Catatan Singkat Menyaksikan Teater Keliling Jakarta: JAS MERAH di Teater Arena TBJT Solo, Rabu 26 Desember 2012

Thursday 27 December 2012

Nonton Teater
Aku datang terlambat sekitar jam 9. Langsung aja tancap gas cari tempat duduk tanpa membeli tiket. Heheh.. Tapi tenang, diakhir pentas akupun langsung menuju tempat pembelian tiket. Membayarnya tentu saja. Akan sangat berdosa jika tak membayarnya. Sebab itu sama saja tidak menghargai karya orang. Bukan masalah nominal uang. Sebenarnya ingin mengajak teman, tapi pada ga bisa. Ya sudah berangkat sendiri. Sedari SMA aku selalu suka menyaksikan pementasan teater terutama di Teater Arena TBJT Solo. Kepuasan batin dan pengalaman baru selalu kudapatkan. Ide dan imajinasi bertambah. Aku bukan teaterawan namun sebagai penikmat teater dan sastra saja, terutama puisi.

Pertunjukan teater selalu menarik diriku untuk datang menyaksikannya. Ada kepuasan batin setelah menonton pertunjukan teater. Apalagi setelah pentas ada diskusi kecil dan sharing pengalaman. Itu membuat batin terasa tenang dan nyaman. Jiwa kita butuh nutrisi. Selalu saja ada hal-hal baru masuk di kepala. Untuk pertunjukan malam ini(tadi), Teater Keliling Jakarta menyuguhkan tema yang bagus terlepas dari adegan yang membuatku greget pengen pulang. Namun secara keseluruhan bagus. Andai aku tidak datang terlambat.

"Jas Merah", Teater Keliling Jakarta.
Tema yang diangkat adalah Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Penampilan yang cukup memuaskan bagiku. Meski ada adegan yang membuat aku membencinya jika harus menonton. Interaksi pemain dengan penonton bagus. Si Komer(penggila budaya barat/Amerika) selalu saja mengejutkan penonton. "Oo em jii!" begitu teriaknya ketika memulai percakapan. Penonton bersorak-sorai ketika ada adegan yang lucu maupun sedih. Adegan yang paling berkesan bagiku adalah ketika dihadirkannya para tokoh pahlawan dan perjuangan bangsa Indonesia yakni, Ir. Soekarno, Kartini, Martha Christina Tiahahu (pahlawan dari Maluku) sampai Gajah Mada. Para pemain dan penonton dibawa ke dimensi lain untuk mengingat perjuangan para pendiri bangsa. Dunia yang berbeda dengan yang kita alami. Adegan dan kalimat yang mengalir, membuatku ikut larut begitu saja. Para tokoh pahlawan itu mengungkapkan kembali pengorbanan mereka. Menampar aku dan penonton(generasi muda) sebagai penerus perjuangan mereka.

Bung Karno bercerita bagaimana para pahlawan dalam memperjuangkan nasib bangsa ketika dahulu. Kartini menyampaikan pesan-pesannya. Martha Christina Tiahahu mengisahkan bagaimana ketika dia ikut andil dalam usia belianya melawan penjajah kompeni. Menggerakkan pemuda waktu itu untuk mengusir penjajah. Gajah Mada mengisahkan tentang tekadnya untuk mempersatukan nusantara dengan sumpah saktinya, Amukti Palapa. Masih ingatkah engkau?

Aku menikmati adegan yang bagus ini. Ya, kita diingatkan betapa besar kontribusi dan perjuangan mereka(para pahlawan) dalam membangun dan menciptakan negeri indah ini, Indonesia.

Ketika peradaban barat meracuni sebagian besar pemuda dan rakyat Indonesia. Sehingga budaya dan ke"Indonesia"an hilang sudah. Banyak pemuda yang melupakan sejarah, para tokoh pembangun bangsa, pahlawan dan budaya bangsa ini. Generasi muda sudah tergerus oleh aliran jaman yang sejatinya merusak akar dan tanah negeri sendiri. Tanah dimana kita dilahirkan dan berpijak hingga kini. Seharusnya kebudayaan luar(barat) menjadikan kebudayaan kita menjadi lebih sempurna. Jangan sampai budaya sendiri hilang. Jangan sampai kita mengabaikan tangisan Ibu Pertiwi.

Ibu Pertiwi merintih kesakitan. Diinjak-injak oleh peradaban, oleh kita sendiri yang mati nurani dan budaya oleh arus globalisasi.

Adegan sia-sia ketika  Kor(pemain) menerima telepon dari seseorang. Terkesan percuma dan buang-buang waktu. Panjang lebar dalam percakapan telepon yang gagal membuatku menikmatinya. Seakan tak ada arah pentas ini mau dibawa kemana. Percakapan-percakapan yang seakan monoton. Namun adegan-adegan setelahnya bagus.

Ketika seseorang masuk yang berperan sebagai Ibu Pertiwi. Dia menangis terisak. Sungguh mengenaskan. Tubuhnya dicabik-cabik racun globalisasi. Dibunuh budaya asing yang menakutkan. Kemudian suara merdu mengiringinya. Menyanyikan Ibu Pertiwi sambil terisak. Kuresapi suaranya. Ini suara emas! Tidak saja wajah penyanyinya yang cantik, namun suara dan penghayatannya sungguh keren. Jempol.

Akupun terbawa. Mataku memerah, airmata hendak keluar. Betapa berat nasib bangsa ini. Mau kemana negeri ini. Sia-sia saja perjuangan para pahlawan bangsa dalam berkorban untuk negeri ini. Kalau begini terus hancur sudah. Terjajah lagi dalam bentuk lain. Budaya konsumerisme, foya-foya, korupsi yang mendarah daging, perkelahian antar warga dan lainnya. Mau jadi apa bangsa ini!?

Lagu-lagu yang dibawakan, Ibu Pertiwi, Maju Tak Gentar, Kebyar-kebyar dan lainnya.  

Adegan itu bagus. Sekali lagi aku menikmatinya.

Ketika adegan tari kecak, aku mengimajinasikan: tari kecak adalah budaya tradisional dan dalam adegan itu melawan para penggerogot (berkostum serba hitam) sebagai budaya luar/barat dan akhirnya menang. Ide siapa ini? Briliant!

Dengan melestarikan, mempelajari atau setidaknya kita ingat dan tahu budaya nasional/tradisional kita bisa menjaga budaya dan generasi penerus bangsa. Ibu Pertiwi pasti senang, Indonesia pasti berjaya. Tidak tercemar racun-racun globalisasi. Itu yang aku tangkap. Menarik sekali. ketika para pemain meneriakkan cak-cak kecak, aku langsung begitu terkhayal seperti itu. Setidaknya kita harus berbuat yang lebih baik untuk meneruskan perjuangan para pahlawan kita. Perjuangan belum usai bung!

Untuk membaca sinopsisnya silakan baca scan dibawah ini.
Diakhir pementasan berlanjut diskusi kecil mengenai perjalanan Teater Keliling Jakarta. Terdapat tanya jawab.

Untuk Teater Keliling Jakarta, para pemain dan kru-nya, selamat berpentas dan berjuang melestarikan teater. Disamping menyampaikan pesan-pesan untuk generasi sekarang agar mengingat kembali perjuangan para pendiri bangsa dan para pahlawan. Salutku buat sang sutradara pak Rudolf Puspa yang konsisten dalam dunia teater berpuluh-puluh tahun. Semoga diberi kekuatan dan kesehatan dalam berkarya. Agar generasi muda ikut andil memperjuangkan nasib bangsa lewat teater.

Tidak ada yang sia-sia untuk niat baik yang engkau lakukan. Perjuangan belum usai kawan!

*) Ekohm Abiyasa

Pementasan berikutnya,

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas