Suara dan Bunyi

Sunday 21 October 2012

Oleh : Yusmar Yusuf 
Yusmar Yusuf
BAHASA, tuturan, bukanlah sekedar suara apatah lagi bunyi. Kini, bunyi dan suara identik dengan negara. Setiap orang bisa mengeluarkan bunyi dan suara, bukan bahasa dan tuturan yang memikul atau yang mengangkut makna yang menggetar. Ketukan kayu dan tiupan pada sebatang bambu berlubang, menghasilkan bunyi (sound), percakapan seorang autis juga menghasilkan suara (voice), tapi bukan ‘bahasa’.

Percakapan yang bersilang-silang selama gempita demokrasi oleh generasi kini, hanyalah sekedar bunyi dan suara. Dia mensunyikan kebenaran, membunuh kebenaran. Semua dibungkus dalam dome (kubah): “demi kepentingan bangsa yang lebih besar, demi kepentingan negara yang lebih besar” dan seterusnya. Ketika kebenaran diperhadap-hadapkan secarta oposisional dengan negara, maka yang keluar sebagai pemenangnya adalah negara. Oleh sebab itu, selanjutnya yang menjadi prioritas utama adalah negara. Setiap kebenaran selain kebenaran negara, sekalipun itu legal, harus tunduk pada kekuatan negara. Jika kebenaran tunduk pada negara, ujar Adonis, maka kebebasan individu juga menjadi tunduk kepada negara dan kekuasaannya. Di sini kekuasaan tidak mau berdialog dengan orang yang menentangnya, tetapi justeru menundukkannya; sistem bersifat represif dan memaksa, ia menekan pihak yang senantiasa berada dalam kondisi siap untuk menghancurkan, pada gilirannya penghancuran terhadap sistem kekuasaan.

Bunyi dan suara, mengalir dalam moda audio, juga berwujud dalam bentuk teks yang mengisi dan menghias baliho, spanduk, dan seperangkat media promosi. Semua berpangkal pada idiom yang satu, idiom yang letih dan lelah. Selain itu, juga terkesan mengulang-ulang dan meniru-niru jargon yang digunakan oleh orang lain yang ternyata kreatif dan senantiasa mencari dan menemukan idiom-idiom baru dan menyegarkan. Lihat saja tagline yang dihajatkan untuk mendorong dan menggesa konsumen jatuh hati dan jatuh jantung kepada sebuah lembaga bisnis; Riau Airline, The Siprit of Riau, selanjutnya dengan nada dan bunyi yang sama diikuti oleh tagline Bank Riau dengan idiom yang juga sama dan lelah; Spirit to Grow. Artinya dua wilayah lembaga bisnis ini, tengah deman dan keranjingan dengan kata kunci spirit yang sesungguhnya kehilangan spirit itu sendiri. Spirit, semangat, sukma menjadi élan vital yang terwujud dalam serangkaian etic; disiplin, ramah, melayani, tepat waktu, transparan, dan seterusnya yang menjadi susunan rindu sebuah manajemen modern.

Orang saat ini, tak bisa memilah mana idiom atau kalimat yang ringkih dan lelah. Idiom yang dah penat memikul beban makna dan misi, yang dipakai semua orang, semua organisasi, sehinga dia menjadi semacam barang kodian yang diproduk secara massif oleh sebuah pabrik idiom. Inilah yang disebut sebagai fenoma suara dan bunyi. Saat ini orang Melayu, bahasa Melayu bukanlah lagi bahasa yang membawa dan mengangkut kebenaran, sebuah bahasa yang ikut mentalkinkan kesucian tuturan, tetapi telah berubah menjadi hanya sekedar bunyi dan suara. Artinya, saat ini anak-anak Melayu dan para tuan puan Melayu yang berkata, bercakap dan bertutur, tak lebih dari sebuah fenomena mengeluarkan suara dan memproduksi bunyi. Bahawa Melayu telah mati suri secara makna dan misi sucinya yang bertugas menstilasi air bening akal budi manusia Melayu. Dia (bahasa Melayu) tak lebih dari peristiwa bunyi semata.

Lihatlah, setelah mengalami langsung sebagai kaum pecundang (mereka yang kalah) dalam petarungan, manusia-manusia yang bergairah meraih kuasa itu tetap birahi menghasilkan bunyi dan suara. Di dunia ini hanya ada dua sisi yang saling melengkapi, bukan sesuatu yang terpisah. Malam adalah perpanjangan dari siang, kejahatan adalah sisi lain dari kebajikan, kiri adalah teman seiring dari si kanan. Langit adalah penjenjangan lanjutan dari bumi. Begitulah para sufi menakwil kilas hidup, dosa adalah sisi lain dari pahala, dia bukan sesuatu yang harus diperhadapkan secara konfrontatif. Begitu pula antara pemenang dan pencundang (victor and victim). Dalam idiom bisnis, seorang pecundang (kalah@ victim) selalu melihat ada masalah dalam setiap peluang. Sedangkan seorang pemenang (victor) selalu melihat peluang dalam setiap masalah [krisis]. Dua alam ini saling melengkapi. Tidak boleh dilihat sebagai saling memusnahkan. Ketika dipaksa untuk diperhadapkan dalam prinsip saling memusnahkan itulah, terjadi bunyi dan suara dam produksi-produksi yang tiada henti dalam lejang panjang kehidupan manusia.

Kepada sang pemenang, yang paling dikhawatirkan tidak tahu bagaimana lagi menghasilkan suara dan bunyi yang bermakna, sehingga dia menjadi julangan kebenaran bersama. Dia tidak lagi menjadi alat kekuasaan dan instrumen negara yang kaku dan beku. Sebaliknya, si kalah [pecundang] juga tidak harus menghasilkan bunyi dan suara dengan bahasa pencundang yang bernada destruktif semata, tetapi dengan tetap mengedepan kebenaran bersama, sehingga kerisauan purba tentang ‘pertelingkahan’ antara kebenaran dan negara dapat disusun oleh sebuah sistem yang kita anut hari bernama demokrasi. Inilah tugas dari kebudayaan, bahwa setiap apa yang keluar dari mulut manusia (entah suara atau pun bunyi) hendaklah menggesa orang lain untuk menyusun dan membentangkan kebajikan sebesar dan seluas-luasnya kepada umat dan lingkungannya. Bahwa setiap perbuatan kebudayaan hendaklah menghasilkan kebajikan (virtue) yang berdimensi maslahat yang demikian besar dan menggetar bagi kehidupan sekitarnya.

Pemilihan umum adalah sebuah prosesi tentang cara menilai; toh masuk dalam daulat layak dan tak layak, itu tak lebih dari kategori. Yang pasti, manusia autis dan schizofrenik bakal menjadi pabrik penghasil bunyi dan suara, bukan nada, dan tiada harmoni.

Kesumbangan (fals) itu sendiri adalah sisi lain dari keselerasan (harmony). Bahwa fals atau kesumbangan yang disuarakan melalui pabrik mulut yang bercuap, yang menghasilkan bunyi dan suara dari orang-orang kalah itu adalah kebenaran lain yang mesti diseduh.

Sedatar, sepirang dan sesumbang apapun bunyi dan suara yang dihasilkan oleh para pecundang, dia adalah bagian dari jamaah panjang untuk mengisi kehidupan yang bersisi dua itu. Dia menjadi penghibur dan penglipur lara bagi mereka yang tak masuk dalam jamaah pemenang dan para pecundang itu. Ya, rakyat biasa yang tak tau menau dengan pertarungan, pertandingan dan perbalahan politik yang berpusu-pusu ingin meragut madu politik dan kekuasaan. Para peragut kuasa dan politik itu selama ini lebih banyak meminta berbanding memberi.

Kita pun jadi gamang dengan kemenangan yang disunting dari suara-suara rakyat yang diobral dalam sebuah sistem bazaar. Sebab, ujung dari peristiwa bazaar adalah sebuah kesemrawutan, sebuah kehebohan bunyi dan suara, yang di dalam itu peran akal budi, dan hati nurani terhalus, kian terpelanting. Manusia membeli suara dalam ruang serba pikuk. Ruang ini menyediakan panorama yang serba bising, tidak ada saling mendengar dan menahan, semuanya berperan bak deretan pabrik di sebuah taman industri yang menghasilkan suara-suara dan bunyi. Dan tiba pada sebuah saat, mereka yang menjadi pemenang itu akan meminta, menuntut, dan tak pernah memberi. Bersiagalah!!!*** 

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas