Tugu-tugu yang Tak 'Bernyawa' Budaya

Sunday 21 October 2012

Oleh : Fakhrunnas MA Jabbar 

TUGU lelaki perkasa di tengah Kota Baghdad itu pun runtuh. Sebelumnya ribuan rakyat dengan penuh kebencian menarik dan memukul-mukuli dari segala sisi. Dalam waktu sekejap tugu yang bertahun-tahun begitu sakral rubuh tak berdaya. Begitulah puncak berakhirnya kekuasaan rezim diktator Irak, Saddam Hussein.

Tugu (baca juga: monumen, patung) di setiap kota memberi makna semiotik yang luar biasa. Keberadaan tugu tersebut tak hanya land mark melainkan memberi pesan dan pencerahan bagi seluruh rakyat sehingga perlu dijaga dan dipelihara. Meski dalam pandangan Islam, tugu yang berupa patung berwujud makhluk hidup terutama manusia sangat tidak dibolehkan, namun tradisi tugu direpresentasikan berwujud benda-benda mati. Lihatlah patung-patung di kota-kota besar Arab Saudi hanya menampilkan obyek seperti sepeda, batu dan sebagainya.

Di berbagai belahan dunia, sejumlah tugu legendaris yang sangat diagungkan dalam memoria dapat disebutkan di antara Patung Liberty di New York dan Patung Yesus di Rio de Jenairo (Brazil). Patung-patung yang sudah menjadi mitos tak hanya di negaranya sendiri melainkan hampir seluruh dunia itu memberi kebanggaan yang luar biasa. Pasalnya, dasar filosofis pembuatan patung tersebut benar-benar benar-benar dipertimbangkan secara matang.

Tugu-tugu yang ada di berbagai kota besar di Indonesia termasuk Provinsi Riau  tentu memiliki keragaman sesuai situasi dan kondisi daerah masing-masing. Dasar pertimbangan filosofisnya harus dapat diterima oleh mayoritas masyarakat. Bila tidak, niscaya berujung pada tragedi dan sikap kontra-produktif dari pihak masyarakat. Lihatlah, perubuhan tugu oleh rakyat di sebuah kota di Pulau Jawa dengan pertimbangan tak menjadi prioritas dibanding kepentingan rakyat yang lebih mendesak.

Menatap tugu-tugu yang ada di Kota Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau dalam rentang waktu yang panjang menjadi sesuatu yang menarik. Meski bukan ahli patung, tapi pengetahuan dasar tentang patung atau tugu pastilah terkait  estetika, penguasaan dan pemahaman tentang anatomi dan perbandingan skala. Bila sebuah patung sosok manusia dibangun tanpa penguasaan ilmu tersebut niscaya tampilan patung agak terkesan gagu dan lucu. Jangan-jangan patung itu terkesan lugu juga.

Hampir di sejumlah penjuru kota Pekanbaru terdapat tugu-tugu. Meskipun sebagian tugu itu tiba-tiba dirubuhkan sendiri oleh pihak pemegang otoritas. Tugu Lancang Kuning  yang terletak di kaki Jembatan Siak I  dan Tugu Pesawat Tempur di bundaran depan Kantor Gubernur kini hanya tinggal nama.

Isu tugu di Kota Pekanbaru tiba-tiba menghangat ketika di bekas Tugu Pesawat Tempur itu dibangun sebuah tugu baru. Semula diisukan tugu -yang waktu itu belum dibangun-  berupa Tugu Zapin. Tentu penamaan dan bentuk tugu ini sebagai simbol kelenturan nilai budi Melayu pada tari zapin yang masyhur sejak dulu. Persoalannya, ketika tugu tersebut sudah jadi dan dipertontonkan secara terbuka pada masyarakat, bentuk tugu itu menimbulkan polemik dan kontroversi.

Ada gelombang besar yang menggelora. Di dua punca gelombang itu terdapat sosok lelaki dan perempuan penari dalam posisi yang berbeda bila dilihat dari ketinggiannya. Si lelaki dengan mengayunkan tangan seolah-olah ingin menampar si perempuan yang terkulai lemas di bawahnya. Patung yang dirancang dan dibuat oleh seniman patung ternama yang berkultur Bali, I Nyoman Nuarta (arsitek patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di Bali) justru memperlihatkan lekuk-liku tubuh si perempuan. Pemandangan ini tentu menjadi tak lazim bila dipandang dengan kacamata kultur Melayu.

Suka atau tak suka, tugu yang semula bakal diberi nama Tugu Zapin terus cepat-cepat diralat oleh Kepala Dinas PU Riau, SF Hariyanto dengan nama Tugu Nol Kilometer. Padahal, dasar filosofis tugu yang menunjukkan titik nol kilometer yang sangat strategis ini justru tak tercermin di dalam sosok tugu yang ada. Kalau begitu, kenapa tidak ditampilkan saja sebuah bulatan angka nol (0) raksasa atau simbol-simbol lain yang menggambarkan angka nol itu.

Tugu Perjuangan di depan Gubernuran berupa sosok sejumlah pejuang dengan senjatanya berusia cukup lama. Secara anatomi dan makna filosofis tugu ini tak perlu diragukan lagi. Meski pernah dihebohkan ketika Gubernur Riau, Imam Munandar sempat menambahkan di bagian bawah tugu tersebut berupa bekas telapak kaki di atas semen basah.

Di kedua ujung Jalan Diponegoro terdapat dua tugu lagi masing-masing Tugu Bambu Runcing dan Tugu Keris. Tugu Bambu Runcing yang menghimpun beberapa ruas tugu runcing sebagai simbolisasi alat perjuangan merebut kemerdekaan. Sosok tugu ini sah-sah saja walaupun dipandang dari sudut kreatifitasnya terasa kurang. Sejak dulu, sosok bambu runcing ya seperti itulah.

Tapi untuk Tugu Keris yang digambarkan sebuah keris tanpa sarung tercacak. Budayawan Dr (HC) Tenas Effendy mengungkapkan dalam tradisi Melayu, keris hendaklah terhunus ke atas. Oleh sebab itu, Tenas mempertanyakan kenapa ada tugu keris yang menghunjam ke perut bumi.

Sebuah tugu lagi di gerbang masuk Kota Pekanbaru dari arah Bandara Sultan Syarif Kasim II. Ada  Tugu Payung atau Tugu Tepak Sirih yang menggambarkan sebuah payung dengan peralatan tradisi makan sirih di bawahnya. Senada dengan itu, di persimpangan Jalan Arengka-Mal SKA terdapat pula Tugu Penari Persembahan dengan sosok seorang perempuan Melayu dengan mengulurkan tepak sirih. Sayang, anatomi sosok manusia pada tugu ini terkesan tidak imbang sehingga perempuan Melayu yang digambarkan tidak ideal karena bertubuh pendek.

Di kawasan pinggiran Kota Pekanbaru tepatnya di ruas Jalan Arengka III terdapat dua tugu lagi yakni Tugu Songket dan Tugu Mari Menabung. Tugu Songket menampilkan berbagai cortak songket  khas Melayu. Tentu saja, tugu sangat informatif. Namun, posisi letaknya yang jauh dari keramaian benar-benar patung itu bagaikan sosok bisu. Sementara Tugu Mari Menabung dengan sosok tangan mengepal benar-benar kumal dan dekil serta tak terpelihara.

Belum lama berselang persis di ruas Jalan Sudirman, depan Kantor Wali Kota Pekanbaru, berdiri pula Tugu Ikan Selais yang sudah ditetapkan menjadi ikon Kota Pekanbaru. Sosok beberapa ekor ikan selais yang saling meliuk, mengingatkan orang pada Tugu Ikan dan Buaya yang menjadi ikon Kota Surabaya. Tapi ada yang keliru pada sosok ikan selais itu. ‘’Kumis ikan tersebut terlalu panjang membelit,’’ kata sahabat saya yang pernah menjadi Dekan Faperta UIR, Ir Rosyadi mengeritik soal kumis yang tak sesuai dengan realitasnya. ‘’Ikan selais itu  hanya punya kumis pendek...’’ ujar Rosyadi yang bertekad menjadikan Faperta UIR sebagai ‘Pusat Informasi dan Pembenihan Ikan Selais di Riau’ ini.

Keberadaan tugu-tugu di Kota Pekanbaru disayangkan belum ada tugu yang benar-benar dapat memberikan land mark yang patut diagungkan warga kota. Sebutlah Tugu Selamat Datang di Kota Jakarta yang legendaris hingga kini. Semestinya, kota ini memiliki tugu yang dirancang berwujud tinggi sehingga dapat dilihat oleh warga kota dari semua penjuru. Boleh jadi tugu yang melukis sepasang bujang dan dara Melayu melambai dari ketinggian sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu. Betapa megahnya bila tugu seperti itu ditempatkan di lokasi Simpang Mal SKA atau di depan kantor Gubernur Riau. Tentu tugu impian begitu bisa jadi ikon dan land mark ibukota Provinsi Riau ini.

Bagaimanapun, kita masih terus mencari makna filosofi dan nilai-nilai kultural yang berpijak di ranah Melayu. Begitu pula, tugu-tugu yang ada perlu diberi nyawa budaya agar benar-benar bermakna bagi kehidupan kini dan seterusnya. Tak Melayu Hilang di Bumi...tentu melekat pula pada tiap sosok tugu yang berdiri di penjuru kota ini.***

Fakhrunnas MA Jabbar, adalah kolomnis dan budayawan, dosen Universitas Islam Riau.

Sumber http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=885&kat=52

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas