Sebuah Kehilangan

Sunday 21 October 2012

Oleh : Yusmar Yusuf 
Yusmar Yusuf
MENINGGALKAN sebuah ‘teluk waktu’ dengan jiwa yang kosong. Ya, sebuah penanda mengenai kehilangan. Tuhan telah sekian lama bersaksi tentang kehilangan demi kehilangan. Demikian pula kesaksian yang sama mengenai kehadiran. Tuhan tidak lagi ’peka’ mengenai hilang dan hadir.

Namun, dia –kehilangan— menjadi sebuah peristiwa menentukan dan bahkan menakutkan bagi kehidupan manusia. Seakan manusia ingin menyeret-nyeret peran Tuhan dalam kisah kesaksian tentang kehilangan dan kehadiran. Ihwal ini menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah, di depan Tuhan. Tidak di depan manusia. Sesungguhnya manusia sangat takut dengan peristiwa kehilangan. Sebab, kehilangan menyedia ruang kosong, hampa dan kering renjana. Sesuatu yang tak membasah dan menyubur. Sesuatu yang menyayupkan.

Demikianlah kehilangan demi kehilangan berlangsung di depan mata, sehingga dia menjadi sesuatu yang tak mempan dengan elakan-elakan bentuk apa pun jua. Bahwa sesutau yang memeran hidup, memeran watak, akan mengalami kehilangan-kehilangan itu. Bahwa yang abadi itu sesungguhnya adalah ’kehilangan-kehilangan’.

Kehilangan kita atas Gus Dur, menjadi interupsi agung dalam hingar-bingar kecelaruan politik, hukum dan demokrasi di Indonesia. Carut-marut ini memang memerlukan elakan agung atau interupsi gergasi. Gus Dur menghilang di tengah kehidupan kita, malah mempersembahkan kehadiran mengenai pemikiran-pemikiran besarnya tentang pluralisme, multi-kulturalisme, mengenai humanisme dan dimensi kemanusiaan yang menjadi junjungan dalam inter-relasi sesama manusia. Tak sudah sampai di situ, kehilangan ini juga menyeruakkan kehadiran baru mengenai ikhtiar trans-mutasi perilaku kita dalam tabiat berdemokrasi.

Junjungan agung demokrasi itu sendiri adalah humanisme, ya, kemanusiaan. Di atas segala-galanya, adalah kemanusiaan. Di atas aliran politik, di atas ajaran dan aliran kepercayaan apa pun jua, sesungguhnya yang berada di atas itu adalah kemanusiaan itu sendiri.

Kemanusiaan itu sangat dekat dengan ikhtiar untuk memunculkan diri dalam kaidah yang serba molek dan indah; penampilan, ucapan, bahasa tubuh dan rona ikutannya yang saat ini disebut sebagai seni. Bahwa seni, ujar Cassane adalah manusia tambah alam. Gus Dur memperlihatkan setiap insan itu membangun sudut-sudut kreatif untuk mempertahankan hidupnya melalui seni. Ihwal seni bukan semata terikat pada kuantum literasi (kesusasteraan), bahkan perang juga adalah seni ujar Nietzsche.

Seruakan-seruakan kaidah mengenai seni dan agama menjadi perbincangan yang hangat dan bahkan memanas dalam tabiat dan perilaku religiositas kita di dunia tropika. Bahwa agama dalam perjalanan dan gelombang peradaban, kalah tua berbanding seni. Begitulah kita yang lahir di sebuah tanah bernama Indonesia, apakah lebih dulu menjadi Indonesia atau menjadi Islam? Setiap tanah dan lokus membawa kaidah dan kiatnya sendiri-sendiri. Dalam agama apa pun melekat seni di dalamnya. Berapa banyak patung-patung (ikonoklasme) yang dibuat dalam tradisi agama Yunani kuno apakah berpihak pada resam Apollonian atau Dioneysian (Athena dan Sparta). Patung dalam tradisi agama-gama antik ini adalah bagian seni yang hadir untuk memberi kesan asketik. Begitu pula prosesi dalam agama-agama Ibrahim, lantunan lagu, resitasi ayat Alquran dalam bacaan salat, irama berzanji, qasidah dan sebagainya adalah lekatan-lekatan seni yang menempel dalam pangkuan-pangkuan agama. Agama itu membuai, ayunannya adalah seni.

Inilah semangat kosmopolitanisme dan pluralisme yang menjadi alas bertindak demi menjunjung kemanusiaan (humanisme) oleh Gus Dur. Dia bersahabat dengan siapa saja. Dia tak memiliki dendam dan tak bermusuh dengan siapapun. Setiap insan melekat di dalamnya sebuah relung kebaikan. Dia menjadi liar dan terliarkan ketika dikebat oleh kekuatan-kekuatan dan kepentingan yang bertabiat menekan. Pada suatu kali, Gus Dur menasehati adik bungsunya, Iim. “Jangan dendam kepada Soeharto, walau dia pernah ingin membunuhmu.

Sesungguhnya Soeharto punya alasan-alasan politis tersendiri oleh kelompok-kelompoknya. Dan itu bukan pendapat Soeharto pribadi”. Inilah yang menjadi sesuatu yang hilang dalam ke-indonesia-an kita hari ini. Bahwa kita hanya dibesar dan disarankan untuk senantiasa santun secara lahiriah, namun sesungguhnya tengah membangun istana kejahatan di dalam batin. Tampilan luar sangat baik, berujar ihwal-ihwal yang baik semata. Pengamat politik berujar: “semua politisi yang keluar dari mulutnya adalah yang baik-baik saja. Untuk itu jangan pernah percaya pada apa yang diujarkan. Tetapi percayakanlah pada apa yang dilakukannya”. Dan itulah politisi. Dan kita pun berada dalam benderang yang tiada tara dengan sorak-sorai menikmati dan menyuguhkan kesantunan lahiriah itu: demi menjaga hati orang banyak dan memelihara diri dan popularitas di tengah publik.

Kehilangan yang dinikmati melalui jiwa yang kosong, sesungguhnya memang dirindukan banyak orang ketika sebuah bangsa sedang mengidap sakit alias gering. Ketika perdebatan tiada sudah mengenai kehilangan-kehilangan yang dikonstruksi secara politik ekonomi dalam buana tragedi Bank Century, Gus Dur melakukan interupsi agung dan menyiramkan hujan nan lebat dalam sebuah kehilangan raga dan jiwa. Kehilangan ini memang dirindukan banyak orang, ketika semua media sesak dengan monologi pemberitaan dan wacana. Seolah-olah negeri ini memang dihuni oleh orang-orang yang berhati koyak dan sobek. Kehilangan ini menjadi jarum penjahit dan penyulam akan kekoyakan bangsa yang rapuh dalam sebuah musim demokrasi dan hukum yang serba kemarau dan kerontang.

Bencana ekologis yang menjadi putaran dialog antara bangsa di Kopenhagen, pada hakikatnya adalah ikhtiar untuk mengkonstruksi tentang keinsyafan ekologis atas bencana dan kerusakan alam yang telah dilakukan oleh manusia Indonesia dalam masa dan periode dunia yang tenteram. Selama 60 tahun dunia yang tenteram ini, Indonesia tidak dengan molek memanfaatkan momentum ini untuk membangun peradaban. Riau apatah lagi. Taiwan sebuah negara yang “dipertengkarkan” oleh zaman dengan Cina Daratan, namun dengan cantik memanfaat momentum dunia yang damai selama 60 tahun terakhir ini. Sejak usai Perang Dunia II, maka dunia dipersepsikan memasuki era damai. Dan momentum ini dimanfaatkan secara maksimal oleh Taiwan, Malaysia dan akhir-akhir ini oleh Vietnam. Dan Indonesia senantiasa tersungkur dalam dunia yang damai itu seraya membangun ilusi-ilusi dan mimpi yang tak pernah memperoleh manajemen yang jitu dan canggih. Walhasil kita mengalami ketersungkuran dan tak tau hendak berbuat apa.

Melalui jiwa yang kosong bangsa ini memandang masa depan yang hampa. Seberapa banyak interupsi demi interupsi diperlukan lagi untuk sebuah perenungan mengenai ’wilayah kosong’ ini? Berapa banyak kita harus mengalami kehilangan demi kehilangan? Demi sebuah interupsi yang senantiasa dalam kesaksian Tuhan yang dah jeri? Tuhan telah bersaksi tentang kehilangan dan kehadiran yang hanya menyisakan kesia-siaan di atas pangkuan manusia yang tak pernah insyaf. Dan kita berada di dalam lorong itu. Kita bergumul di dalam kehilangan demi kehilangan.***

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas