Riyadah Usia

Sunday 21 October 2012


Oleh : Yusmar Yusuf 
 
Usia itu membentang: ya, bentangan pita. Dan bentangan itu menggulung secara perlahan di pangkal, jelang menuju gulungan yang sempurna menutup ujung. Perlahan dan perlahan dia merayap dalam gulungan-gulungan kecil, sehingga ‘sejarah hidup’ manusia digulung dan dilipat sampai dinyatakan berhenti. Maka berakhirlah satu peran adegan yang dipersembahkan di permukaan bumi.

Desember bagi saya pribadi adalah bulan gulungan itu. Saya lahir pada sebuah ujung tahun di pangkal sebuah dekade. Tak ada semaian kisah heroik yang tersemai dan menyertai kelahiran itu. Sebuah kelahiran yang biasa-biasa saja. Dari ‘bani’ yang biasa-biasa saja, tidak biru, tidak gahara. Namun, diuntungkan oleh sebuah keniscayaan geografis; saya dilahirkan di sebuah pulau kecil di pangkal selat bergemuruh. Angin utara adalah badai yang menghempas teluk kami sampai membentuk teluk-teluk dan suak baru. Di celah-celah anakan teluk itu lah rima hidup saya merayap. Tamat utara, selat kami berwajah aquarium. Segala ikan berenang dan meloncat dalam keriangan aquatika. Selat teduh, pulau rimbun. Dia menjadi pelantaran surga masa kecil yang wangi.

Pulau ini kaya burung dan segala jenis fauna serta unggas endemik. Dia bertebing langsung dengan selat yang berpangkal nadi dengan sejarah-sejarah besar Melayu. Walau hidup sebentar di pulau ini dan menyeberang ke tanah benua, dia menjadi sesuatu yang dekat bagi diri pribadi. Maka, titian usia selanjutnya berlangsung dalam panjatan-panjatan benua, tanah besar dan tanah raya. Oleh kuakan usia yang memanjat (atau menurun?) tanah pulau ini pun menjadi sesuatu yang jauh dan asing. Dia hanya menghiasi perjumpaan-perjumpaan ruhani dalam imaji yang serba riang bagi seorang pengkhayal, seorang penulis atau seorang penggubah. Selanjutnya sejuk dan diam.

Gulungan pita usia itu, tidak pula berlangsung datar. Sesekali dia melonjak dan menurun walau tetap setia dalam format menggulung. Pada bentangan pita yang secebis itulah manusia melangsungkan serangkap peran dan watak, yang terkadang terkesan tarik ulur, menyepak ke samping, menendang bahkan menohok ke atas. Sesekali nugam terjun bebas ke bawah pada sebuah wilayah tiada palung. Usia seakan menjadi perangkat lunak tempat segalanya berlangsung dalam gulungan demi gulungan. Pada usia paruh baya, manusia telah terbiasa membaca penanda-penanda ‘berhenti’, lapuk, bakal menjelang ajal. Kisah-kisah kematian dan maut telah menjadi sesuatu keriangan baru dalam perjumpaan-perjumpaan spiritual dan fisikal di antara sesama. Dunia kanak-kanak nan jauh, seakan bisa direngkuh dalam bilangan detik, walau dia hanya sesuatu bayangan berkelebat sekedar untuk menyuburkan lupa tentang kisah ‘maut’ yang menjuntai di depan perjalanan.

Dan setiap orang pun merindukan kelahiran-kelahiran baru. Kelahiran baru itu berucap dalam idiom yang ragam, rempak dan sentak. Pada titian usia yang menurun ini, kelahiran baru itu bisa dalam bentukan kalungan penghargaan, pencapaian prestasi, menghasilkan magnum opus, penemuan-penemuan yang memperkaya khazanah kemanusiaan, persinggungan ruhani dengan prinsip-prinsip ekologis, sepelantaran peristiwa eskatologis [batin-spiritual] dalam perjalanan ’mencahari’ alter ego, atau mengalami maqam puncak sebagai warga Tuhan yang gahara.

Seakan gamang masuk ke wilayah senja. Orang berbondong-bondong membangun garis elakan. Semua ikhtiar mengelak ini dilembagakan dalam kecenderungan-kecenderungan urbanisme (mengkota); pusat kebugaran, gaya vegetarian, mobilisasi senam sehat, produk kecantikan, kesintalan. Selanjutnya merkanilisme kapitalis membangun pabrik susu kaya kalsium, demi kelahiran baru fungsi tulang dan anti-keropos. Kecenderungan bergaya ’gue banget’; warna pakaian menantang, gaya dan fashion kekinian juga sebuah cara menghadirkan ’kelahiran-kelahiran baru’ itu. Peristiwa mengkota [urbanisme] ini, dipandang dari mata kampung dia menjadi sesuatu yang mewakili kejalangan, sesuatu yang tak saleh. Tapi dalam gelegak yang lain, orang bisa saja menukil kaidah-kaidah yang dianggap ’menyimpang’ di atas adalah warna dari dzikir dalam bentuk lain.

Kenikmatan musikal, juga sebuah garis elakan yang menjadi penanda bagi kelahiran-kelahiran baru itu. Musik-musik yang dimasukkan dalam golongan ’renata’ ini, menyediakan perjumpaan kreatif tentang cara bersyukur di paruh usia yang menurun. Apakah semua ikhtiar ini dianggap sebagai pengelabuan terhadap realitas bergemuruh? Apakah semua bentuk sangkaan-sangkaan mengenai ’kelahiran-kelahiran baru’ ini sebagai cara pelarian yang dianggap saleh atau sebaliknya? Kepada mereka yang berada dalam kaum “positivistik”, bentuk garis elakan ini adalah bentuk lain dari cara bersyukur atas segala nikmat bentangan pita usia yang telah dilalui. Dia bukan sesuatu yang diperhadap-hadapkan secara oposisional dengan kesalehan yang dipersepsikan oleh kaum ulama dan berjanggut. Persepsi kesucian bukan milik sebelah pihak, dia adalah milik semua pihak. Suci, saleh adalah persepsi zaman, yang di dalamnya ada peran kebudayaan. Dan sesungguhnya, inti pati dari semua kebudayaan itu adalah agama. Sebab yang diusung oleh semua kebudayaan adalah ’kebaikan’ bagi orang per orang dan bagi sesama. Tak ada satu pun kebudayaan yang tak mendapat sentuhan ’agama’. Bahwa substansi dari kebudayaan adalah agama.

Bahwa siang bukan lawan dari malam secara opsisional. Siang adalah sisi lain dari malam. Begitu sebaliknya. Begitulah, setiap ikhtiar ’penciptaan’ kelahiran-kelahiran baru adalah sisi lain dari dzikir dan mengingat Tuhan yang cenderung dipersepsikan secara tradisional dan statis oleh kaum ulama. Kebudayaan memberi tafsiran-tafsiran yang berdimensi lokalitas dan terkadang bertabiat dengan pembawaan menjatuhkan ’talaq’.

Ingat tagline atau jargon; Melayu itu Islam dan Islam itu Melayu? Ini juga sebuah tafsir dan garis elakan. Seolah generasi Melayu hari ini memberi tafsiran dengan resam lokal (yang terbatas oleh ruang dan waktu) seraya menjatuhkan ’talaq’ (tiga) kepada datuk nenek-moyang kita 13 keturunan lampau. Kita seakan ingin memutus tali bani kita yang pernah diterpa oleh gelombang peradaban agnostisme, hinduisme dan budhidsme. Seakan yang Melayu itu adalah kita yang tercagak hari ini di bawah bendera Pan Islamica. Masa lalu kita berarti bukan Melayu. Apakah garis elakan ini juga dapat disebut sebagai lapisan kesalehan di depan Tuhan.

Di tengah usia yang menggelegak itu, saya berjumpa dengan generasi yang gairah menjatuh ’talaq’ terhadap sejarah dan kebudayaan masa lalu mereka. Kita menjadi generasi yang mengambang, tak memiliki akar tunjang. Dan kita bangga menjadi generasi yang bertabiat menjatuhkan ’talaq’ ketika kita tak suka dengan masa lalu kita yang dianggap kelam dan memikul sejumlah sejarah gelap (black history). Batangan dan bentangan pita usia itu tetap menggulung perlahan dan perlahan, menjemput ujung. Sepanjang kulum gulungan itu, orang menukil kebodohan dan merekam sesuatu dan terperangkap dalam chip yang tersedia; bahwa kita tak membuahi apa-apa sepanjang ’persetubuhan’ hidup yang di takung oleh bentangan usia. Kita hanya melaksanakan imaji-imaji rendahan dan serba murahan. Berlarilah dalam kelebat usia!!!*** 

Sumber http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=191&kat=58

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas