Analisis Puisi 'Sajak Terjemahan Matamu' Karya Aslan Abidin. Suatu Tinjauan Strata Norma Roman Ingarden

Saturday 4 January 2014

Oleh Muhammad Alfian Tuflih

SAJAK TERJEMAHAN MATAMU (Karya Aslan Abidin)
dengan apa aku terjemahkan seribu
perahu di matamu kekasih? dengan cinta aku
mungkin tak ikhlas benar. aku bahkan selalu
tersenyum diam-diam setiap berpikir meninggalkanmu
tetapi dengan apakah
aku berhenti membayangkan seluruhmu kekasih
dengan segenggam pil tidur yang justru membuat aku
bermimpi memperkosamu
memang tak banyak yang dapat kita catat dari
percintaan ini.
hanya gema tawamu yang terkadang menyadarkanku:
kau adalah roh yang melahirkan sajakku.
makassar 1994

Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, yaitu bahasa Indonesia (Pradopo, 1995). Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola-pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, agar didapatkan efek puitis atau nilai seninya. Ini bisa dilihat pada pola bait pertama a a a a yang saling bersamaan pada fonem akhirnya (u). Berbeda dengan bait kedua yang berpola a a b b yang saling dipertentangkan. Apakah-kekasih dipertentangkan dengan aku-memperkosamu. Sedangkan pada bait ketida dan keempat yang masing-masng terdiri dari dua baris, masing-masing berpola a a. Dari analisis beberapa puisi ini berdasarkan lapisan suaranya, puisi “Sajak Terjemahan Matamu” didominani oleh vokal bersuara berat a dan u, seperti pada tiap bait yang terdapat kata (aku dan kamu).  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi ini dari segi lapis suaranya sangat jelas tergambar unsur lambang rasanya (klanksymboliek).

Lapis Arti (units of meaning)
Satuan terkecil disebut fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan sebuah satuan arti (Pradopo, 1995).

Salah satu keuinkan dari sajak-sajak yang dibuat, yaitu adanya semacam “keganjilan” antara baris yang satu dengan baris yang lain dalam satu bait. Jadi unsur “keteratuannya” dalam penulisan sajak bisa dikatan sangat tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku sekarang (EYD). Seperti dalam bait pertama:
dengan apa aku terjemahkan seribu
perahu di matamu kekasih? dengan cinta aku
mungkin tak ikhlas benar. aku bahkan selalu
tersenyum diam-diam setiap berpikir meninggalkanmu

Adapun makna pada yang tersirat dalam bait ini adalah tentang bagaimana kebingungan sang “aku” terhadap kekasihnya (Kamu) terhadap perasaanya saat itu. Dalam puisi itu dijelaskan tentang keadaan sang kekasih “aku” yang begitu sedih. Kesedihannya itu terlihat pada penggunaan metafora “perahu di mata mu kekasih”. Jika kita menelaah dengan teliti, penggunaan metafora seribu perahu menggantikan kata tangisan sang kekasih. Dalam bait ini juga tersirat makna tentang “cinta yang bertepuk sebelah tangan”. Ini bisa kita lihat pada kalimat “dengan cinta aku mungkin tak ikhlas benar.”

Pada kalimat “aku bahkan selalu tersenyum diamdiam setiap berpikir meninggalkanmu”, semakin menjelaskan tentang hubungan si aku dan kamu yang bertepuk sebelah tangan. Si “aku” dengan terang-terangan menyatakan bahwa ia selalu berpikir diam-diam untuk meninggalkan kekasih yang begitu mencintainya. Kesimpulan makana yang tersirat dalam bait pertama pada puisi “sajak terjemaham matamu” ini adalah tentang keadaan cinta sang penulis terhadap kekasihnya yang coba ia jelaskan.

Pada baitu selanjutnya yaitu bait kedua,
Tetapi dengan apakah
Aku berhenti membayangkan seluruhmu kekasih?
Denagn segenggam pil tidur yang justru membuat aku
Bermimpi memperkosamu

Pada bait kedua ini, penulis mencoba menggambarkan tentang kegalauan hatinya. Di satu sisi ia mencoba melupakan kekasihnya, nmaun di sisi lain ia membutuhkan kekasihnya. Rasa cinta “aku” kepada kekasihnya justru semakin muncul ketika “aku” mencoba melupakan kekasihnya. Ini bisa kita lihat pada metafora “dengan segenggam pil tidur yang justru membuat aku bermimpi memperkosamu.”

Sedangkan pada bait ke tiga dan empat,
memang tak banyak yang dapat kita catat dari
percintaan ini.
hanya gema tawamu yang terkadang menyadarkanku:
kau adalah roh yang melahirkan sajakku.

Pada bait ini terjawab sudahlah kegalauan si “aku” terhadap kekasihnya. Si “aku” pun mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya, seperti pada kalimat “tak banyak yang dapat kita catat dari percintaan ini”. Walaupun telah mengakhiri hubungannya, namun ternyata si “aku” masih begitu mencintai kekasihnya dan sangat berterima kasih terhdap kekasihnya. Ini terlihat dari metafora “kau adalah roh yang melahirkan sajakku”. Pada kalimat tadi, terlihat jelas begitu besar peran kekasih “aku” terhadap dirinya. Kekasih si “aku” dan kisah cinta mereka merupakan sumber inspirasinya dalam berkarya.

Lapis Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 1995).

Objek-objek yang dikemukakan: perahu, mata, kekasih, cinta, pil tidur, tawa, roh, dan sajak. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu: ketika si aku bersama dengan kekasihnya.

Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut:

Sang kekasih begitu cinta kepada si aku. Ia pun terkadang menangis karena si aku. Saking banyaknya air matanya, sampai-sampa ribuan perahu bisa berlayar di air matanya. Si aku awalnya tidak terlalu cinta kepada kekasihnya. Ia selalu diam-diam mencoba meninggalkan kekasihnya. Namun setiap si aku mencoba meninggalkan kekasihnya, ia justru semakin cinta pada kekasihnya. Walaupun pada akhirnya si aku memutuskan hubungannya, ia pun merasa berterima kasih kepada kekasihnya yang merupakan sumber inspirasinya.

Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah implicit seperti yang tampak sebagai berikut.

Dipandang  dari sudut pandang tertentu, kekasih si aku itu begitu menarik bagi si aku. Ini terlihat dari kalimat “kau adalah roh yang melahirkan sajakku”, kalimat ini sangat jelas menceritakan tentang bagaimana perasaan si aku terhadap orang yang dicintainya. Kekasihnya begitu berharga, karena kekasihnya adalah roh yang melahirkan sajak-sajaknya.

Pada bait kedua, digambarkan tentang perasaan sia aku yang begitu ambigu terhadap kekasihnya. Semakin si aku berusaha melupakan kekasihnya, justru semakin si aku jatuh cinta kepada kekasihnya. Kalimat yang digunakan penulis pada lapis dunia ini menarik karena diksi yang digunakan penulis paradoks antara yang satu dan yang lain. Ini terlihat dari pemilihan kata “pil tidur” dan “memperkosamu”.

Pada bait ketiga dan ke empat, merupakan kesimpulan dari bait pertama dan kedua. Pada bait ini penulis merelakan perasaannya dan menerima apa yang telah terjadi. Namun, terlepas dari semua itu, kenangan yang telah terjadi dengan kekasihnya adalah roh yang melahirkan sajak penulis.

1 Komentar:

Sepenuhnya said...

Klepek-klepek langsung, keren puisinya :)

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas