Hamzah Fansuri, Penyair Modern Pertama

Sunday 21 October 2012

Oleh An Ismanto 

PEMBICARAAN tentang kemodernan puisi Melayu/Indonesia biasanya merujuk pada klaim Sutan Takdir Alisjahbana di dalam ruangan “Memajukan Kesusastraan” di majalah Panji Pustaka dan pemuatan sajak-sajak di majalah Pujangga Baru, yang diterbitkan sejak tahun ke-2 (1934) hingga tutup usia pada masa pendudukan Jepang di ruangan-ruangan sastra itu, Sutan Takdir Alisjahbana sebagai redakturnya memuat puisi-puisi yang kemudian ditabalkannya sebagai “puisi baru”.

Puisi baru adalah pancaran masyarakat baru (STA, 2004: 5). Pertalian antara puisi dengan masyarakat ini penting karena bagi STA, kesusastraan merupakan bagian dari perubahan masyarakat, bahkan merupakan pelaku perubahan itu. Masyarakat baru dirumuskan sebagai masyarakat yang telah mendapat pengaruh zaman modern. Menurut STA, sifat pengaruh zaman modern adalah “mererakkan rali-tali yang mengikat dalam masyarakat lama” (Kleden dkk [ed], 1988: 112).

Pengaruh zaman modern yang paling kentara tampak pada para “penyair baru”,  yang menolak ikatan-ikatan lama dalam puisi. Pilihan kata, susunan kalimat dan irama yang lama tidak memuaskan bagi mereka. Setiap penyair baru menghendaki kebebasan yang sebesar-besarnya bagi dirinya, sebab menurut keyakinan dan perasaannya, yang lahir dari hati dan otaknya hanya dapat diucapkannya dengan sempurna kalau memakai ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama yang bersama-sama lahir dengan perasaan dan pikiran itu (Kleden dkk [ed], 1988: 113).

Situasi itu menimbulkan ciri khas puisi baru/modern yang utama, yaitu perseorangan atau individualisme. Tiap-tiap penyair, bahkan tiap-tiap sajak, mempunyai ikatan, irama, pilihan kata dan iramanya sendiri (Kleden dkk [ed], 1988: 113). Pembaruan yang dilakukan oleh para penyair dalam Pujangga Baru itulah yang sering dirujuk sebagai yang pertama bagi kemodernan puisi Melayu/Indonesia.

Pandangan STA ini bergema dalam penyusunan periodisasi atau angkatan sastra yang dilakukan oleh HB Jassin, yang memberi nama “Angkatan Pujangga Baru” kepada para “penyair baru”. Bahkan, Jassin juga menerbitkan buku tersendiri bagi mereka (Pujangga Baru Prosa dan Puisi, Gunung Agung, Jakarta, 1963). Pandangan ini juga diterima secara luas dan dianggap sebagai pandangan “resmi”, yang diwajibkan di dalam pengajaran sastra di berbagai jenjang institusi pendidikan di Indonesia.

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada “tantangan” terhadap pandangan yang dominan itu. Majalah Basis edisi 11 tahun ke-38 (1989) memuat sebuah artikel karangan Profesor A Teeuw yang bertajuk “Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia”. Selanjutnya, makalah ini diterbitkan juga dalam bunga rampai Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994).

Dalam tulisan itu, Profesor Teeuw mengajukan kemungkinan yang sangat besar bahwa kemodernan telah menyusupi puisi Indonesia/Melayu jauh sebelum Pujangga Baru muncul, yaitu sekitar abad ke-16, pada syair-syair karya Hamzah Fansuri, penyair yang juga termasyhur sebagai seorang sufi.

Hamzah Fansuri Penyair Modern Pertama
Situasi dan konvensi kesusastraan sebelum Hamzah Fansuri tidak dapat diketahui dengan pasti. Naskah-naskah tertua yang masih ada dalam bahasa Melayu semuanya berasal paling awal dari zaman Islam, yaitu dari abad ke-16 M, dan semuanya sudah menunjukkan sedikit-banyaknya warna Islam, sampai-sampai teks seperti “Hikayat Seri Rama”, yang memang berasal dari kebudayaan Hindu, namun dalam bentuk Melayunya, sampai-sampai naskah tertuanya, sudah diwarnai agama Islam (Achdiati Ikram via Teeuw, 1994: 52).

Jenis dan ragam puisi sebelum Hamzah Fansuri juga hanya dapat diraba-raba. Mungkin pantun sebagai jenis puisi lisan sudah tersebar luas, juga dalam karya tertulis. Tetapi harus diingat pula bahwa kata “pantun” dalam versi tertua sejarah Melayu belum mempunyai arti yang mantap.

Yang disebut “pantun” itu sering pula disebut “nyanyi”, tetapi sebutan ini dipakai juga untuk ungkapan bahasa atau perumpamaan atau peribahasa yang belum bersifat pantun seperti yang dipahami sekarang. Dalam sejumlah teks lama ada juga sebutan “ikat-ikatan” yang mungkin dimaksudkan sebagai bentuk bahasa yang terikat, prosa berima yang misalnya dipakai dalam pementasan cerita Melayu sebagaimana dapat kita baca dalam Hikayat Patani (Teeuw, 1994: 53).

Dalam situasi semacam itu, Hamzah Fansuri tiba-tiba muncul dengan sebuah jenis puisi yang nampaknya sudah mantab, dengan nama yang kemudian juga menjadi mantab. Secara faktual dapat dikatakan bahwa Hamzah Fansuri-lah yang tidak hanya menulis syair, tetapi juga menciptakan syair sebagai jenis sastra Melayu yang khas.

Syair adalah sajak dengan bentuk yang terikat, yang umumnya terdiri dari empat kata dalam setiap larik, berima a-a-a-a, dan terdiri dari beberapa bait untuk mengungkapkan ide keseluruhan. Jenis-jenis syair tergantung pada jumlah larik dalam setiap bait dan variasi pola rima yang digunakan (Piah, 2002: 19).

Walaupun demikian, penciptaan syair itu tidak merupakan hal yang mutlak baru. Setiap jenis karya dan sastra ada pelopornya, ada teladannya, seringkali dalam sastra asing, yang kemudian diambil alih dan ditransformasikan dengan tuntutan bahasa dan budaya penulis itu sendiri.

Itulah pula yang terjadi dengan karangan syair Hamzah Fansuri. Jelaslah ia sangat dipengaruhi oleh model puisi Arab dan Parsi, khususnya oleh puisi mistik karangan Ibn al-‘Arabi. Dalam tulisan Syamsuddin as-Sumatrani, model puisi Hamzah Fansuri disebut sebagai ruba’i, sebuah nama yang termasyhur di seluruh dunia sebab merupakan sejenis puisi Parsi yang terhitung sebagai puncak karya sastra dunia, khususnya rubayyat Umar Khayyam (Teeuw, 1994: 54).

Walaupun sama-sama berlarik empat, namun pola ruba’i dan syair berbeda dari segi rima: skema rima ruba’i adalah a-a-b-a, sedangkan Hamzah Fansuri memakai skema a-a-a-a. Selain itu, biasanya ruba’i lengkap hanya satu bait saja, sedangkan syair Hamzah Fansuri terdiri dari rentetan bait, yang jumlahnya bervariasi antara 13 dan 21. Bagi masanya, tentu saja syair-syair Hamzah Fansuri merupakan inovasi yang cukup mengejutkan (Teeuw, 1994: 55).

Syair-syair Hamzah Fansuri juga menunjukkan persamaan struktur yang menarik. Setiap syair bertemakan salah satu aspek ilmu tasawuf yang dianut oleh Hamzah Fansuri, yang di-”urai”-kan dalam bentuk puitis. Uraian itu ada kalanya bersifat ajaran digabung dengan peringatan atau nasehat ataupun luapan ekstasis pengalaman mistik atau penghayatan salah satu segi atau pokoknya (Teeuw, 1994: 56).

Namun, semua bait akhir nampaknya merujuk pada diri Hamzah Fansuri sendiri, menerapkan ajaran atau pengalaman umum atau nasihat itu pada diri si penulis ataupun menyebut dirinya sebagai kasus tentang benar-salahnya sikapnya. Dan yang penting, Hamzah Fansuri selalu menyebut namanya dengan jelas.

Jadi, keterlibatan Hamzah Fansuri secara pribadi dalam kebenaran ajaran, peringatan dan penghayatan tadi secara sangat menonjol diungkapkan dalam bait akhir setiap syair (Teeuw, 1994: 56). Salah satu bait dalam syairnya berbunyi: Hamzah Fansuri di dalam Makkah, Mencari Tuhan di bait al-Ka’bah/Di Barus ke Kudus terlalu payah/Akhirnya dapat di dalam rumah.

Hamzah Fansuri dengan tegas dan jelas mengemukakan dirinya sebagai pengarang syairnya, tidak hanya dalam sebuah kolofon atau pascakata, tetapi di dalam teks puisinya sendiri. Ia memadukan namanya dengan kepribadiannya dalam puisinya. Dengan demikian, Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, sebagai ungkapan seorang individu yang memanifestasikan kepribadiannya secara sadar dalam bentuk puisi (Teeuw, 1994: 58).

Inovasi penting lain yang dilakukan oleh Hamzah Fansuri adalah pemakaian kata-kata bahasa Arab. Namun, pemanfaatan ini dilakukan sedemikian rupa hingga kata-kata Arab menjadi bagian integral dalam persajakan. Yang istimewa, kata-kata bahasa Arab yang dipakainya bukanlah hanya kata-kata Arab secara lepas. Secara sangat canggih dan terampil Hamzah Fansuri memadukan kutipan Arab, di antaranya banyak kutipan dari Alquran, ke dalam syairnya. Contohnya adalah pada bait ini: Huwa ‘lawwalu wa ‘l-akhiru akan namanya/Wa ‘l-zahiru wa ‘l-batinu rupanya (QS 57.3)/Sidang ‘arif mendapat katanya/Mabuk dan gila barang adanya//.

Yang juga sangat kuat dalam perpuisian Hamzah Fansuri adalah permajasan, imagery. Sudah tentu majas-majasnya tidak selalu baru. Ia memang memanfaatkan kekayaan permajasan dalam puisi-puisi sufi. Alegori yang sering dipakainya adalah lautan yang tak terduga dalamnya sebagai lambang status seorang talib yang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan. Misalnya dalam bait ini: Jika terkenal dirimu bapai/Engkaulah laut yang tidak berbagai/Ombak dan laut tidak bercerai/Musyahadahmu sana jangan kaulalai//.

Profesor Teeuw menyimpulkan bahwa bahasa kesastraan yang teramati dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri membenarkan penyair abad ke-16 ini menerima gelar “sang pemula puisi Indonesia”. Jauh sebelum ada Indonesia, ia telah merintis jalan untuk menciptakan seni individual dan inovatif yang kemudian akan dianggap sebagai ciri kemodernan dan perkembangan seni umumnya, seni sastra khususnya di Indonesia (Teeuw, 1994: 65-66).

Ciri Modern Tambahan
Analisis Profesor Teeuw nampaknya telah begitu kuat untuk mengokohkan posisi kepeloporan Hamzah Fansuri. Walaupun begitu, ada unsur lain yang belum diajukan oleh Profesor Teeuw. Unsur ini boleh jadi akan memberikan topangan tambahan yang kuat bagi posisi Hamzah Fansuri. Unsur ini terkait dengan atavisme.

Soebagio Sastrowardojo menerangkan bahwa sajak cenderung menunjukkan gejala atavisme. Pada saat-saat tertentu di dalam perkembangannya nampaklah padanya ciri-ciri persajakan yang sudah lama terpendam. Ciri-ciri ini timbul lagi karena merupakan perwatakan yang khas bagi sajak (Sastrowardojo, 1983: 11).

Jika “sajak” yang dimasudkan oleh Soebagio tersebut adalah sajak modern, dan kita menempatkan syair-syair Hamzah Fansuri sebagai sajak yang telah menunjukkan ciri modern sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Profesor Teeuw maka kita, anehnya, tidak mendapati ciri atavisme itu di dalamnya secara pasti.

Atavisme menunjukkan pada “gejala bangkitnya ciri nenek moyang, yang tidak terdapat pada orangtua dan keturunan keluarga yang dekat. Jika kita hendak mendapatkan gejala atavisme pada sajak, kita harus berhadapan dengan sajak yang menampakkan unsur-unsur persajakan yang paling asasi. Unsur-unsur ini sering terpendam daya ekspresinya di dalam sajak-sajak yang telah menjadi konvensional” (Sastrowardojo, 1983: 11).

“Bangkitnya ciri nenek moyang” itu tidak terdapat pada syair-syair Hamzah Fansuri. Profesor Teeuw telah menegaskan bahwa secara faktual dapat dikatakan bahwa Hamzah Fansurilah yang tidak hanya menulis syair, tetapi juga menciptakan syair sebagai jenis sastra Melayu yang khas. Sedangkan Mat Piah agak ragu-ragu dalam memberikan peran kepeloporan penulisan syair kepadanya, dengan menyebutkan bahwa “ia diakui juga sebagai salah satu pencipta bentuk syair, yang menjadi sumber kesusastraan utama di seluruh dunia Melayu” (Piah dkk, 2002: 57).

Doktrin Wujudiyyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri adalah doktrin yang bukan merupakan khas Melayu —pada masa ia hidup— melainkan ditimba dari khazanah religiusitas Arab dan Parsi. Maka, ekspresi doktrin ini, yang diungkapkan dalam syair-syairnya, jelas bukan “ciri nenek moyang” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Soebagio—paling tidak bukan merupakan “ciri nenek moyang” yang terdapat dalam religiusitas Melayu. Lebih tepat jika dikatakan bahwa “ciri nenek moyang” yang bangkit dalam syair-syairnya adalah “ciri nenek moyang” dari kebudayaan Arab dan Parsi, bukan Melayu.

Hal ini justru menambah kokohnya kepeloporan Hamzah Fansuri: syair-syairnya yang tidak menampakkan atavisme merupakan inovasi yang betul-betul orisinil yang sebelumnya tidak dijumpai dalam kesusastraan Melayu.

Tidak Berumur Panjang
Kemungkinan yang diajukan oleh Profesor Teeuw itu tidak berumur panjang. Tidak ada kritikus sastra Indonesia lain yang membenarkan atau mementahkan usulan itu dengan kritik yang cukup punya kekuatan dan daya hidup yang lama untuk membuat publik sastra mempertimbangkan ulang kebaruan/kemodernan puisi-puisi baru yang diajukan oleh STA. Padahal, data yang diajukan oleh Profesor Teeuw tidak boleh diabaikan begitu saja.

Syair-syair Hamzah Fansuri memang memperlihatkan visi literer yang baru terwujud (lagi) tiga abad kemudian, dalam lingkungan yang telah menjadi lebih “Barat”/modern ketimbang pada masa ia hidup dan berkarya. Barangkali kesusastraan Indonesia harus menulis ulang sejarahnya lagi dengan mencantumkan Hamzah Fansuri sebagai penyair modern pertama.

STA sendiri sebagai penganjur “puisi baru” yang rajin sebenarnya telah memperhitungkan orisinalitas Hamzah Fansuri sebagai penyair Melayu. Di catatan kaki nomor 11 dalam makalahnya itu, Profesor Teeuw mengungkapkan bahwa “Pak Takdir sendiri pada masa itu sudah sadar akan orisinalitas Hamzah Fansuri sebagai penyair Melayu” (Teeuw, 1994: 51).

Bahkan, dalam lanskap kesusastraan secara umum, kemungkinan kepeloporan Hamzah Fansuri ini semakin besar jika mengingat bahwa syair-syairnya muncul jauh lebih dulu sebelum karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi atau Raja Ali Haji.

Jika disetujui bahwa Hamzah Fansuri memang merupakan penyair modern pertama, maka sejarah kesusastraan Melayu/Indonesia secara umum —bukan hanya hanya kesusastraan modern— jelas harus ditulis ulang. Implikasi lebih lanjutnya adalah bahwa proses globalisasi, dalam pengertian proses pertemuan dan saling mempengaruhi di antara berbagai budaya yang berasal dari wilayah yang saling berjauhan, telah terjadi pada abad ke-17 itu —masa ketika Hamzah Fansuri hidup dan berkarya— dan tidak mesti berwujud “pem-Barat-an”.

Dengan demikian, terdapat bukti kuat bahwa potensi kemodernan tidak mesti merupakan pengaruh dari Barat, sebagaimana yang dirumuskan oleh STA, namun bisa juga muncul dari khazanah intelektual bumiputera sendiri!***

An Ismanto, redaktur rubrik “Kesusastraan Melayu” di melayuonline.com. Tinggal di Jogjakarta.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas