Chairil Anwar: “Sekali Hidup, Sudah itu Mati”

Saturday 4 January 2014

Oleh Muhammad Alfian Tuflih
 
Aku mau hidup seribu tahun lagi”, merupakan sebuah baris dalam sajak Chairil Anwar yang berjudul “Aku” atau “Semangat”. Sajak ini ia tulis pada tahun 1943, ketika usianya genap 20 tahun. Setelah menuliskan sajak ini, enam tahun kemudian Chairil meninggal dunia. Tepatnya pada tahun 1949. Beliau dimakamkan di Karet, tempat yang sebelumnya telah disinggungnya dalam sajaknya yang berjudul “Yang Terampas dan Yang Putus”. Sajak ini adalah sajak terakhir yang ditulisnya sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Berbicara mengenai kehidupan Chairil Anwar, beliau lahir pada tanggal 17 Juli 1922 di Medan, dan meninggal 28 April 1949. Bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Apin, beliau ikut mendirikan Gelangang Seniman Merdeka tahun 1946, kemudian ia menjadi redaktur Gelanggang (Budaya Siasat) tahun 1948-1949. Terakhir, beliau juga pernah menjadi redaktur Gema Suasana di tahun 1949 sebelum kematiannya (Juanda, 2012;100).

Karya-karya dalam sajak Chairil Anwar telah menjadi sebuah api yang membakar semangat pejuang pada masa itu. Larik-larik puisinya seperti “Hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekali berarti sudah itu mati”, “Aku mau hidup seribu tahun lagi” bahkan menjadi pepatah atau kata mutiara. Secara lisan mapun tertulis, larik-larik tersebut kadang-kadang dikutip lepas dari sajaknya. Kanyataan ini membuktikan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar telah memasyarakat.

Chairil anwar juga dianggap sebagai pelopor sastra angkatan ’45. Dalam sajaknya “Aku”, Chairil Anwar membktikan bahwa ia merupakan seorang penyair yang memiliki karakteristik. Sajak yang larik terakhir megawali tulisan ini mengandung antara lain bait berikut:

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar Peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.

Dari larik-larik sajak di atas, jelaslah bahwa di samping vitalitas, ada sisi lain kehidupannya yang tergambar. Sisi yang tidak bisa terlepas dari kesenian di negeri ini, sisi “kejalangannya”. Sebagai “binatang jalang” Chairil Anwar muncul sebagai ikon kesenian di Indonesia. Bukan Rustam Efendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah, tetapi Chairil Anwar lah yang dianggap memliki seperangkat ciri seniman: tidak bekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya mnejengkelkan. Asumsi seperti inilah yang berkembang pada masyarakat tentang gambaran seorang seniman. Gambaran yang cocok di analogikan seperti binatang jalang. Tidak berminat mengurus jasmaninya dan lebih mengutamakan khayalannya (Damono,1999;38).

Terlepas dari benar atau tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sesungguhnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam benak masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek; ia menjengkelkan tetapi selalu dimaafkan. Keinginan untuk hidup dengan cara tersendiri itulah yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum. Chairil Anwar dan cara hidupnya yang jalang telah menjadi semcam mitos; kita selalu lupa bahwa sajak-sajak yang ditulisnya menjelang kematiannya menunjukkan sikap yang matang dan mengendap meski usianya pada saat itu baru 26 tahun.

Penyair yang pada usia 20 tahun ini meneriakkan untuk “hidup seribu tahun lagi”, dan pada usia 26 tahun menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan.. sebelum pada akirnya kita menyerah.” Sajak ini merupakan semacam simpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap. Sikap yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses yang begitu cepat, sehingga “ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah”.

Chairil Anwar memang seorang penyair yang sangat luar biasa. Pemuda yang pendidikan formalnya ini tidak terlalu tinggi bagaikan terang dalam gelap namun juga menjadi setitik nila dan sebelanga susu. Ada begitu banyak pujian dan kontroversi yang dilahirkan penyair ini. Salah satunya tentang penolakan beberapa pihak yang menetapkan tanggal 28 April –hari kematian Chairil Anwar- sebagai hari Sastra Indonesia. Penolakan ini dominan dilatarbelangi oleh “plagiatisme” yang dilakukan oleh Chairil menurut asumsi sekelompok orang.

Memang tak dapat dipungkiri, bahwa ia sempat menerjemahkan dan menyadur larik dari sajak-sajak penyair-penyair dunia seperti Archibald MacLeish, W.H. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Namun, kecerdasan dan dorongan semangatnya untuk menjadi pembaharu menjadikannya mampu mengatasi serba bacaan itu; ia tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang dibacanya, tetapi berusaha benar-benar untuk menguasainya. Salah satu hasilnya adalah sajak saduran “Krawang-Bekasi” dan “Huesca” terjemahan “Poem” karya John Cornford. Sadurannya itu pun kini bisa dikatakan menjadi milik umum, dan ia telah berhasil mencuri perhatian khazanah sastra dunia dnegan sadurannya tadi. T.S Elliot yang salah satu sajaknya pernah diterjemahkan Chairil Anwar menyatakan bahwa “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.”

Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal mungkin saja ia sudah dalam puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan banyak sajak yang lebih unggul bila ia hidup lebih lama. Sebaiknya kita tidak usah berandai-andai. Faktanya, Chairil anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Tetapi, ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita.

Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sudah merupakan bagian masa lalu yang sudah tidak pantas diteladani sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan sehingga banyak penyair masa kini beranggapan bahwa sajak-sajak Chairil bukan merupakan sajak masa lampau. Sajak-sajaknya justru dianggap sajak masa depan yang hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.

DAFTAR RUJUKAN:
Juanda. 2012. Pokok dan okoh Sastra. Makassar: Fakultas Bahasa dan Sastra UNM
Damono, S. Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakart” Pustaka Firdaus
Jassin, H.B. 1983. Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45. Jakarta: PT. Gunung Agung.


0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas