Penyair: Antara Imaji dan Perangkap Estetika

Saturday 30 November 2013

Oleh Tjahjono Widarmanto

Setiap penyair pasti amat bergantung pada kata. Kata merupakan senjata dan mesiu bagi seorang penyair. Oleh karena itu setiap penyair setiap saat akan bergelut, mencari, dan menghisap kata-kata. Penyair yang berhasil adalah penyair yang berhasil memberdayakan kata-kata dan menjinakkannya menjadi sebuah konstruksi makna yang hidup dan berkobar seperti api.

    Setiap penyair tak boleh berhenti pada satu titik pencarian atau satu eksploitasi saja namun harus selalu dalam proses pencarian dan eksplotasi yang terus menerus. Penyair ibaratnya adalah sebuah jeda yang sekejap akan melangkah lagi ke titik yang lain, berguling ke seberang yang lain, atau ulang-alik pada berbagai titik. Lantas, sebuah puisi akan menjelma berbagai keriuhan, simpang-siur, tumpah ruah bahkan bopeng dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata.

    Kata yang berkelebat ke berbagai titik itu, dengan segala keriuhannya itu, akan membangun susunan suatu bangunan imaji yang disebut puisi. Sesungguhnya puisi itu adalah bangunan imaji yang utuh. Keutuhan bangunan yang dibangun dengan kata-kata ini akan menjadi aspek penentu bagus tidaknya, mampu tidaknya menghadirkan sebuah imaji yang kuat, jernih, dan baru.

    Imaji puisi bisa menjadi kacau dan hancur bila seorang penyair tidak mampu memilih kata, frase, klausa atau kalimat yang mampu menciptakan gambaran konkret di kepala pembaca. Kegagalan ini menyebabkan puisi tak dapat dinikmati, gelap, bahkan gagal menyampaikan sesuatu pada pembaca.

    Godaan yang paling kuat bagi dan berbahaya bagi para penyair adalah dorongan untuk mencipta puisi berangkat dari keinginan memunculkan estetika tertentu. Penyair tidak dapat membebaskan dirinya atau gagal melepaskan dirinya dari sebuah style aliran estetika tertentu. Jika seorang penyair saat mulai menuliskan baris-baris puisinya, ia sudah mulai berpikir untuk menjadikannya puisi harus bercorak pada style tertentu; misalnya, harus berwarna surealisme, dadais, simbolis atau yang lain, maka pada saat itu ia telah terperangkap pada sebuah jebakan estetika. Eksploitasi bahasa dan katanya menjadi sangat terbatas dan terbelenggu. Imaji yang dibangunnya tidak bisa spontan.

    Di sisi lain ada jebakan yang lain. Jebakan tema. Jebakan ini muncul saat ada keinginan yang kuat dari penyair untuk bisa berkomunikasi dengan pembacanya. Keinginan untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi sejelas-jelasnya pada pembaca membuat dirinya gagal mengeksploitasi bahasa sebagai sebuah seni. Yang muncul pada puisi-puisi semacam ini adalah sederetan kata-kata klise yang sudah usang, seperti bulan, matahari, laut, air mata, batu, sepi, sunyi, bunga,kota dan sebagainya, yang digunakan tanpa upaya rekonstruksi pemaknaan yang mampu melahirkan arti baru .

    Penyair yang berhasil harus mampu berdiri di antara dua hal yang tarik-menarik ini. Dia tidak boleh mengabdi pada estetika atau mendewakan komunikasi. Pada situasi demikian, estetika bukanlah sebuah kitab suci yang mutlak dihikmati. Juga tidak dengan komunikasi. Puisi sebagai sebuah dunia yang samar bagai sebuah ruang kosong yang setiap orang (juga pembaca) dapat setiap saat menziarahinya dan setiap kali pula dapat menandainya, menafsirkannya, bahkan mempertanyakannya, seperti mereka memaknai, menandai, menafsirkan, dan menanyai masa silam dan harapan masa depannya.

    Pada situasi demikianlah puisi merupakan sebuah jagad tempat pertemuan. Ruang yang setiap saat siapa saja dapat mempergunakannya untuk berdiolog tentang harapan, sekedar menatap, menyumpah serapah, menujum, membangun ingatan, keperihan sejarah, juga solilokui.

    Saat seorang penyair mencari dan mengeksploitasi bahasa dan kata-kata, kadang ia mengeluh bahwa semua ruang eksploitasi bahasa dengan segenap eksperimentasinya sudah dikuasai dan di jelajahi para penyair pendahulunya. Ia merasa tidak mendapatkan ruang kreatitivitas dan orisinalitas.

    Barangkali benar kata Nirwan, bahwa tak seorang penyair pun mampu menciptakan lambang-lambangnya sendiri. Sebuah puisi adalah organisme yang melayang-layang dalam serumpun populasi yang berkelebat dalam habitat-habitat, melalang buana dalam ekosistem lambang-lambang, berevolusi terus. Tak bisa : kun fayakun !

    Maka setiap penyair tak pernah mampu menghitung dan melunasi hutang-hutangnya pada penyair lain. Namun, acap kali dalam melunasi hutang-hutangnya itu setiap penyair akan dapat menampilkan dan menunjukkan titik-titik dan lobang yang berbeda , seperti daun pintu dan jendela dengan beraneka model dan motif. Dari sana semuanya bisa melompat masuk dan bermain melalui jendela itu.

   Tjahjono Widarmanto, penyair yang tinggal di Ngawi
  
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 November 2013

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas