Tuhan, Negara

Sunday 21 October 2012

Oleh : Yusmar Yusuf  

TUHAN memperkenalkan diri-Nya secara tidak selesai kepada manusia. Selanjutnya, tugas manusialah yang menamatkannya. Tuhan itu maha hadir. Hadir di setiap kala dan ruang. Maka, setiap orang yang ingin ‘bersua’ Tuhan’, dia hendaklah menghargai ‘kehadiran demi kehadiran. Dalam senggau warna ros mempesona, Tuhan ‘menghadir’. Dalam tugas perkembangan seorang bayi menuju masa kanak-kanak, Tuhan hadir, di sebatang sungai Tuhan hadir, di puncak gunung, di tengah samudera, Tuhan menghadir dan senantiasa hadir (present).

Tuhan juga hadir di masa lalu untuk manusia dahulu kala. Kehadiran Tuhan di masa kini adalah untuk manusia kini. Mereka yang menghargai kehadiran makhluk-makhluk Tuhan, maka dia mengakui kehadiran Tuhan. Mereka yang mengakui kehadiran Tuhan, maka dia telah bersaksi tentang ‘perkenalan’ manusia dengan Tuhan yang maha pelik itu. Selanjutnya, dalam masyarakat yang mengedepankan tradisi dialog; mereka akan berkata “begitu susah berbincang tentang Tuhan, dan amat mudah berbincang dengan Tuhan”. Berbincang tentang Tuhan, mau tak mau melibatkan orang-orang. Di sinilah awal mula kesulitan itu muncul. Setiap orang menyangka ‘Tuhan’ menurut keyakinan dan dugaan masing-masing. Dan ujungnya bisa berbentuk bid’ah, sesat dan bertengkar. Namun, berbicara dengan Tuhan bisa dilakukan oleh setiap orang dalam rempak yang beragam dan bebas, tanpa intervensi orang lain. Bahwa di dalam kesendirian itulah manusia melakukan sesuatu. Perbuatan yang dilakukan dalam kesendirian itu, amat dekat dengan citra Tuhan.

Thomas Jefferson pertama kali menyusun “Undang-undang Untuk Penetapan Kebebasan Beragama” (1777) dan dia berpendapat bahwa kebebasan hati nurani seharusnya dibatasi dan dikompromi dengan penetapan agama apa saja. Hal ini menyuling perdebatan panjang. Patrick Henry, seorang tokoh yang menawarkan usulan lain; menetapkan agama Kristen secara umum di wilayah Persemakmuran Virginia. Argumennya; negara seharusnya secara aktif mendukung pendidikan Kristen dan mendukung lembaga kependetaan, karena Kekristenan dapat membangun moralitas sehingga membantu menghasilkan warga negara yang baik. Namun, James Madison sangat menentang hal ini dan bersikeras menyatakan bahwa ini akan membuat kita mundur dari visi kebebasan yang diperjuangkan melalui Revolusi Amerika. Tahun 1785 dia menulis artikel yang sohor dengan tajuk “Memorial and Remonstrance”; “Negara bukanlah hakim yang berkompeten dalam kebenaran agama dan tidak berhak mencampuri urusan-urusan agama. Ketika kita meminta kebebasan bagi diri sendiri kita untuk memeluk, mengakui dan menjalankan agama yang kita yakini berasal dari Tuhan, kita tidak boleh mengingkari kebebasan yang sama bagi mereka yang berbeda keyakinan dengan kita”.

Ujung tahun 1786 dikeluarkan Statuta Virginia untuk Kebebasan Beragama. Ketetapan ini berdasarkan pada sebuah prinsip religius yang mendasar: “Tuhan saja tidak menyebarkan kebenaran dengan paksaan, jadi kenapa kita harus memaksa orang lain?” Dokumen ini diawali dengan kalimat; “Sementara Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan pikiran yang bebas; maka segala usaha untuk mempengaruhinya dengan hukuman atau beban yang bersifat sementara atau melalui pengekangan sipil, cenderung hanya melahirkan sifat munafik dan kejam dan telah menyimpang dari tujuan pembawa agama kita yang suci, yang walaupun Tuhan atas tubuh dan pikiran kita, namun memilih untuk tidak memaksakan ajarannya kepada siapapun, walaupun Ia memiliki kuasa untuk melakukannya…” Seperti yang kita lihat, argumen untuk tidak menetapkan agama negara diawali dengan sebuah kebenaran teologis yaitu: kebebasan kita berasal dari kebebasan akal budi yang dari Tuhan untuk berpikir dan untuk memilih. Sikap yang membela kebebasan beragama –bahkan kebebasan untuk tidak beragama— berasal dari yang dikaruniakan oleh Tuhan itu sendiri”.

Secara esoterik Thomas Aquinas menyatakan perkembangan kehidupan manusia dalam gulungan peradabannya adalah kisah perjalanan dari civitas terrana menuju ke civitas Dei (warga dunia menjadi warga Tuhan). Bahwa secara esoterik pula, manusia yang bergelung dalam kecepatan perubahan sosial dan peradaban dari zaman ke zaman senantiasa menjadi makhluk yang rindu untuk melayani domain spiritual atau melayani the God spot (titik Ilahiah) atau mendesak untuk menjadi warga Tuhan. Sejatinya manusia itu adalah makhluk spiritual, makhluk yang kaya dengan dimensi spiritual. Ada semacam kehausan yang harus ditunai secara spiritual.

Negara hadir sepanjang tendangan bola selama piala dunia di Afrika Selatan. Namun, Tuhan tidak menghadirkan diri Nya dalam peran yang aktif; apakah menjadi juri, suporter, atau malah penggembira, apalagi penonton. Lantas di mana Tuhan? Para pemain yang mengatas nama negara mereka, senantiasa meminta sang Pujaan untuk turun tangan dalam sebuah doa yang sangat masygul, di sudut lapangan, di tepi tiang gawang. Namun Tuhan tidak menghadir dalam permainan-permanian. Para pemain yang berasal dari lima benua memikul Tuhan tanpa jeri dalam doa-doa. Karena pertandingan laksana sebuah perang. Sesekali ada cara pemain atau pelatih yang hendak meninggalkan Tuhan dalam permainan ini. Tak sampai hati membabitkan Tuhan dalam kaidah permainan sepele dan dangkal. Bagi pasukan Jerman yang turun merumput berkata ringan: “Sepakbola adalah permainan yang amat sederhana, sebuah bola yang diperebutkan oleh 22 orang di sebentang lapangan, namun pemenangnya tetaplah Jerman”.

Tuhan juga telah demikian imun dengan peristiwa demi peristiwa di mata manusia. Tuhan telah imun terhadap kematian, kelahiran, tragedi atau bahkan komedia. Permainan yang diusung oleh negara-negara dalam kumparan gelora piala dunia, jelas-jelas mengandung dan menghidang tragedi, komedi, kelahiran dan kematian harapan. Tuhan tidak bisa diajak berkompromi dengan kamtian, harapan, kelahiran atau tragedi dan komedia itu. Negara terlalu kuat merepresentasikan dirinya kepada warga yang berubah menjadi ‘umat’, seolah negara mengganti ‘agama’ dalam dimensi permainan. Dan begitulah sepakbola di Brazil telah meletakkan dirinya sebagai ‘pusat tabiat’.

Dan dengan perlagaan bola kaki, segala perkauman manusia dari segala aliran politik, aliran agama, aliran ekonomi dan keyakinan spiritual apapun bertemu dalam sebuah kegembiraan dan kegetiran yang gentar dan berulang-ulang per empat tahun. Bola kaki, menggumpal sekaligus melelehkan batas-batas pagar api segala keyakinan dan kepercayaan yang diyakini manusia sebagai jalan selamat menuju dunia sebalik sana. Dalam satu bulan, negara seakan terhenti memikul Tuhan dalam olokan-olokan demokrasi. Manusia menumpukan jiwa dan mata ke ruang Sokker Stad di ujung selatan benua Afrika. Dan inilah tanah tempat Tuhan menyerakkan peradaban perdana sebagaimana keyakinan para paleontologi modern. Dan begitulah Tuhan, senantiasa hadir dalam rapalan doa setiap pemain dalam igau dan sedu sedan. Selama permainan dan pertandingan. Dan berulang-ulang dalam tindak kesendirian di tengah lapangan yang hingar bingar. Hadirkah Tuhan?***
 

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas