Berubah dan Mencari

Sunday 21 October 2012

Oleh Yusmar Yusuf 
Yusmar Yusuf
Berpindah, ialah sebuah ikhtiar untuk berubah. Dan berubah itu hanya bisa dilakukan ketika orang senantiasa mencari dan mencari. Berpindah, sebuah keadaan yang menuntun manusia bergerak dari tapal garis menuju tapal garis seberang, nan lain dan asing. Dalam keasingan dan kesendirian, seseorang akan mudah menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri ini, dapatlah disangkutkan sebagai peristiwa mencari @ mencahari.

Pada awalnya orang mencari sesuatu penyebab kehidupan. Maka lahirlah dewa-dewa. Selanjutnya pencaharian ini dipatahkan, ketika Tuhan ‘mengumumkan’ “Diri-Nya” melalui para anbiya. Para pencinta kebijaksanaan merindukan ‘kebenaran’, maka perburuan berikutnya manusia memperkenal ingsutan demi dan untuk kebenaran. Filsafat dan sistem filsafat mengusung kebenaran, dan instrumen yang paling mustari untuk mencapai kebenaran itu pada hari ini adalah melalui uji-uji keilmuan dan riset. Dan kebenaran ini masih bisa dipilah dalam fraktal keilmuan. Bahwa yang dijulang oleh ilmu, akademia adalah kebenaran itu sendiri bukan kekuasaan.

Namun perjalanan panjang menemu dan menyemai kebenaran dalam apologia akademia selalu berujung pada tragedi pemberhalaan kebenaran. “Kita membuat berhala dari kebenaran itu sendiri; karena kebenaran yang terlepas dari kedermawanan adalah bukan Tuhan, tetapi ikon dan berhalanya, yang tidak boleh disembah atau kita cintai”, ujar Pascal.

Maka, perjalanan yang jauh dilakukan baik secara fisik maupun ruhani, senantiasa memperkaya wawasan mengenai kebenaran itu yang dilekatkan dengan imbuhan kedermawanan. Kebenaran yang tidak diimbuh atau diperkaya oleh kedermawanan, dia akan melahirkan durjana dan kecelakaan kemanusiaan. Hijrah Nabi Muhammad suci, ialah sebuah citra yang melekatkan kedermawanan itu sendiri kepada manusia. Sehingga kebenaran yang diusung, senantiasa memberi dampak secara sosial dan selaras dengan harmoni yang rimbun yang telah dilaungkan dalam ensembel kehidupan oleh beragam makhluk muka bumi. Ketika dia tidak keluar dari lembah Mekkah, maka kebenaran yang diusung akan mengalami pembusukan dan involusi. Sebuah taktik untuk membesarkan bibit yang unggul, adalah dengan cara mencari matrial lahan yang kaya hara dan humus. Tanah yang kaya baja, humus dan hara bagi persemaian ajaran agung ini adalah Madinah.

Dan ajaran, dan figur, dan apalah namanya, dia menjadi subur ketika dia diperkenalkan pada tanah-tanah asing. Dia akan bantut dalam ruang asalnya sendiri. Karena itu, semua pemikiran besar yang lahir di sebuah tanah, dia akan menjadi gunung bagi tanah lain. Tan Malaka, tak mendapat tempat yang layak bagi orang Minangkabau hari ini dan sejarah Minangkabau. Namun ia di terima dan dirindukan di tanah-tanah jauh. Begitulah seterusnya.
 
Dermawan itu adalah refleksi dari cinta (hubbah); cinta tak mencari sebab di luar dirinya dan tidak mencari hasil; ia adalah hasil itu sendiri, kenikmatannya sendiri.” Cinta adalah satu-satunya cara —bagi makhluk, meskipun tidak berdasarkan istilah-istilah yang sama— dapat menjamu Tuhan dan membalikkan sesuatu yang serupa dengan apa yang telah diberikan padanya…”Ketika Tuhan mencintai, Ia hanya ingin dicintai, karena Ia tahu bahwa cinta akan mengubah semua orang yang mencinta Dia dengan senang” (St. Bernard).

Perjalanan ruhani, menggiring dan menuntun orang untuk memperhalus akal budi, sehingga aras ruhani mengalami pencerahan sebagai seorang yang ‘budiman’. Perjalanan ruhani, dan gerakan spasial yang terkandung dalam peristiwa berpindah (hijrah), juga menuntun seseorang menjadi haus dan dahaga akan kebenaran yang dierami bersama secara kolektif, sehingga dia mengarahkan diri sebagai seorang yang gairah dengan ilmu. Maka dia mendaki tangga sebagai ilmuan atau seorang alim (berilmu). Dan maqam berikutnya, dia mendaki tangga yang disimbolkan dari peristiwa hijrah ini adalah mendaki tangga dermawan. Seseorang yang penuh cinta, adalah sosok yang sanggup memberi bukan menerima.

Ketiga perubahan yang diusung dalam semangat ‘budiman’, ‘ilmuan’ dan ‘dermawan’ itu menyubur dan merecup hebat pada sebuah tanah baru bernama Madinah. Inilah gerakan sosial dari peristiwa masyarakat padang gurun (umran badawi) menjadi masyarakat kosmopolitan (umram hadari). Tabiat berikutnya yang diemban dari peristiwa hijrah adalah tabiat gerakan ummah. Ajaran langit yang tinggi, bukan menjadi urusan dan makanan individu per orang. Akan tetapi dia telah menjadi makanan kolektif, telah menjadi sesuatu miliki bersama, sesuatu yang menggerakkan sebuah sistem sosial baru. Bahwa persaudaran, kekerabatan, bukan diukur dari tali bani, bukan karena keturunan nan agung dan susur galur darah biru, akan tetapi kualitas iman dan kemampuan menggubal diri dalam organisasi sosial baru, rasional dan manajemen yang tidak lagi berpaut pada pesukuan sebagaimana disemangati oleh sistem para bani sebelumnya.

Dan Muhammad pun terusir dari ’kesatuan primordialnya’ demi membentuk masyarakat baru, perkauman baru, komunitas baru yang menjujung tinggi prinsip-prinsip dasar keragaman. Kemampuan ini hanya bisa dituai ketika seseorang telah sanggup mengusung ’konsep dasar’ memberi, bukan menerima. Bahwa Muhammad memberi, bukan kepada sanak keluarga bani, tetapi kepada segala makhluk hidup. Usianya dihabiskan dengan peristiwa memberi dan memberi.

Hari ini kita mengalami persoalan maha besar, baik dalam sistem pengaturan pemerintahan, pengaturan sosial, dan pengaturan lingkungan hidup. Semuanya mengalami katastrofe maha dahsyat. Lingkungan hidup kita mengalami kiamat ekologis, tersebab kita yang tak pernah memberi, namun bertabiat sebaliknya; mengambil dan menerima terlalu banyak dari lingkungan. Daya dukung lingkungan untuk memberi dikuras habis di luar akal sehat. Selama menerima dan mengambil, manusia tidak pernah menanam keinsyafan ekologis mengenai lingkungan hidup sebagai rumah habitat bersama dengan makhluk lainnya. Selanjutnya, manusia bertindak bagai predator kepada sesama dan dengan makhluk hidup lainnya.

Berpindah secara ruhani, secara spiritual maupun secara fisikal, jika dia tidak memperkaya dimensi kedermawanan kita, sama lah halnya kita terperangkap pada penyembahan kebenaran yang tiada kedermawanan itu. Kebenaran jenis ini, menguras renjana dan mengandaskan pelantar jiwa. Ruhani kita menjadi kering seiring kerontangnya sistem pemerintahan yang laik dianut dan dipanut. Maka, perpindahan ruhani, spiritual yang tak diimbuh dengan kedermawanan, dia hanya akan menyungkurkan mata batin dan menyebukan perjalanan ruhani manusia. Selanjutnya sebuah perkauman, apakah itu bangsa, masyarakat atau komunitas, dia hanya menunggu peristiwa ’tersungkur’ di dalam ruang yang kering dan senyap. Bangsa yang tak kenal peristiwa memberi, identik dengan bangsa yang mati. Dan berpusu-pusu kita menuju ke sana dan ke liang yang sama.***

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas