Membongkar Legenda dengan Sentuhan Kekinian

Sunday 21 October 2012

Oleh : Hang Kafrawi 

Upaya menghidupkan peristiwa lagenda pada hari ini, merupakan salah satu cara untuk membongkar nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Cerita fiksi, seperti lagenda, menyediakan ruang kepada manusia hari ini untuk melakukan penafsiran, sehingga cerita lagenda itu tidak terkubur begitu saja. Bagaimanapun juga, lagenda diciptakan oleh manusia masa lalu untuk ‘memancang’ tokoh-tokoh yang dapat jadi panutan.

Cerita lagenda tidak akan pernah usai, dia akan senantiasa mewarnai kehidupan manusia sepanjang zaman. Namun demikian, tidaklah ‘haram’ mempermak cerita lagenda tersebut menjadi sesuatu yang baru. Hal ini dilakukan supaya cerita lagenda tersebut memiliki relevansi pada hari ini.

‘Tangan-tangan’ kreatif generasi hari ini, tidak henti-hentinya ‘menyulam motif’ baru di atas imej legenda yang sudah mampan itu. Bukan berarti pekerja kreatif hari ini hendak ‘menumbangkan’ keperkasaan lagenda. Upaya penafsiran kembali legenda adalah suatu cara menghidupkan kembali legenda sesuai dengan zaman. Hal inilah yang dilakukan oleh Sanggar Teater Selembayung dengan memantaskan ‘’Melodi Pengakuan’’ yang berangkat dari kisah Lancang Kuning. Pementasan teater ini berlangsung selama tiga malam (3-5 Mei) di Anjung Seni Idrus Tintin.

Rina Nazaruddin Entin (RNE), penulis naskah sekaligus sutradara ‘’Melodi Pengakuan’’, membongkar sebab-sabab mengapa tokoh-tokoh dalam cerita Lancang Kuning melakukan tindakan yang pada akhirnya ‘memakan’ korban seorang perempuan hamil tujuh bulan bernama Siti Zubaidah. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa cerita Lancang Kuning berkisah tentang perahu berwarna kuning (diyakini perahu raja-raja Melayu) tidak dapat diturunkan ke laut. Untuk menurunkan Lancang Kuning itu, diperlukan tumbal perempuan yang sedang hamil tujuh bulan. Tidak bisa turunnya Lancang Kuning ini ke laut, merupakan ‘rekayasa’ Panglima Hasan yang cintanya ditolak oleh Siti Zubidah. Siti Zubaidah memilih Panglima Umar, teman dekat Panglima Hasan, menjadi pendamping hidupnya.

Ruang untuk mewujudkan dendam Panglima Hasan terbuka lebar, ketika suami Siti Zubaidah, Panglima Umar, berangkat menumpas lanun di Tanjung Jati. Untuk mewujudkan sakit hatinya, Panglima Hasan dibantu Bomo (dukun, red) mengaitkan sebab mengapa Lancang Kuning tidak bisa diturun ke laut dengan darah perempuan tujuh bulan, dan Datuk Laksemana ikut terkorbankan oleh rekayasa Panglima Hasan. Siti Zubaidah yang sedang hamil tujuh bulan menjadi semah penurunan Lancang Kuning dan Datuk Lasemana mendapat padahnya, dibunuh oleh Panglima Umar setelah mendapat penjelasan Panglima Hasan, bahwa Datuk Lasemanalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Siti Zubaidah.

Tidak jauh berbeda dengan teks Lancang Kuning, ‘’Melodi Pangakuan’’ juga bercerita tentang peristiwa pengkhianatan disebabkan cinta. Bedanya, naskah drama yang ditulis Rina NE, masing-masing tokoh bercerita dengan cara monolog. Tokoh satu dengan tokoh yang lain tidak bersinggungan secara pisik. Rina sebagai penulis naskah yang nota bene seorang perempuan, nampaknya mengarahkan kalimat-kalimat yang terangkai dari ucapan para tokoh ‘menyanjung’ Siti Zubaidah. Siti Zubaidah, dalam naskah ‘’Melodi Pengakuan’’, didaulat sebagai tokoh perkasa yang rela menyerahkan nyawanya untuk tetap bertahan mempertahankan kesejatian dan kesetiaan menjaga cintanya.

Signal ‘’Melodi Pengakuan’’ menyanjung perempuan dimulai dari tokoh ibu (tokoh masa kini) menceritakan kepada anak perempuannya di awal cerita ini. Selanjutnya para tokoh masa lalu menjelaskan bagaimana Siti Zubaidah tetap bertahan dalam kesetiaannya, walaupun harus mengorbankan nyawanya. Panglima Hasan sebagai tokoh antagonis, berulang-ulang menjelaskan bahwa Siti Zubaidah sangat perkasa menjaga ‘bentang’ (setia) keperempuanan, walaupun dijanjikan oleh Panglima Hasan dengan kebahagiaan. Inilah kehebatan perempuan, menjaga kesetiaan sampai akhir hayatnya.

Pemanggungan Penuh Kejutan
Naskah drama diciptakan untuk kepentingan panggung. Untuk itulah, teks naskah drama selalu memikirkan tangga dramatik; mulai dari perkenalan tokoh yang menarik, konflik yang tajam, klimaks yang menyentak, sampai penyelesaian cerita yang memuaskan, sehingga ketika naskah drama divisualkan di atas panggung akan menarik untuk dinikmati. Menyadari naskah ‘’Melodi Pengakuan’’ berisi monolog-monolog panjang sang tokoh, Rina selaku sutradara ‘mengakali’ dengan kejutan-kejutan yang memikat. Seandainya Rina tidak mampu menghadirkan kejutan-kejutan, maka pementasan ‘’Melodi Pengakuan’’ yang dipentaskan selama tiga malam berturut-turut itu, akan ‘menyandra’ penonton dengan kemonotonan.

Rina dibantu Saho Riau di bidang set panggung, mampu menghadirkan set panggung yang memikat. Pada awalnya panggung hanya dihiasi papan berwarna putih, dapat mewakili ruangan sebuah rumah di mana seorang ibu menceritakan kisah Lancang Kuning kepada anaknya. Tiba-tiba, dinding rumah itu ‘menghilang’ disaat tokoh-tokoh masa lalu, tokoh-tokoh cerita Lancang Kuning, muncul di atas tempat tinggi yang bergerak mengisi panggung. Dibantu pencahayaan total yang ‘ditukangi’ Romi Romanix dan Ammesa Aryana, menciptakan suasana sakral. Masing-masing tokoh ‘disirami’ dengan warna lampu yang melambangkan karakter mereka. Musik yang digarap Ridho Fatwandi dan Zalfandri, mampu menghadirkan suasana untuk mendukung para tokoh.

Setelah dihantar dengan teknik muncul yang mengejutkan, para aktor berperan sangat penting ‘menghidupkan’ cerita di atas panggung. Tokoh Panglima Hasan yang diperankan oleh Fedli Azis, seakan tidak mau ‘ditelan’ oleh ‘kemegahan’ artistik. Fedli mampu menjadi Panglima Hasan dengan baik. Peran antagonis yang dibebankan pundak Fedli dapat terwujud dari gerak tubuh, warna vokal dan ekspresi. Walaupun demikian, kalimat-kalimat panjang yang melompat dari mulut ‘’Panglima Hasan’’ terasa melelahkan, namun Fedli mampu mengatasinya dengan beberapa kali menghentakkan kakinya. Ini adalah upaya aktor untuk ‘membangun’ penonton.

Sebagai Datuk Lasemana, Rian Harahap belum mampu seuntuhnya menjadi orang yang penuh karismatik. Rian bukan tidak berupaya ‘menjadi’ Datuk Lasemana, namun pemilihan warna vokalnya, tidak mendukung, sehingga terkesan Datuk Lasemana itu orang yang lemah. Rian juga berupaya ‘memecah suasana’ monoton dengan melakukan gerakan tubuh yang menawan untuk ‘menyadarkan’ penonton. Beberapa kali Rian bergerak untuk menyentak penonton dan pada akhirnya, Rian menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tinggi itu.

Menyadari inspirasi untuk membangkit semangat kaum perempuan, Mimi Suryani yang berperan sebagai Inang, ‘bermain’ dengan akting menarik. Mimi mengeluarkan segala kemampuan aktingnya, dan mampu mengimbangi ‘’Panglima Hasan’’ yang diperankan oleh Fedli. Ketegaran, perlawanan untuk menghalang ambisi Panglima Hasan, mampu diperagakan Mimi Suryani di atas panggung.

Berperan sebagai Panglima Umar, Ekky Gurin Andika, hadir sebagai sosok yang kokoh dengan aktingnya kuat. Eki mampu menjelma sebagai Panglim Umar dengan bermacam permsalahan yang ada di dadanya. Panglima Umar yang menerima kenyataan istrinya dibunuh dengan bayi di kandungan, dikhianati oleh Panglima Hasan yang sudah dianggap saudara sendiri, dan menghabisi nyawa Datuk Lasemana tanpa usul periksa terlebih dahulu. Beban menanggung penderitaan ini terwujud dalam akting Ekky. Ekky pun menyadari, bahwa kalimat yang diucapkannya terlalu panjang, maka Ekky pun beberapa kali menyentak penonton dengan hentakan kakinya ke lantai untuk membuat efek kejutan bagi penonton. Sebaliknya, tokoh Bomo yang diperankan oleh Rinaldi, kurang ‘mengigit’. Rinaldi seakan ‘kehilangan’ menjadi Bomo yang licik. Dia tidak mampu meyakinkan penonton dengan aktingnya.

Sebagai tokoh sentral, Lina yang berperan sebagai Siti Zubaidah, belum mampu menghadirkan sang tokoh sebagai perempuan yang tegar. Lina dengan suaranya yang kurang berkarakter, terlalu memaksa. Bisnis akting dan vokal yang digunakan Lina, belum mampu menampakkan Siti Zubaidah yang menjadi pembicaraan tokoh-tokoh sebelumya. Akting Lina di bawah akting aktor-aktor yang lain, sehingga cerita yang menjunjung Siti Zubaidah ini, tidak terlihat. Lina masih lemah dalam berakting.

Rina seakan menyadari bahwa naskah yang ditulisnya sangat sukar dihadirkan di atas panggung. Untuk mengakali inilah, Rina menghadirkan tarian yang digarap oleh Syafmanefi Alamanda untuk membantu mengisi beberapa kekosongan. Nanda sebagai koreografer, mencoba mewujudkan karakter para tokoh dengan membuat gerakan tarian.

Bagaimanapun juga, pementasan ‘’Melodi Pengakuan’’ telah menghidangkan sesuatu yang baru. Baik dari dekor panggung yang menawan, pencahayaan yang mampu menciptakan suasana dan karakter, serta musik pengiring yang ‘padan’ (cocok). Secara keseluruhan, garapan ‘’Melodi Pengakuan’’ menarik. Mungkin perlu mendapat perhatian, video visual pembukaan pementasan ini, yang digarap Sendy Al Pagari, terlalu lama, sehingga terasa melelahkan. Padahal video visual itu hanya memperlihatkan peristiwa yang sama dengan isi cerita dalam naskah ‘’Melodi Pengakuan’’.***


Hang Kafrawi
Lahir di Teluk Belitung, Kepulauan Meranti dan aktif dalam berbagai aktivitas seperti teater dan sastra. Dia juga tercatat sebagai Ketua Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan dosen di Akademi Kesenian Melayu Riau. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

Sumber http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=872&kat=52

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas