Memeluk Diam

Sunday 21 October 2012

Oleh : Yusmar Yusuf 
Yusmar Yusuf
Disuruh diam, malah heboh. Dianjur senyap, geram menggerutu. Ada seorang tua yang meniup lilin dalam upacara sebuah ulang tahun (harijadi) dirinya, di dalam bingkai mata kanak-kanak, ialah kehadiran tentang sesuatu yang mendera usia dan persimpangan yang tak terduga. Sebuah alam permainan dengan instrumen rengekan untuk dimajeliskan, namun tak pernah kesampaian pada masa kanak-kanak. Maka, hanya bisa tunai di hari tua. Tugas perkembangan yang diawetkan, ketika dia hilang di masa lalu. Dan manusia urban pun mengklaim bahwa serangkaian upacara yang mendakukan diri di tengah majelis orang ramai dalam kerlap selebrasi itu adalah cara menunjukkan 'aku ada': celebro ergo sum. Selari dengan 'consumo ergo sum'. Majelis itu menjadi instrumen sekaligus perangkap, mengenai jebak dan terjebak.

Puasa menggiring manusia untuk kembali ke 'rumah senyap'. Sebuah titian ibadah yang sangat pribadi. Tak memerlukan baliho atau cara pengungkapan verbal apapun. Hanya aku dan Dia yang tahu. Di sini, di rumah senyap ini, manusia menggenggam diam, memeluk senyap, memangku sepi, tak gemuruh, tak gempita dan tak gemeretap. Pada ketika itu pula manusia melempar segala atribut yang melingkar badan sebagai instansi pewarta kepada dunia. Segala atribut dan simbol yang melekat dalam sejumlah warna, garis dan bidang, dia tak lebih dari serangkaian penanda 'pada badut' di depan Tuhan.

Ada seorang tua di Swiss yang menghabiskan hari-harinya berteman dan bergaul dengan kanak-kanak hingga dia menjilat usia senja. Dia melayani sekaligus belajar dan menemukan serangkaian manual analog atau 'petunjuk' program yang ada dalam chip makhluk manusia yang baru muncul di muka bumi itu.

Sebagaimana produk IT yang selalu disertai dengan buku petunjuk penggunaannya, menjadi penuntun bagi kita untuk mengguna dan memakai produk itu, bisa  bernama handphone, komputer, yang dikebat dalam sejumlah program dan aplikasi tak terduga bernama android atau iOS.

Begitulah, anak manusia yang baru lahir, membawa program Tuhan. Kelahirannya tidak disertai 'buku petunjuk'; bagaimana berinteraksi, bagaimana mengenal dan ke mana gerangan makhluk ini hendak menjadi ? Orang tua itu bernama Jean Piaget. Lalu? Fase pertumbuhan dan perkembangan awal manusia di masa kanak-kanak adalah gambaran dari dunia 'selebrasi' itu. Mereka baru menghirup oksigen dan udara segar dunia, dalam sejumlah keceriaan ekspresif dan harus diungkapkan pula dengan jalan-jalan ekspresif dan serba heboh. Dan alam bermain, menjadi sesuatu yang melekat kepada alam kanak-kanak. Setelah dewasa, sejatinya manusia memeluk diam, mengemas dan melipat diam menjadi kebijaksanaan untuk melahirkan kreativitas. Sebab, kreatif itu adalah persuaan antara gerak dan diam.

Ramadan ialah sebuah bulan yang menjumlah diam. Namun, pada masa itu pula kita heboh mengunjungi pasar murah dan menerkam obyek senja dalam sederetan heboh para penjual muda, ceria dalam sejumlah model 'permainan' masa kanak-kanak. Bulan-bulan begini tersulap menjadi bulan para sektor UKM. Negara ini telah terledor menjadi negara UKM terbesar di muka Bumi yang ditandai oleh sejumlah kehebohan; pasar tumpah di mana-mana, pasar kaget di mana. Ihwal ini muncul karena para retail raksasa menusuk ke jantung pertahanan mereka di pusat-pusat kota. Sektor informal tak dapat tempat menyorakkan kehebohan, mereka malah digusur, dikejar. Dianggap sebagai perusak keindahan kota. Lalu, alam bermain itu menjadi kian panjang; dikejar dan digusur. Kita pun selalu setia menjalani masa kanak-kanak (infant) itu, karena kita tak dihajatkan menuju masak, matang dan dewasa.

Ramadan menuntun untuk meninggalkan garis 'infant' itu. Manusia pun diajak bercanda dengan senyap, berkelakar dengan sunyi dan serba diam. Setiap agama menghargai senyap dan diam, sebagai tangga psikis untuk mendaki aras asketis dan eskatologis. Biarlah keriuhan berlalu dengan bayangnya. Dan biar pula sang senyap hadir dengan bayangnya pula. Dan Tuhan pun hadir sebagai Sang Pengujar (Mutakallim). Demi keperluan itu, Tuhan menggunakan bahasa manusia untuk mendaraskan pesan. Bahasa itu juga mengajar tentang senyap dan diam. Bahasa apapun yang dipilih Tuhan untuk mendaraskan pesan itu, dia tetap bahasa manusia yang dimengerti oleh manusia. Demi keperluan sebagai Sang Pengujar, bayang yang disampaikan melalui bahasa itu pun terkesan ambigu bagi manusia. Dari sinilah mulai interpretasi yang beragam dan saling menyalahkan itu  oleh sesama manusia. Dari sini terbit kehebohan dan saling mengkafirkan. Senyap dan diam, ditinggalkan dalam sebuah ruang pengap berdebu. Manusia bercumbu dengan serba bising dan menerkam.

Terkaman itu bisa berwujud dalam deretan penanda; berjubah, sorban, kopiah haji, tasbih yang melekat di ujung jari, titik dahi menghitam, poster-poster penanda alim dan taqwa, baliho ucapan selamat berpuasa yang mengepung keindahan alam Allah sepanjang garis dan taman kota, status BB dan facebook dengan tagline tematis serba 'mendekat' kepada efek citra Ilahiah dengan bunyi; ke masjid, ma'rifatullah, manaqib, atau tulisan Arab dengan ayat-ayat Qur'anik yang tidak menggambarkan segi eksploratif sang pemilik status itu.

Hanya demi up date dan up date (pemutakhiran tampilan).  Dan kita pun terjebak dengan serangkaian penanda di depan Tuhan sebagai 'makhluk' yang mengutamakan atribut dan simbol, bukan keimanan itu sendiri yang terhidang di sebuah 'istana' tempat persemayaman efek Ilahiah bernama hati. Kita menjadi sederetan para badut yang menjijit, menempel, memikul dan memanggul sejumlah pangkat, atribut, simbol yang dikonstruksi sebagai sejumlah ihwal tentang kedekatan kita dengan Dia. Cara mengungkapkan diri, bahwa Tuhan melihat dan menyimak detail setiap simbol dan atribut itu.

Semua detail simbol itu adalah produk kebudayaan manusia. Termasuk peristiwa majelis harijadi yang diselenggarakan oleh orang tua dalam model selebrasi di hotel-hotel berbintang, di mata kanak-kanak, dia tak lebih dari tindakan para badut. Kernyit dahi keheranan seorang kanak-kanak, sebenarnya ejekan maha dahsyat tentang makna heboh dan kehebohan. Kanak-kanak, mengajar kita merenung dan memeluk diam, mengajar kita melancong makna dalam lorong Ramadan.***

Sumber http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=897&kat=58

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas