Senja Bulan

Sunday 21 October 2012

Oleh : Yusmar Yusuf  

Senja Bulan mengambang. Dan manusia pun tersesat di bawah benderang bulan nan merekah. Sejak manusia mengenal kata dan ucapan, kita seakan berada di persimpangan jalan; terpecah antara nampak dan sesat.

Segala perbuatan kebudayaan yang dianggap benar dan bercahaya hari ini mungkin sederet citra kesesatan, sebuah penjerumusan massif, terutama terhadap kebudayaan dan nilai tegakannya. Kepada budayawan, seniman yang bertugas menjaga, menjinjing dan mengkampanyekan nilai dan moral kebenaran, berdampingan dengan penjaga tembok di sisi lain (para akademisi) tidak terusik sedikit pun ke atas tabiat-tabiat sunsang yang berlangsung di depan mata.

Ada penerbitan ulang karya kebudayaan oleh sejumlah seniman di tanah ini, dengan selebrasi nan gegap-gempita di penghujung sebuah tahun. Dan dia seakan mengisahkan kebenderangan itu. Ingat bahwa benderang juga selain menerangkan sekaligus menyilaukan pandang manusia. Obyek di depan mata memang nampak, namun berwujud maya bergelombang. Kesilauan ini menghasilkan kesesatan-kesesatan baru. Kesesatan baru ini, juga menghasilkan keputusan-keputusan baru. Keputusan baru itu juga terpecah dalam persimpangan-persimpangan baru dalam modus fractal: mungkin ada moleknya tabiat ini diteruskan, atau malah dia akan menjadi peristiwa jenayah kebudayaan? Kenapa elok diteruskan, karena berkait dengan urusan perut. Tak mungkin berkarya dengan perut yang kosong, walau di seberang idiom ini ada idiom penyergah; bahwa ketika melaratlah pucuk karya itu kian berkilau.

Senja, bulan mengambang. Kisah meletakkan Melayu sebagai rembulan yang terang dengan cahaya yang meneduhkan telah berlangsung satu dekade. Dan bergerak liarlah segala ikhtiar manusia demi memangku Melayu. Segala khazanah Melayu lama dibongkar, dipoles dengan bau, warna dan citra hari ini. Masjid sultan hanya tinggal nama, karena sudah kehilangan wujud dan renjana. Apakah ini sebuah kesesatan dalam menafsir masa lalu? Atau kejahatan terhadap masa lalu? Dan makhluk kota terdiam atas suguhan demi suguhan ini. Tabiat dan perbuatan ini dianggap bagian dari perbuatan kebudayaan yang ikut menyerikan (memberi seri) kepada Riau yang bakal menjadi pusat kebudayaan Melayu 10 tahun ke depan.

Pusat kebudayaan Melayu macam apa? Apakah hasil dari penjumlahan kesesatan demi kesesatan? Klaim sebagai pusat kebudayaan ini sekaligus menjadi penjebak atau jerat mematikan ’mata batin’ kebudayaan itu sendiri. Dia seakan telah menjadi klaim historis. Kita pun tersesat seraya mendodoikan ’kebenaran-kebenaran baru’ yang diyakini sebagai mustika yang dihormati makhluk serata dunia. Kita pun bersorak, bahwa apa-apa yang berada di seberang kebudayaan kita hari ini dan esok adalah sepelantar kebudayaan yang rendah. Kitalah yang bersayap dan layak berkepak memenuhi ufuk timur dan ufuk barat, seraya bertempik cogan; “Tak kan Melayu hilang di dunia [bumi]”.

Manusia adalah makhluk yang rentan tersudut di persimpangan jalan. Meskipun jalan itu diretas oleh dirinya sendiri. Dilema ini telah bergelayut sejak manusia mengenal seni, agama, merukuni segala bentuk sistem pemerintahan sejak dari gaya otoritarian, sosialis, hingga demokratis. Bahwa ihwal kesesatan itu adalah peristiwa yang senantiasa menyelinap dalam setiap cakrawala. Dia menyembul tidak hanya ketika gugur di dalam kerimbunan hujan nan lebat, dia juga hadir ketika terik matahari kerontang, menjulur dalam kegelapan malam, temaram subuh, dan bahkan tegak jahar matahari siang hari. Seluruh juluran perilaku yang menjurus kesesatan itu selalu dilekatkan orang dengan peristiwa senja yang merabun. Sehingga dalam dunia ketabiban timur, rabun senja termasuk jenis penyakit. Sesuatu yang tak dikenal di Eropa (?..hehe).

Kesesatan yang terjadi, mungkin tersebab oleh kelalaian, ketidak-tahuan atau malah sebuah kesengajaan. Karena lupa dan tak sengaja adalah sebuah ’gaya’ dan terkesan elite. Orang yang banyak lupa melambangkan dirinya sibuk, sehingga memerlukan sekretaris pribadi untuk menyusun dan mengurus jadwal. Bahwa tugas seni selain untuk membebaskan manusia, dia juga memikul tugas menyelesaikan lupa. Kelupaan dan alpa, senantiasa diulang-segarkan oleh sejumlah karya seni; mata, dengar, pentas, warna, garis, kontur. Mungkin orang yang berada di seberang sana juga sedang lupa dan melupakan, namun ’hukum’ tidak mengenal lupa. Hukum yang dimaksud adalah adat bawaan yang terberikan: “Adat muda menanggung rindu, adat tua menanggung ragam”. “Adat air sejuk, adat api panas”. Si muda rindu (gairah) untuk berbuat, agresif dan dinamis, demi sebuah kemajuan dan kecemerlangan. Namun dia terkadang alpa, bahwa apa-apa yang telah dan akan dilakukannya terbilang ’sesat’ dan menyesatkan. Walhasil, situa yang menanggung ragam.

Hukum itu seolah hadir dalam penjumlahan dendam masa depan. Betapa banyak perilaku dan tabiat yang didiamkan hari ini, namun menyembul kembali ketika orang ingin bertenang hidup di hari tua. Rehat di liang lahat dengan catatan kecil stigma dunia yang ditinggalkan. Hukum terberikan ini, terbit di ’mata hati’ setiap insan: Terkenang dan terkenang. Demikian pula dengan hukum positif. Sebab dia adalah jelmaan tertulis dari hukum (adat) yang terberikan itu.

Tentang senja nan merabun dan bulan purnama, di antaranya terhidang persimpangan-persimpangan. Muai lah bagi jiwa yang merekah, yang menunai janji secara tunai, tanpa seloka jiwa yang miskin meratap. Kebudayaan besar dan ranggi itu tidak mudah berhiba kepada jiwa ’peminta’, tetapi malah memberi. Dia gagah dan tak menghiba. Kita dah diserbu secara tak sadar dalam selinapan-selinapan gelap ’nafsu kapitalisme’. Saya teringat dengan satu sedutan bersemangat dari seorang filsuf yang juga sosiolog Prancis, Jean Baudrillard yang mengkritisi pemikir ekonomi JK. Galbraith berikut ini; “Tak ada masyarakat berkecukupan yang dibawa oleh kapitalisme, yang ada hanya ‘masyarakat pertumbuhan’ dimana modal senantiasa meningkatkan pertumbuhan”. Maka, kisah cukup dan berkecukupan menjadi santapan agung dalam wacana penolakan tendensi kapitalisme di setiap zaman. Jelmaannya merecup dalam ’idiom-idiom’ aneh di pangkal zaman; Theocracy, Teologi Pembebasan, Pendidikan Kaum Tertindas dan sederetnya. Dan sederet paham ini juga tetap menyediakan persimpangan-persimpangan yang membuat gigil manusia untuk masuk dalam modus kesesatan-kesesatan baru. Sebagaimana diyakini, seolah ’kepentingan’ lah yang abadi, ketika musuh dan persahabatan longgar. Avatar dari ’kepentingan’ nan abadi ini adalah ’kesesatan’.

Nukilan ujung kalam, saya hidang dua buah Haiku (sajak comel Jepang) untuk menangkup renung. Kata ’agar’ di sini bermakna ’ganggang laut’. Karena pembaca ini adalah kaum terpilih, maka dihidang dalam bahasa pilihan orang ramai di muka bumi, bukan bahasa yang merdu.

Drying agar?
The sun set, the moon rise (Ohashi Ohashi, Haiku abad 20).
Winter chrysanthemums, powdery rice
bran sprinkles around the mortar (Matsu Basho, Haiku abad 17). *** 

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas