”Mengularkan” Kebudayaan

Sunday 21 October 2012

Oleh : Samson Rambah Pasir 

SECARA etimologi, kebudayaan adalah hasil kegiatan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia selaku makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Sebagaimana disitir UU Hamidy, seorang budayawan terbilang di tanah Melayu Riau, kebudayaan dapat disingau dari dua sisi: sebagai kata kerja dan kata benda. Sebagai kata kerja, kebudayaan adalah “proses”, sedangkan sebagai kata benda, kebudayaan adalah “hasil”. Dan keduanya (kebudayaan sebagai kata kerja dan kata benda) disebut peradaban atau tamadun.

Dalam mengurusi kebudayaan secara formal, negara terlanjur menempatkan kebudayaan serumah dengan pariwisata, termasuk di Batam dan Kepulauan Riau. Bilalah kebudayaan sebagaimana definisi di atas dalam mengurusnya diserumahkan dengan pariwisata, bukan tidak mungkin: kebudayaan yang diurus hanyalah yang berkaitan dengan kepariwisataan, atau yang memberi dampak pada pengembangan kepariwisataan. Alhasil, pengembangan kebudayaan bermakna “setakat”, berkonotasi “hanya”, dan cuma “sebatas”: untuk pariwisata. Penggalian, pembinaan dan pengembangan kebudayaan untuk kebudayaan itu sendiri menjadi dinomor-duakan – bilalah tidak diabaikan.

Mengurusi kebudayaan yang diserumahkan dengan pariwisata memang beresiko. Bila tidak diarifi secara bijak, bukan mustahil, dinas yang mengurusi pariwisata sekaligus kebudayaan bakal menganak-emaskan kebudayaan sebagai kata benda dan menganak-tirikan kebudayaan sebagai kata kerja. Kebudayaan sebagai kata benda bila dikerjakan semata-mata untuk daya tarik wisata, samalah artinya “melacurkan” kebudayaan untuk kepentingan material alias semata-mata mendatangkan devisa. Dalam proses berkesenian, misalnya, tidak lagi dijiwai secara akal budi, karena tujuannya semata-mata untuk kepentingan kepariwisataan. Dan matilah kesenian yang tidak menarik dan menghibur. Padahal, kebudayaan, termasuk kesenian, tugasnya tidak setakat menghibur. Dan tidak selamanya mesti menarik. Kebudayaan adalah ekspresi. Di rumah pariwisata, kebudayaan yang tidak menarik dan menghibur, akan mati.

Padahal, semestinya tugas kita adalah: bagaimana kebudayaan yang dijual sebagai daya tarik wisata tetap berpaksi pada ekspresi akal budi. Arti kata, pelaku kesenian atau pelaku budaya, dalam berkarya tetaplah bertolak dari “rumah” ekspresi. Bukan malah menggiring seniman dan budayawan berkarya semata-mata untuk yang  punya nilai jual kepariwisataan. Dan lebih teruk lagi, bila kita tidak ambil berat pada senibudaya yang dianggap (padahal belum tentu) tidak menunjang kepariwisataan seperti seni ekspresi yang mungkin tidak menarik sebagai tontonan dan hiburan. Yang namanya seni ekspresi seperti teater kontemporer, pembacaan puisi, kegiatan sastra dan sebagainya, pastilah lebih mengutamakan “isi” daripada “kulit”, mengedepankan makna dari pada asesoris. Dan relatif tidak menarik bagi orang awam.

Mengembangkan kebudayaan, termasuk yang menunjang kepariwisataan, tidak dapat dipandang hitam putih semata: profit non profit. Orang-orang yang terbabit mengurusi kebudayaan, harus dapat berpikir idealis sekaligus pragmatis. Idealis, memposisikan kebudayaan sebagai kebudayaan itu sendiri, dan pragmatis memposisikan kebudayaan sebagai daya tarik wisata. Dalam proses penciptaan karya budaya, bila tidak bertolak dari akal budi dan jatidiri, alamatlah produk kebudayaan kehilangan ruh. Bila ini yang terjadi, produk kebudayaan akan menjadi benda mati. Dan sungguh memilukan. Produk kebudayaan seperti kesenian yang ditaja untuk menarik wisatawan, tidak dapat disamakan dengan produk ekonomis lainnya.

Secara sederhana, kebudayaan lahir dari jiwa (sukma) dan bertolak dari akal budi. Ketika kebudayan berproses secara wajar dan lahir sebagai kata benda, silahkan dijual sebagai penarik wisata. Produk budaya itu lahir atas kehendaknya sendiri, dengan tulus ikhlas. Ketika sudah menjadi kata benda setelah menjalani proses sebagai kata kerja, ianya memberi andil dalam dunia pariwisata, itu persoalan lain.

Proses melahirkan produk budaya memang berbeda dengan produk materialis lainnya. Produk materialis seperti pakaian, mobil, makanan, kacamata, beha, sandal, dsb sebelum dipasarkan, dikaji terlebih dahulu selera pasar, baru dirancang dan diciptakan. Sedangkan produk budaya tidak bisa begitu, karena ianya adalah ekspresi. Seniman berkarya dan lahirlah produk kesenian seperti tari, musik, lagu, lukisan, puisi, dsb tanpa harus prakmatis dengan pasar. Memang ada produk kesenian yang dihasilkan dengan terlebih dahulu membaca selera pasar, dan itulah seni pop. Seni semasa yang cepat luntur dibasuh waktu. Kebudayaan bukan seni pop, walau seni pop juga termasuk produk budaya.

Wacana di atas saya ungkai kembali karena banyak keluhan muncul di tengah masyarakat, terutama di kalangan seniman dan budayawan: kebudayaan sebagai kata kerja dianak-tirikan, dan kebudayaan sebagai kata benda yang memberi nampak pariwisata dianak-emaskan. Maka tidak heran bila di kalangan seniman dan budayawan muncul sebuah kehendak: Kebudayaan biar dibuatkan rumah sendiri. Di tingkat pusat kebudayaan biar diurus kementrian kebudayaan, dan di daerah diurus dinas kebudayaan atau kantor kebudayaan.

Aspirasi ini saya kira bukanlah tidak beralasan. Coba kita buka dokumen yang memuat daftar pengangaran untuk kedua sektor yang diserumahkan itu: bidang pariwisata lebih banyak menyerap anggaran, sedangkan bidang kebudayaan sangat sedikit. Juga dalam SOTK (susunan organisasi tatalaksana kerja). Sebagai contoh di Pemerintah Kota Batam: dari empat bidang di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, cuma satu bidang yang membidangi kebudayaan, sedangkan yang tiga lainnya mengurusi pariwisata.

Sudah saatnya pemerintah Kota Batam berpikir membuatkan “rumah” sendiri untuk mengurus kebudayaan. Itupun kalau kita sepakat dengan defenisi kebudayaan sebagaimana dipaparkan pada awal tulisan ini. Tetapi, kalau masih juga “menyerumahkan” kebudayaan dengan pariwisata, maka kebudayaan akan terus diposisikan sebagai pelengkap atau penunjang pariwisata. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Jakarta (sekadar contoh) , kebudayaan sudah punya rumah sendiri, atau diurus oleh SKPD (satuan kerja perangkat daerah) tersendiri. Artinya, bukan tabu “menceraikan” kebudayaan dengan pariwisata, walau di tingkat pusat diserumahkan. Bahkan, “perceraian” itu juga harus dilakukan di tingkat pusat.

Tugas kebudayaan bukan setakat, sekadar dan hanya untuk pengembangan pariwisata. Tugas kebudayaan lebih luas dari itu. Kebudayaan adalah peradaban, tamadun. Jadi amatlah mulia tugas kebudayaan itu. Maka ianya harus diurus secara benar. Kebudayaan bukanlah semata kata benda yang dapat dijual dan penghasil devisa. Lebih jauh dan lebih penting, kebudayan adalah kata kerja: sebuah proses yang membentuk dan melahirkan peradaban. Kebudayaan bukan setakat tontonan yang dapat menghasilkan tepuk tangan lantaran menarik dan menghibur. Kebudayaan adalah ekspresi, jati diri, identitsas sebuah bangsa. Tugas kebudayaan bukan melayani. Juga tidak minta dilayani. Sebagaimana agama, kebudayaan adalah kebutuhan manusia yang beradab. Dan produk budaya bukan semata jualan. Kebudayaan yang hakiki adalah kegiatan, proses, dan penciptaan peradaban. Bukan daya tarik untuk mendatangkan orang sebagaimana ular atau permainan sulap bagi seorang penjual obat.

Dalam kenyataannya – walau tidak dihajat dengan sengaja – kebudayaan yang diserumahkan dengan pariwisata, selalu diposisikan sebagai ular atau permainan sulap sebagai daya tarik itu. Ketika orang sudah berkumpul mengelilingi sang penjual obat, ular dimasukkan ke peti, dan perangkat sulap disimpan di dalam kotak. Tidak, Saudara! Kebudayaan tidak senista itu! ***

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas