Gambaran Masyarakat dalam Cerpen "Badai dalam Secangkir Teh"

Sunday 21 October 2012

Pembuka
“Badai dalam Secangkir Teh” (Storm in a Teacup  [1920])  merupakan salah satu cerpen Lu Xun yang tergabung dalam kumpulan cerpen Catatan Harian Orang Gila, yang diterbitkan Jalasutra pada tahun 2007.
Cerpen-cerpen dalam buku ini diambil dari Lu Hsun Selected Stories WW  Norton & Company Inc  yang diterjemahkan oleh Pipit Maizier. Terdapat 18 cerpen dalam kumpulan ini yang ditulis Lu Xun pada rentang 1918-1926. Rentang waktu tersebut di Cina merupakan saat-saat yang berarti dalam perubahan sejarah Cina, ketika revolusi Cina sedang berkobar. Lu Xun sendiri merupakan salah satu sastrawan besar Cina Abad 20 yang dikatakan sebagai pelopor sastra modern Cina. Selain sastrawan, Lu Xun juga dikenal sebagai seorang pemikir dan revolusioner yang sempat dipuji-puji oleh komandan tertinggi Revolusi Kebudayaan Cina, Mao Zedong. Lu Xun, yang nama aslinya adalah Zhou Shuren, lahir pada tahun 1881 di Desa Shaoxing, Provinsi Zhejiang dan meninggal karena penyakit tubercolosis pada tahun 1936.

Membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan ini maka kita tidak bisa tidak terlepas dari gambaran masyarakat yang terkandung di dalamnya yang bisa pula kita tarik sebagai salah satu kacamata untuk melihat masyarakat sesungguhnya di luar karya pada masa itu, pun juga masyarakat pada masa sekarang di tempat yang berbeda (yang bukan masyarakat Cina). Hal ini mungkin berhubungan dengan ideologi kepengarangan seorang Lu Xun yang dapat kita lihat dari kutipannya pada kata pengantar, “ketika cerpen-cerpenku dicetak ulang dalam satu koleksi, dengan berbagai alasan, aku telah memilih judul yang semoga saja tepat : Na Han (Panggilan Berjuang).

Dari kutipan tersebut maka kita dapat melihat bahwa Lu Xun memilih sastra sebagai salah satu alat perjuangannya dalam membela rakyat tertindas (masyarakat  Cina pada waktu itu). Oleh karenanya, untuk mencoba membaca karya Lu Xun lebih jauh, penggunaan kacamata sosiologi sastra terasa menarik, yaitu kacamata yang melihat sastra sebagai produk masyarakat. Sebagai mana yang dikatakan  Sapardi Djoko Damono (2003:3) bahwa pendekatan sosiologi sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam karya sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.

Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini mencoba membahas salah satu cerpen Lu Xun, “Badai dalam Secangkir Teh”. Walaupun sebenarnya saya tertarik untuk membahas semua cerpen-cerpen Lu Xun dalam kumpulan ini, tapi saya hanya membatasi pada satu cerpen saja, yang menurut saya isi di dalamnya cukup relevan untuk kita perbincangkan pada saat sekarang. Gambaran masyarakat seperti apakah yang terdapat dalam cerpen ini?
Gambaran Masyarakat dalam “Badai dalam Secangkir Teh”
Dari keseluruhan cerita yang terdapat dalam cerpen ini, dengan melihat karakter masing-masing tokoh, hubungan antar tokoh, dialog-dialog yang dikeluarkan oleh para tokoh, serta masalah yang terdapat dalam alur cerita, maka menurut saya terdapat beberapa gambaran masyarakat di dalamnya yang bisa dibagi menjadi tiga persoalan, yaitu persoalan kacamata generasi, masyarakat baling-baling dan intelektual pelacur. 

Berikut penjelasan atas masing-masing hal tersebut :
Persoalan Kacamata Generasi
Kalau dilihat dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam keluarga Si Tujuh Pon, maka keluarga ini semacam miniatur sebuah negara atau katakanlah miniatur sebuah peradaban yang terdiri dari berbagai generasi. Nyonya Sembilan-pon Tua yang berusia 79 tahun mewakili generasi tua. Tujuh-pon dan istrinya mewakili generasi kini pada saat itu, dan anak si Tujuh-pon, si Kecil Enam-pon mewakili generasi yang akan datang.

Nyonya Sembilan-pon Tua memiliki kebiasaan mengeluh dengan mengulangi kalimat yang sama “Ya, sungguh! Setiap generasi lebih buruk daripada generasi sebelumnya!” Kebiasaan Nyonya Sembilan-pon Tua yang seperti ini, dikatakan oleh si penulis yang bersudut pandang orang ketiga dalam cerpen, dimulai sejak Nyonya Sembilan-pon Tua berulang tahun yang ke-50. Semenjak itu dia berangsur-angsur menjadi seorang pencari kesalahan yang selalu berkata bahwa di masa mudanya, musim panas tidak begitu panas atau kacang polong tidak sekeras sekarang. Singkatnya, ada sesuatu yang keliru dengan dunia masa kini.

Suatu ketika, pada sebuah hidangan makan malam di musim panas, dengan lantang si Nyonya Sembilan-pon Tua berujar, “Aku hidup sampai usia tujuh puluh sembilan tahun.  Bagiku itu cukup panjang.  Aku tidak suka menyaksikan semuanya berubah menjadi anjing-anjing. Labih baik aku mati saja….” Si Enam-pon Kecil yang mendengar kecerewetan nenek buyutnya itu lari ke tepi sungai dan menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon tallow sambil berteriak keras, “Orang tua yang tak pernah mati!” Sedangkan Nyonya Tujuh -pon, cucu menantu Nyonya Sembilan-pon Tua, punya cara sendiri menjawab gerutuan Nyonya Sembilan-pon Tua dengan balik menggerutu, “ Kau mulai lagu Enam-pon memiliki berat enam pon lima ons lahir, bukan? Keluargamu menggunakan timbangan-timbangan pribadi yang merupakan timbangan ringan, delapan belas ons sampai satu pon. Dengan timbangan enam belas ons saja, Enam-pon pasti melebihi tujuh pon. Aku tidak percaya kalau kakek dan ayah benar-benar memiliki berat sembilan pon penuh maupun delapan pon. Mungkin mereka menggunakan timbangan empat belas ons kala itu…”

Tiga tokoh tersebut, menurut hemat saya mewakili masing-masing generasi dengan kacamata masing-masing terhadap situasi kekinian. Nyonya Sembilan-pon Tua mewakili generasi tua dengan kacamata romantisme masa lalunya serta kegamangan dan kegelisahan untuk masa yang lebih baik. Yang ia lakukan hanya mengeluh dan mengulang-ulang masa lalu namun tanpa memberi solusi pasti atau paling tidak berbagi pandangan untuk masa kini yang lebih cerah. Kerjanya hanya menghakimi dan menyalahkan. Walau keresahannya itu beralasan dan bisa diterima karena melihat situasi Cina saat itu yang sedang dalam masa revolusi, tetapi kaum mudanya malah kebanyakan tidak mau tahu-menahu dan kaum intelektualnya pun lebih bersifat pragmatis dan mengejar keuntungan diri sendiri saja. Tapi adakah sekedar menggerutu dan selalu mengingat-ingat masa lalu dapat menyelesaikan masalah?

Nyonya Tujuh-pon yang mewakili generasi saat itu (generasi kini), memiliki kacamata skeptis terhadap masa lalu. Ia meragukan perkataan Nyonya Sembilan-pon Tua karena walau bagaimanapun ada keberjarakan ruang dan waktu antara cerita-cerita yang dilagukan Nyonya Sembilan-pon Tua dengan masanya Nyonya Tujuh-pon sehingga ada ruang untuk meragukan dan menyangsikan. Namun, sikap skeptis yang mengarah kesikap kritis tanpa disertai semangat membangun sesuatu yang lebih baik apalagi lebih memilih pula sikap pragmatis, tentu juga tidak cukup dan sama sia-sianya dengan kacamata romantisme masa lalunya si Nyonya Sembilan-pon Tua. Keadaan tetap tidak akan berubah dan akan seperti itu juga. Hanya tinggal menjalani saja.

Dan si kecil Enam-pon adalah simbol harapan. Ia berkata lantang walaupun masih sambil sembunyi di belakang pohon tallow , “Orang tua yang tak pernah mati!” Kalimat tersebut mengisyaratkan pernyataan tersirat bahwa “yang tua sebaiknya mati saja.”  Ya lebih baik mati saja kalau hanya ingin tetap eksis dengan menyebut-nyebut bayangan keakuan masa lalu pada generasi selanjutnya tanpa membuka diri dengan jiwa besar dan sahaja untuk didatangi dan dikritisi generasi di bawah. Satu kalimat itu cukup pendek namun terasa ekstrim, bahwa untuk sesuatu yang baru, untuk sebuah kelahiran perlu ada yang mati dan mau ‘mematikan’ diri.

Jadi, membaca tokoh-tokoh dan pandangan mereka dalam cerpen ini, kita seolah bisa berkata begini : tiga generasi, tiga kacamata. Pesimisme, skeptisisme dan mengarah ke nihilisme.

Masyarakat Baling-baling

Tujuh-pon awalnya dihormati karena ia membawa berita-berita terbaru dari kota. Namun semenjak Tuan Chao mendatanginya dan memberitahu tentang keputusan kaisar yang akan menghukum orang-orang yang tak punya kepang, orang-orang desa berubah jadi menjauhinya. Mereka tidak lagi mendatangi rumah Tujuh-pon untuk menanyakan kabar dari kota. Tujuh-pon bagi mereka hanyalah seorang pesakitan. Pun juga istri Tujuh-pon juga memberikan perlakuan berbeda kepada suaminya itu. Dia berubah bersikap kasar. Tapi, setelah ternyata desas-desus itu tak terbukti Tujuh-pon kembali dihormati seperti semula dan istrinya bersikap lembut kembali dan melayaninya dengan baik.

Gambaran masyarakat yang muda berubah ini tidak hanya terdapat dalam satu cerpen ini saja, namun rata-rata cerpen Lu Xun dalam Catatan Harian Orang Gila menggambarkan situasi yang seperti ini. Orang-orang desa haus akan informasi baru dan informasi-informasi yang mereka dapat langsung mereka terima begitu saja, apalagi jika disampaikan oleh bukan orang sembarangan, yaitu orang-orang yang mereka anggap terpelajar dibandingkan mereka yang jelata. Dan informasi tersebut begitu cepat mengubah pandangan mereka terhadap sesuatu. Situasi seperti ini seperti yang diungkapkan pribahasa baling-baling di atas bukit, berputar menurut angin yang datang. Masyarakat seperti ini, masyarakat baling-baling, menerima sesuatu begitu saja tanpa sikap kritis kemudian mengikuti dan mengamininya. Namun, didalam cerpen ini dari kemunculan tokoh janda Pai Yi, sikap masyarakat yang baling-baling, tidak bisa pula kita hakimi begitu saja.

Janda Pai Yi sudah memiliki sikap kritis itu dengan meragukan berita yang dibawa Tuan Chao, karena kebenarannya belum terbukti dan masihlah desas-desus. Tapi ternyata sikap kritis itu tidak untuk masyarakat awam yang tak tahu apa-apa, karena kekritisannya itu hanyalah dianggap sesuatu yang salah dan tak beralasan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih banyak seperti yang diwakili oleh tokoh Tuan Chao. Dalam hal ini, saya teringat konsep hegemoninya Antonio Gramsci dan konsep pengetahuan dan kekuasaan, Michel Foucault.

Konsep hegemoninya Gramsci secara sederhana yaitu bagaimana pihak-pihak tertentu yang memiliki dominasi menanamkan ideologi atau pandangan tertentu pada pihak dibawahnya namun tanpa kekerasan tapi dengan cara yang halus dan tanpa paksaan. Salah satunya adalah lewat kepemimpinan moral dan intelektual. Sedangkan Foucault mengatakan bahwa kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya (Eriyanto, 2009: 66).

Orang desa atau masyarakat awam lewat tokoh Tuan Chao yang terpelajar dan memiliki banyak pengetahuan, mengamini begitu saja kebodohan mereka. Dan tanpa paksaan, mereka menerima dan meyakini kalau mereka itu bodoh dan tidak tahu apa-apa. Bagi orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa manalah mungkin untuk bisa bersikap kritis. Kalau pun ada yang mencoba bersikap kritis seperti Janda Pai Yi  maka itu adalah kesalahan dan kesok-sok-an orang awam yang perlu dibantah, dicemoohkan, dan dikucilkan, seperti yang kita lihat pada sikap orang desa kepada janda Pai Yi yang dianggap telah mengacaukan keadaan karena meragukan Tuan Chao. Padahal janda Pai Yi hanya berusaha menenangkan Nyonya Tujuh-pon agar tidak berlaku buruk pada anak dan suaminya hanya karena isu yang belum tentu benar. Sikap penerimaan dan pengaminan orang desa bahwa mereka adalah orang bodoh menurut saya tidaklah dilakukan dengan proses tangan besi, namun mentalitas seperti itu (seolah) terbentuk begitu saja secara alami. Karena pada kenyataannya, mereka memang tidak mengkomsumsi banyak bacaan seperti orang-orang sekolahan yang banyak tahu. Namun pertanyaannya, apakah hal itu karena memang orang-orang desa tidak mampu dan tidak mau untuk menjadi orang yang tahu atau jangan-jangan sebenarnya mereka dikondisikan agar tidak mampu dan tidak mau untuk menjadi orang-orang yang lebih tahu?

Akhirnya, mentalitas baling-baling ini memang sesuatu yang disayangkan, tapi tentu akan sangat tidak arif untuk menghakimi karena ada suatu kuasa besar yang diam-diam telah merancang semua. Namun, tidak menghakimi tentu bukan pula berarti membiarkan. Lalu bagaimana caranya? Apa yang telah dilakukan Lu Xun lewat sastra bisa menjadi salah satu alternatif. Lu Xun menghadirkan tokoh Nyonya Tujuh-pon dan orang-orang desa, namun ia juga menghadirkan tokoh janda Pai Yi dan Tuan Chao. Dengan memilih sudut tentang keadaan masyarakat pada masanya tanpa terkesan verbal, mendikte apalagi menghakimi. Dan tentu, perjuangan seperti ini tidak boleh berhenti hanya sebatas tulisan, tetapi terjun langsung ke masyarakat adalah tindakan lebih nyata. Artinya, akan menjadi menarik dan efektif saya kira jika ada pembagian peran dan kerjasama kolektif antara para pemikir atau konseptor (sastrawan, seniman, akademisi, pemikir sosial) dengan orang-orang di lapangan (NGO, pemerintah [mestinya juga orang lapangan], perangkat desa dll). Masing-masing punya energi dan jika energi itu digabungkan tentu akan menjadi sebuah energi besar untuk sebuah perubahan.

Intelektual Pelacur
Lu-Xun menghadirkan tokoh Tuan Chao dalam cerpen “Badai dalam Secangkir Teh” ini. Tokoh yang terpelajar, membaca banyak buku yang tidak bisa dibaca oleh masyarakat awam kebanyakan. Memiliki kedai minum dan jubah panjang yang merupakan simbol pembeda status dalam masyarakat Cina pada saat itu. Tuan Chao mengetahui berita lebih cepat. Ia mengetahui yang tidak diketahui orang lain. Dan hal ini menyebabkan dia memiliki posisi kehormatan tersendiri. Namun, sosok Tuan Chao di sini digambarkan kurang lebih sama dengan masyarakat baling-baling tadi. Kalau masyarakat baling-baling bersikap seperti itu karena keawamannya, kita mungkin bisa memaklumi. Tapi akan menjadi hal yang miris dan ironis kalau hal itu juga dilakukan oleh seorang terpelajar. Dalam cerpen ini dinarasikan kalau Tuan Chao kadang menggelung kepangnya ke atas dan kadang membiarkannya tergerai.

Hal ini tergantung berita yang ia terima. Kalau dia mendengar kaum pemberontak yang sedang berada di atas maka ia membiarkan kepangnya, seolah-olah ia berada dipihak kaum revolusioner. Namun ketika ia mendengar kaisar hendak naik takhta ia menggelung kepangnya ke atas seolah-olah ia pro dengan kaisar, dan ia malah menakut-nakuti orang-orang desa yang awam seperti Tujuh-pon yang tidak memiliki kepang. Tapi, ternyata setelah isu itu tidak benar maka kepangnya kembali tidak lagi digelung. Tuan Chao menggambarkan, orang-orang terpelajar (yang tahu banyak hal) yang pragmatis yang hanya memperjuangkan kepentingan sendiri saja. Dan pengetahuan yang ia miliki digunakan bukan untuk membantu masyarakat yang tidak tahu apa-apa namun malah untuk menakut-nakuti agar ia tetap memiliki keeksisan.  Mungkin nama yang tepat untuk jenis orang semacam ini adalah intelektual pelacur.

Intelektual memiliki nilai yang positif. Dengan demikian orang-orang terpelajar yang disebut kaum intelektual dalam bayangan kita tentulah orang-orang yang cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan serta bersifat cendekia (tajam pikiran serta cepat membaca situasi dan pandai mencari jalan keluar. Oleh karenanya tentu tidaklah salah ketika orang-orang memiliki harapan kepada kaum-kaum intelektual untuk sesuatu yang lebih baik, namun tentu bukan berarti menyerahkan seutuhnya bulat-bulat segala permasalahan kepada kaum intelektual. Sederhananya, berdasarkan kapasitas yang ia miliki, akan menjadi wajar jika seharusnya perannya lebih besar dibanding masyarakat awam dengan kapasitas seadanya.

Penutup
Walaupun Lu Xun menulis cerpen ini pada tahun 1920, di wilayah yang jauh pula dari tempat kita, namun gambaran masyarakat yang terdapat dalam cerpen tersebut seolah masih memiliki relevansi dengan keadaan masyarakat sekarang. Gambaran-gambaran masyarakat yang terdapat di dalam  cerpen ini sedikit banyak ternyata masih ditemui pada gambaran masyarakat kita kini.

Sastra adalah dunianya sendiri. Tapi sastra tidak terlahir kosong begitu saja tanpa persentuhan si pengarang dengan dunia disekitarnya. Oleh karenanya, menurut hemat saya tetap ada manfaat ketika kita mencoba melirik masyarakat di dalam sastra sebagai pembanding untuk masyarakat di luar sastra. Mungkin bisa sama bisa pula jauh berbeda. Tapi, persoalannya mengapa sama, mengapa berbeda? Jangan-jangan hal seperti itu adalah pemantik tersendiri dari si penulis sastra untuk khalayak pembaca, terutama pembaca terpelajar. Jangan-jangan?

Alvi Puspita, Lahir di desa Teratak-Kampar, 3 Maret 1988. Menulis puisi dan cerpen.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas