Badan Terjelma

Sunday 21 October 2012

 Oleh : Yusmar Yusuf 

Yusmar Yusuf
BADAN manusia itu adalah sebuah instansi. Sekumpulan majelis manusia yang bertemu, merupakan serangkaian instansi yang berhimpun. Setiap badan membawa identitas dan entitas, sekaligus otonomi dan ketelanjangan. Di luar diri @ badannya, manusia mengkonstruksi sesuatu yang asing atau antah berantah. Sesuatu yang lain itu bisa bernama, liyan, Tuhan atau langit benderang.

Sebagai instansi, badan memanggul prinsip-prinsip kesamaan secara alamiah. Namun, setelah manusia menjilat peradaban dan menukil kebudayaan, kita meletakkan badan berdasarkan identitas yang berbeda, berdasarkan perkauman, perpuakan, yang terjelma lewat pembungkus badan yang berubah dari zaman ke zaman sebagai rangkaian penanda. Penanda itu menjadi pemisah (faksi, faction) antara badan ini dengan badan itu. Di setual badan itulah sejatinya terjadi pertarungan peradaban dan pertembungan kebudayaan melalui identitas faksi-faksi.

Pembungkus badan manusia yang bertabiat memisah itu, kemudian dikereksi dalam makna yang lebih tinggi dan eksistensialis; dari bahasa Latin factio, kemudian menjelma jadi faction. Bahwa badan manusia dengan ikutan pembungkusnya sudah diberi dan mengalami dimensi politis. Secara etimologis, factio kemudian menjadi faction yang bersuasana politis, membedakan seseorang termasuk dalam gelungan politik sana dan politik sini, antara kita dan kamu, kemudian diangkat menjadi sesuatu yang gemulai bernama fashion.

Sesungguhnya fashion itu adalah terjemahan posmodernisme dari kata; faksi, factio, faction itu. Dan fashion-lah yang menutup dahaga manusia dalam bergaya, di atas catwalk, di lapangan upacara, di sebuah gedung kantor korporat, penuh dengan tindakan fashionate, yang sesungguhnya menunjukkan faksi-faksi dan penggolongan alias pengkastaan.

Pakaian yang membungkus badan seorang direktur atau presiden komisaris akan berbeda dengan busana karyawan biasa, penyapu sampah, penyungkil longkang, sopir, pramusaji, pramugari. Semua badan ini mengusung faksinya masing-masing di dalam fashion (faction) yang terdedah. Georg Simmel seorang sosiolog asal Jerman, menyebutkan bahwa fashion (yang berangkat dari semangat faksi) itu merupakan sarana ‘pembedaan’ (differentiating) dan ‘pengelompokan’ (socialising); antara kamu dan kami, in group-out group, mereka dan kita, atau malah sesuatu dan antah berantah.

Secara eksistensialis, pakaian yang dikenakan kaum lelaki lebih terkesan memikul semangat (faksi) transendental, aktif, penuh aksi dan menyerbu; sementara pakaian yang dikenakan seorang wanita sarat dengan sesuatu yang mendedah, bertahan dan menampak, telepak. Dari sini terbangun konstruksi relasi lelaki dan wanita yang tidak simetris (tepatnya asimetrik). Lelaki suka mengintip, wanita suka diintip (aktif, pasif). Wanita ‘suka diintip’ itu bereaksi menjadi exibitionist (pamer) yang bertabiat pasif. Minta dilihat lempengan mode, busana dan rajutan yang dikenakan, termasuk kemolekan tubuh yang mengarah ke jenjang seksualitas konotatif. Lelaki berpembawaan veyeurism (mengintip) melalui ujung mata, ke mana gerangan gerak seorang perempuan yang mendedah. Maka, muncullah jargon pendek Psikologi untuk menggambarkan hubungan asimetri ini; “men act, women appear’ (pria beraksi, wanita mendedah). Pria aktif, menyerbu dan perempuan telepak, menampak, mendedah. Wilayah ini menjadi makanan empuk kaum Freudian (psikoanalisis).

Bahwa telah terjelma faksi antara badan lelaki dan badan wanita. Satu faksi menyerbu, dan yang satunya lagi faksi mendedah, pasif. Maka, instansi badan pria bertabiat transendental, eksploitatif, eksploratif. Pikulan primitif badan wanita adalah imanen, pasif dan mendedah; dengan pembawaan utama menyimpan dan memelihara. Sejalan dengan bentuk kelaminnya yang banyak anasir ‘dalaman’. Badan lelaki akan beraksi terhadap obyek sejalan dengan faksi yang eksploratif dan menyerbu; mempengaruhi. Mereka yang pro poligami akan mendukung pernyatan Freudian ini; secara natural lelaki itu berpembawaan poligamis, karena sifat alat kelaminnya yang transendetal dan menumpah di mana saja tanpa ada batas paroki. Sebaliknya, perempuan memikul bawaan natural yang monogamis, karena kelaminnya yang pasif. Manusia membangun faksi-faksi ke atas badannya. Kemudian menjelma menjadi instansi yang bersaing dan bahkan berperang.

Seorang anak kecil yang dibesarkan oleh seorang ayah, akan berbeda perkembangannya ketika dirawat oleh instansi tubuh seorang ibu (tubuh perempuan). Pola perawatan itu sendiri adalah sebuah model, sebuah gaya, sekaligus sebuah wujud dari fashion alias faksi. Seorang anak kecil di tangan seorang ayah, akan dibentuk berdasarkan impian ‘pewarisan’ (menjadi teman, tepatnya ‘pembantu’ kala mencuci mobil, menjadi teman @ orang suruhan ketika menebas kebun atau ladang). Di tangan seorang ibu, anak kecil ini tumbuh dalam ‘penampakan demi penampakan’ (pendedahan); hari ini setelah mandi dibedak untuk menyejukkan permukaan kulit, besok tampil dengan perkakas badan; cincin, kalung, gelang, solekan rambut, riasan wajah, sepatu terkini, jam tangan dan riasan ikutan lainnya. Badan lelaki sebagai instansi mengemas anak berdasarkan kehendak perwalian dan pewarisan @ ‘tindakan’ yang menyerbu; mendampingi kala berburu di hutan, atau mengantar ayahnya @ sebagai sopir ke kantor. Yang satu, dalam jelmaan instansi dengan faksi menyerbu, dan intansi satu lagi berstatus dalam faksi bertahan dan mendedah.

Kemudiaan fashion berkembang pada tingkat bangsa-bangsa. Membedakan bangsa barat dan timur. Juga memikul faksi yang memuat nilai politik ‘pengelompokan’ (socialising) dan pembedaan (differentiating). Dan badan manusia memikul tugas pengelompokan dan pembedaan itu, demi entitas, identitas kebudayaan dan jati diri. Entitas kebudayaan telah diterjemah dalam koridor terkecil bernama badan. Sehingga badan manusia memikul tugas-tugas politik, secara alamiah; bahwa setiap badan kita akan menampakkan aura kekuasaan yang kita miliki sekaligus kekuasaan yang kita inginkan.

Facebook, mengalir dalam mode faksi-faksi yang terdedah dan menyerbu. Di sini terjadi pula politisasi badan tidak semata instansi, tetapi telah menjadi etalase dari sebuah industri pencitraan. Manusia terperangkap dalam badan yang industrialis, metro-seksual, atau malah netropolis [sebuah generasi yang mengandalkan kekuatan jejaring] dalam membangun realitas yang kemudian menjadi hiper-realitas. Badan kehilangan fungsi instantif; tiada depan, tiada belakang dan tiada samping. Semuanya berdasarkan penampakan fenomena. Ketika foto dalam situs Facebook mengedepankan gaya foto bersamping, maka samping itu adalah muka, fassade. Ketika seseorang memamerkan foto punggung, maka punggung adalah muka (depan). Wajah tidak lagi wakil dari muka (depan). Dan manusia pun terjebak dalam gelombang konsktruksi dari zaman ke zaman, yang terkadang melayani ‘dunia kanak-kanak’ itu. Badan dikereksi dalam makna-makna yang tak hakiki. Dan manusia mengembangkan diri secara kreatif sebagai makhluk imajinasi Tuhan yang paling mudah terperangkap, dan dengan cergas pula keluar dari perangkap itu; sebagai pemenang. Ya, dari zaman ke zaman…***

Sumber http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=443&kat=58

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas