Konsep Kesultanan Melayu

Sunday 21 October 2012

Oleh : Bambang Kariyawan Ys 

SESEORANG dianggap sebagai Melayu apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut: seorang Islam, berbicara bahasa Melayu, mempergunakan adat Melayu dan memenuhi syarat menetap tertentu. Jadi istilah Melayu berdasarkan kultural. Salah satu ciri dari orang Melayu ialah memegang konsepsi kesultanan yang menunjukkan bagaimana pentingnya fungsi sultan pada orang Melayu mengenai suatu kebijakan negara dan pemusatan sesuatu terhadap sultan di dalam identitas kultural orang Melayu tua. Sultan adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).


Kerasnya konsep kesultanan itu dulu ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu seperti Ada sultan adat berdiri, tiada sultan adat mati dan biar mati anak, daripada mati adat. Arti kesultanan di sini adalah wilayah kediaman yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat menghormati sultannya yang turunan dari dinasti tersohor yang terus menerus yang berguna untuk legitimasi karena rakyat dan negeri mudah dicari, tidaklah demikian dengan dinasti purba yang tersohor. Selama dinasti itu utuh, tidaklah ada alasan untuk membubarkan kesultanan. Sesuai dengan adat di zaman Hindu dan Budha, sultan dianggap bodhistva yang memberikan tantra dan kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia (bakti) dengan anugerah.

Ada seperangkat alat musik Nobat yang menjadi bagian dari Regalia sebagai seperangkat alat penobatan sultan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral penuh supernatural power misalnya dengan meletakkan Jin kesultanan di situ. Pada penabalan sultan baru, tidaklah sah jika tidak dinobatkan. Di zaman dahulu jika terdengar alat musik Nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolah-olah sultan berada di situ (Sinar, 1985).

Sultan itu berdaulat dan mempunyai kesaktian yang tidak dimiliki rakyat biasa. Sultan berdaulat karena menurut konsep ajaran Islam yang dibawa kemari abad ke-13 dan 14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu, sultan memakai titel Sultan atau Syah dianggap Zil Allah Fiil Alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia). Disebut bahwa sultan yang adil beserta Rasulullah ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika engkau melaksanakan tugasmu kepada Rasulullah itu seakan-akan semua melaksanakan tugasmu kepada Tuhan.

Tajussalatin dari Pahang menempatkan sultan di atas dunia selaku wakil Tuhan. Konsep ini kemungkinan besar diperoleh melalui Sultan-sultan Islam di India. Orang Sufi menambah memegahkan sultan sebagai Insan Al Kamil (The Perfect Man). Oleh sebab itu prinsip durhaka adalah pantangan yang besar kepada orang Melayu karena melawan daulat. Di zaman sebelum berkuasanya penjajah Barat, seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh sultannya, mereka menyanggah dengan cara mengumpulkan harta benda dan keluarganya lalu naik perahu pergi meninggalkan negeri itu pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan sultan tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatannya tergantung dari sedikit atau banyaknya rakyat yang setia.

Dalam membicarakan unjuk rasa, para sarjana sering menggunakan istilah amukan, karena kata amukan lebih akrab dengan bahasa sehari-hari masyarakat Melayu. Unjuk rasa sebagai sindrom khusus yang terkait dengan budaya ketidakpuasan. Seseorang atau satu masyarakat disebabkan oleh kekalahan, ketertindasan, penipuan, pemerkosaan dan kezaliman, sehingga bila tidak disalurkan dapat menjadi semacam tekanan jiwa.

Dalam masyarakat tradisional, rakyat biasa yang tidak mempunyai keistimewaan tidak mungkin bisa melakukan mobilitas. Salah satu cara yang dapat mengubah nasib ialah mengabdi kepada sultan atau pembesar. Ini dapat dibuktikan ketika Hang Tuah dan rekan-rekannya menjadi kesayangan Sultan Malaka setelah mereka menunjukkan keberanian membunuh pengunjuk rasa di pulau Bintan dan di kampung Bendahara Raja, walaupun ketika itu mereka masih terlalu muda. Unjuk rasa yang sangat terkenal dan berhubungan dengan sikap durhaka ialah unjuk rasa Hang Jebat. Hang Jebat menolak tindakan Sultan Malaka menghukum bunuh Hang Tuah, sahabat baiknya, yang telah berjasa kepada sultan dan kesultanan.

Meskipun segalanya berpusat pada sultan, sultan sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan orang besarnya, karena mereka inilah yang mempunyai kekuasaan yang riil sebab sultan dengan orang besarnya itu ibarat api dengan kayu, saling komplementer. Juga tiada rahasia kepada rakyat mengenai hal yang menyangkut kemaslahatan orang banyak yang dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Tugas sultan haruslah mengindahkan hukum Islam, karena Sultan Khalifatullah fi’il ard. Sultan harus adil, dan mengutamakan rakyatnya dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seperti ini dapat kita baca panjang lebar dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyararuddin dari Serdang (1854).

Kewajiban itu tercermin didalam pepatah:

Raja memegang adat yang kanun
Adat pusaka turun temurun
Adil, arif, bijak bersusun
Pandai meneliti zaman beralun


Di zaman dahulu jelaslah dianggap bahwa without the institution of the Raja, the Malay word have fallen into counfusion (Milner, 1977). Oleh sebab itulah Belanda sangat gigih berusaha menghancurkan lembaga Orang Besar di semua Kesultanan Melayu, karena Belanda tahu bahwa pada Orang Besarlah terletak kekuasaan politik. Dengan demikian diharapkan agar sultan itu tinggal sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah dan mudah menjadi alat Belanda. Tetapi sultan tanpa Orang Besar adalah sama sekali asing di dalam sistem pemerintahan Melayu, karena tugas sultan sebenarnya hanyalah berhubungan dengan tatakrama saja dan padanyalah terletak kultur yang tinggi.

Untuk mengekalkan sifat keistimewaan sultan sebagai pemerintah maka ditonjolkan kepercayaan bahwa sultan itu mempunyai kuasa yang luar biasa yang biasa dipanggil daulat. Seseorang yang melakukan kesalahan kepada sultan seperti tidak bertutur dengan menggunakan bahasa sultan dihadapannya akan mendapat tulah (kecelakaan) akibat dari kekuasaan daulat yang dimiliki oleh setiap sultan. Untuk mengukuhkan kedudukan istimewa sultan-sultan, maka diadakan berbagai adat istiadat untuk mengagungkan sultan seperti adat pertabalan, istiadat menyembah atau menghadap sultan di balairung, sementara sultan duduk di tempat persemayaman khas. Sultan diberi keistimewaan memakai pakaian-pakaian yang tertentu yang dilarang rakyat memakainya kecuali dianugerahkan oleh sultan. Melalui berbagai peraturan tersebut kedudukan sultan mendapat penghormatan yang tinggi di kalangan rakyat.

Apabila seorang sultan mangkat, pemilihan sultan baru selalunya jatuh kepada puteranya yang tertua, yaitu anak gahara yang telah diberi gelaran raja muda, yaitu putera mahkota yang telah terlebih dahulu ditunjukkan sebagai bakal menjadi sultan (Hamid, 1988). Pemilihan atau penggantian Sultan dilakukan apabila Sultan mudah meninggal atau mangkat. Pengganti Sultan boleh puteranya dan boleh pula saudara lelakinya. Biasanya sebelum Sultan mangkat ia sudah menyiapkan calon penggantinya. Bila puteranya, maka sebelum diangkat jadi putera mahkota, terlebih dahulu Sultan mengadakan mufakat dahulu dengan Dewan Menteri dan Pembantu Sultan. Tapi saran pembantu Sultan tidaklah mengikat. Saran dari Dewan Menteri memang menjadi pertimbangan dan bila sudah diputuskan oleh Dewan Menteri bersama Sultan, maka putusan itu dapat diubah lagi oleh sultan, tanpa persetujuan Dewan Menteri. Bila putera mahkota belum cukup dewasa, tapi Sultan sudah mangkat, maka sebagai pejabat sementara dipegang oleh salah seorang Dewan Menteri yang disepakati mereka. Dapat juga dipegang pleh paman putera mahkota, bila itu mendapat persetujuan Dewan Menteri (Asmuni, 1985).


Daftar Rujukan:

Asmuni, Marleily R. (1985). Sejarah Pertumbuhan Kerajaan Siak Sri Indrapura dan
Sistem Pemerintahannya
. Jakarta: Depdikbud.

Milner, AC. (1977). The Malay Raja: A Study of Malay Political Culture in East
Sumatera and the Malay Peninsula in the Early 19th Century.
Thesis.

Sinar, Tengku Lukman. (1985). Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur.
Makalah dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.
Tanjung
Pinang: Tim Penyusun.


Penulis:
Bambang Kariyawan Ys.
Guru SMA Cendana Pekanbaru

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas