang memberinya judul demikian. Buku itu bukan buku utuh. Lebih tepatnya gado-gado. Terdiri dari sajak, esai, cerita pendek, serta beberapa lagi pamflet dan tulisan remeh-temeh. Disusun berdasarkan tahun-tahun kapan tulisan itu dibuat di antara rentang tahun 1947 sampai 1956.

Buku ini seperti rambu petunjuk melihat sisi lain Pram di usia kepengarangannya yang masih muda. Membaca buku ini kita kemudian jadi tahu bahwa Pram adalah manusia-manusia penulis muda pada umumnya. Macam-macam minatnya. Bahkan tanpa diketahui banyak kalangan, Pram juga ternyata menulis beberapa puisi (hanya 3 biji, sic!), walau sebelumnya itu tak diakuinya. Sebab katanya, “Puisi sama sekali tak bisa mengenyangkan perut.”

Membaca karya-karya awal Pram, pastilah kita akan menemukan pribadi yang putih, polos, apa adanya, dan belum terbebani oleh pesan-pesan ideologi tertentu. Ia bahkan menjadi pemuda yang minder. Bahkan di depan HB Jassin ia mengaku tak ubahnya katak yang mengibakan hujan (baca: Pecahnya Kongsi Timah Guru-Murid). Tatkala orang-orang Lekra dan Gelanggang mulai saling “melirik”, Pram, sebagaimana kita baca dalam salah satu esainya, masih kukuh memosisikan dirinya sebagai seorang penonton bebas dan bukan pemain utama dalam laga saling kemplang itu.

Di saat-saat kreasi awal ini boleh dibilang Pram tak ubahnya pengarang yang menggelinding digiring kehendak muda yang meraung-raungkan cita-cita dalam pencarian arah hidup. Di sini terlihat betul Pram menulis dengan gelora muda. Ia adalah seorang anak muda peramu isu yang lihai. Juga seorang dokumentator yang tekun serta pembaca dunia yang haus.

Maka tak heran di usia kepengarangan yang dini ini Pram telah mengenal banyak nama-nama pengarang dunia. Sebut saja antara lain Victor Hugo, Jose Rizal, Zola, Tolstoy, Gogol, Mayakovsky, Gorky, Nikolai Ostrovsky, Vsevolod Ivanov, Mikhail Sholokhov, Fyoder Gladkov, Isakovsky, Valentin Katayev, Ilya Ihrenburg, Leonid Leonov, John Steinbeck, Dostoyevsky, maupun Iganzio Silone.

Dan dengan bahasa tulisnya yang khas yang memang garang, meledak-ledak, dan cenderung tidak bertele-tele, ia menggugat banyak hal yang menurutnya tidak beres dan harus diluruskan. Salah satu yang menjadi keprihatinannya, tentu saja tugas-tugas kepengarangan yang menjauh dari masyarakat. Sejak usia kepengarangan dini, Pram sudah disadarkan lewat perkenalannya dengan karya sastra dunia bahwa pengarang adalah anak kandung masyarakat. Maka, patokan sastra pun mau tak mau bertumpu dan bersangkut dengan arus masyarakat ini.

Pram tidak ingin mematokkan diri pada definisi kesusastraan tertentu yang menurutnya membekukkan. Biarlah pembaca yang menentukan sendiri apa definisinya. Karena setiap karangan adalah proyek yang sesungguhnya penuh retak, sesuatu yang belum selesai. Dan pembaca melalui imajinasinyalah yang menyambung-nyambung retak itu dan menyelesaikannya. Sebab pada dasarnya tugas penulis hanya menulis. Tak lain tak bukan dari itu.

Karena itu, Pram seperti tidak dibebani apa pun menulis apa saja yang menurutnya perlu dituliskan. Tentang nasionalisme. Tentang dunia tentara. Tentang masa depan sastra yang diimpikannya. Tentang bahasa Indonesia. Tentang anak muda dan dunianya. Tentang romansa cinta lelaki introvert pemalu yang kandas. Tentang Tuhan. Tentang Jakarta yang kumuh. Tentang dunia cabul dan seks yang dihindari sedemikian rupa oleh Pram walau ketika berkeluarga, Pram adalah sosok yang doyan bikin anak (anaknya 9 orang. Masya Allah!).

Juga Pram berbicara tentang buku. Tentang dunia kolonial. Tentang pemerintahan yang awut-awutan. Tentang dunia pengarang yang memprihatinkan lantaran oleh penerbit dan pemerintah yang tak tahu diri dikemplang honorariumnya dan dikenai pajak yang sangat tinggi. Dan salah satu pengemplang hebat itu bernama Balai Pustaka. “Bagi pengarang yang hanya hidup dari kepengarangan, Balai Pustaka adalah penerbit yang benar-benar dihindari karena membangkrutkan pengarang,” raung Pram.

Pendeknya, Pram menulis segala hal dan apa pun yang dilihatnya, dicerapnya, dibacanya, didengarnya, atau yang diimpikannya. Semuanya dituliskannya. Sebab Pram punya prinsip bahwa, “Semuanya harus dituliskan. Apa pun… jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.”

Walau dengan itu, kawan-kawannya seperti Idrus, M Balfas, mengatainya bahwa ia sudah gila, bahwa ia tidak lagi menulis, melainkan berak. Seorang broodschrijver, penulis yang menulis untuk sesuap nasi.

Maklumlah, ia adalah sejenis pengarang yang tidak pernah punya waktu istirahat. Di mana pun ia berada ia bekerja, apakah sewaktu menonton di bioskop, sewaktu bertukang kayu, sewaktu duduk termenung terantuk-antuk seorang diri, sewaktu sedang makan, mandi, juga sewaktu ia mimpi dalam tidurnya.

Dan satu hal lagi, Pram tak pernah menyepelekan hasil karya yang pernah dituliskannya. Seremeh temeh apa pun itu karya. Ia akan merawatnya dan mendokumentasikannya sebaik-baiknya serapi-rapinya. Bisa Anda bayangkan, bahkan tulisan yang mirip sepotong iklan anjuran minum susu dan selebaran masih sempat-sempatnya ia kliping. Sebab baginya, semuanya adalah anak-anak ruhaninya yang patut mendapatkan perhatian dan kasih yang sama.

Di usia kepengarangan muda ini kemudian lahir novel-novel awalnya yang mendapat apresiasi di jagat sastra Indonesia. Sebut saja: Bukan Pasar Malam, Keluarga Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan, dan sebagainya. Umumnya karya-karya itu lahir dari riak perang dan lembabnya lantai penjara (baca: Buku, Perang, dan Penjara).

Tulisan-tulisan Pram kemudian mendidih dan ganas ketika ia menjadi pengasuh rubrik “Lentera”, suplemen Harian Bintang Timur yang memiliki afiliasi kepada Soekarno. Artikel-artikelnya ofensif menyerang kalangan yang disebutnya para penyerimpung revolusi.

Artikel-artikel ofensif itu terepresentasi oleh dua artikel Pram yang memang menyeramkan: “Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun” (10 Agustus, 1 September, 7 September, 12 Oktober 1962) dan juga “Tahun 1965: Tahun Pembabatan Total” (9 Mei 1965). Ibarat permainan sepak bola, Pram merangkum dua gaya sepakbola sekaligus: membangun kuat-kuat benteng pertahanan (Cattenacio Italia) sekaligus menyerang total (Total Football Belanda) lawan-lawan politik sastranya yang saat itu ia beri sebutan “Manikebu” (akronim dari Manifesto Kebudayaan).

Dalam suasana politik “banting stir” dan “vivere colosso” seperti ini Pram mengeluarkan sebuah novelet Sekali Peristiwa di Banteng Selatan yang oleh banyak kalangan disebut karya yang gagal. Mirip dengan iklan gotong-royong. Garing dan melenceng jauh dari gaya penulisan novel Pram sebelumnya yang liris, empatik, dan humanis. Bahkan dibandingkan dengan Midah Simanis Bergigi Emas, novelet Banten Selatan tetap tak ada apa-apanya.

Tapi Pram adalah manusia yang mencari. Ia telusuri semua kemungkinan yang bisa ia masuki. Dan yang tetap tak berubah, Pram adalah seorang individualis. Ia tetap bekerja sendiri dan mengikuti bisikan hati dan pikirannya. Termasuk ketika ia diajak dengan Lekra dan bekerja dalam barisan Soekarno. Tapi sejarah berkata lain. Ideologi yang mengungkungnya justru mengantarkannya menjadi bulan-bulanan pemukulan sejarah yang coba ditafsir dan dijalaninya.

Tapi ia tak habis. Ia masih bisa berkarya. Dan karyanya justru semakin berkilau dan disegani. “Pada akhirnya,” kata Pram, “bagi seorang pengarang, bukan isme-isme yang melahirkan karyanya, tetapi semata kemampuan pribadi.”


0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas